Senin, 09 November 2009

Dia Sahabatku

"MAAFKAN saya, tidak bisa lagi bersamamu." Kalimat itu sungguh menusuk jantungku. Lelaki yang selama ini aku perjuangkan untuk bisa diterima di tengah keluargaku, dengan entengnya berucap demikian.

Semula, aku menganggap perkataannya bohong. Niat untuk meninggalkanku hanya gertakan semata, agar aku lebih perhatian padanya. Namun setelah berjalan beberapa pekan, niatnya benar juga. Lelaki itu benar-benar meninggalkanku.

"Apa saya sudah tidak pantas lagi bagi Mas?" tanyaku mencoba mencari tahu.

Betapa tidak, selama pernikahan kami yang hampir mencapai usia lima tahun, kehidupan kami adem ayem saja. Tidak pernah ada percekcokan. Dan jikapun ada, itu hanya kecil dan biasa di dalam rumah tangga. Bumbu, begitu orang tua selalu mengingatkan.

"Saya serius, Dek. Saya memang benar-benar ingin meninggalkanmu."

Aku bengong, tidak percaya.

"Ini juga demi kamu, demi keluarga kamu dan demi kita semua," sambungnya.

Demi aku? Demi keluargaku? Demi kita? Ah, sungguh tidak masuk akal.

"Bukankah kamu yang tidak pernah menerima aku memiliki istri lebih dari satu? Aku ingin sekali memperistri dia. Dia harus aku selamatkan. Dan aku sendiri sudah meminta izin padamu, tapi apa jawabanmu, kamu tidak merestuinya. Inilah jalan terbaik untuk kita," paparnya.

Sungguh, bagai petir di siang bolong. Demi perempuan itu, dia, suamiku yang sudah menikahiku hampir lima tahun ini rela meninggalkanku. Sungguh terlalu.

"Apa tidak ada cara lain yang jauh lebih baik?" aku mencoba mengorek.

"Tidak ada. Hanya ini satu-satunya," jawabnya.

Mengapa mesti aku yang dilepas? Apa aku terlalu hina untuk tetap menjadi pendamping hidupmu, Mas? Pikiranku bergejolak, penuh tanya.

Sementara dia, perempuan itu, adalah pemenangnya. Dia, perempuan yang selama ini menjadi sahabatku telah berhasil merebut lelakiku itu. Dengan sejuta cara yang dilakukan, dia telah berhasil membujuk lelakiku untuk dekat dengannya. Ah, ini sungguh tidak adil.

"Saya memang jahat, Dek. Teramat sangat jahat. Maafkan Masmu ini," pintanya lirih.

Masku? Panggilan itu sungguh membuat jantungku berdebar, dan darah pun mengalir mendesir dari ujung kaki ke ujung kepala. Benarkan lelaki itu masih sayang padaku?

Aku hanya terdiam. Tidak berselera sedikit pun untuk berucap. Dada ini terasa sesak. Tidak bisa menerima kenyataan ini. Ini sungguh tidak adil bagiku. Aku yang telah berhasil membawanya ke tengah-tengah keluargaku yang angkuh. Dan aku yang telah berhasil memberinya keturunan. Aku pula yang telah berhasil membuatnya sukses seperti ini. Tapi mengapa harus dia yang menang?

Dia memang cantik. Perempuan itu sungguh cantik. Berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus yang selalu diurai. Pekerjaannya sebagai teller di sebuah bank menuntut dia harus berpenampilan cantik. Tak heran jika banyak lelaki yang meliriknya, termasuk lelakiku mungkin.

Sayang, kecantikan yang dimilikinya harus ternoda perbuatan bejat seorang lelaki. Entah siapa, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiri tidak tahu siapa yang telah menitipkan janin di dalam rahimnya itu. Sedang tertidur pulas, begitu dia selalu berkata.

Kejadian itu tentu membawa aib pada keluarganya, keluarga yang mengusung teguh ajaran agama. Mereka merasa telah gagal mendidik sang bunga sehingga harus layu sebelum waktunya. Telah beberapa kali mencari lelaki, lelaki yang mau menikahinya. Karena jalan itu yang dinilai akan membantu mengikis aib keluarga itu.

Berminggu-minggu waktu telah dihabiskan, namun tidak ada seorang lelaki pun yang mau menikahinya. Akhirnya, lelakiku, lelaki yang telah menikahiku hampir lima tahun itu rela memperistri dia.

"Saya harus menikahinya. Kasihan dia. Semoga kamu mengizinkan," ucap lelakiku.

Bagai petir di siang bolong. Aku tidak percaya jika lelakiku akan berbuat nekad. Memperistri perempuan yang sama sekali tidak pernah dicintainya. Mereka hanya kenal sebatas sahabat, karena aku memang telah bersahabat lama dengan perempuan itu.

Sebagai perempuan, meski menikahinya adalah tindakan mulia, aku tetap tidak rela. Aku tidak mau berbagi suami dengan dia, dan dengan perempuan manapun. Aku hanya ingin suamiku utuh milikku.

"Maafkan aku Mas, aku tidak rela jika harus dipoligami," jawabku. ***

Bandung, 9 November 2009

1 komentar: