Senin, 09 November 2009

Dia Sahabatku

"MAAFKAN saya, tidak bisa lagi bersamamu." Kalimat itu sungguh menusuk jantungku. Lelaki yang selama ini aku perjuangkan untuk bisa diterima di tengah keluargaku, dengan entengnya berucap demikian.

Semula, aku menganggap perkataannya bohong. Niat untuk meninggalkanku hanya gertakan semata, agar aku lebih perhatian padanya. Namun setelah berjalan beberapa pekan, niatnya benar juga. Lelaki itu benar-benar meninggalkanku.

"Apa saya sudah tidak pantas lagi bagi Mas?" tanyaku mencoba mencari tahu.

Betapa tidak, selama pernikahan kami yang hampir mencapai usia lima tahun, kehidupan kami adem ayem saja. Tidak pernah ada percekcokan. Dan jikapun ada, itu hanya kecil dan biasa di dalam rumah tangga. Bumbu, begitu orang tua selalu mengingatkan.

"Saya serius, Dek. Saya memang benar-benar ingin meninggalkanmu."

Aku bengong, tidak percaya.

"Ini juga demi kamu, demi keluarga kamu dan demi kita semua," sambungnya.

Demi aku? Demi keluargaku? Demi kita? Ah, sungguh tidak masuk akal.

"Bukankah kamu yang tidak pernah menerima aku memiliki istri lebih dari satu? Aku ingin sekali memperistri dia. Dia harus aku selamatkan. Dan aku sendiri sudah meminta izin padamu, tapi apa jawabanmu, kamu tidak merestuinya. Inilah jalan terbaik untuk kita," paparnya.

Sungguh, bagai petir di siang bolong. Demi perempuan itu, dia, suamiku yang sudah menikahiku hampir lima tahun ini rela meninggalkanku. Sungguh terlalu.

"Apa tidak ada cara lain yang jauh lebih baik?" aku mencoba mengorek.

"Tidak ada. Hanya ini satu-satunya," jawabnya.

Mengapa mesti aku yang dilepas? Apa aku terlalu hina untuk tetap menjadi pendamping hidupmu, Mas? Pikiranku bergejolak, penuh tanya.

Sementara dia, perempuan itu, adalah pemenangnya. Dia, perempuan yang selama ini menjadi sahabatku telah berhasil merebut lelakiku itu. Dengan sejuta cara yang dilakukan, dia telah berhasil membujuk lelakiku untuk dekat dengannya. Ah, ini sungguh tidak adil.

"Saya memang jahat, Dek. Teramat sangat jahat. Maafkan Masmu ini," pintanya lirih.

Masku? Panggilan itu sungguh membuat jantungku berdebar, dan darah pun mengalir mendesir dari ujung kaki ke ujung kepala. Benarkan lelaki itu masih sayang padaku?

Aku hanya terdiam. Tidak berselera sedikit pun untuk berucap. Dada ini terasa sesak. Tidak bisa menerima kenyataan ini. Ini sungguh tidak adil bagiku. Aku yang telah berhasil membawanya ke tengah-tengah keluargaku yang angkuh. Dan aku yang telah berhasil memberinya keturunan. Aku pula yang telah berhasil membuatnya sukses seperti ini. Tapi mengapa harus dia yang menang?

Dia memang cantik. Perempuan itu sungguh cantik. Berkulit kuning langsat dengan rambut hitam lurus yang selalu diurai. Pekerjaannya sebagai teller di sebuah bank menuntut dia harus berpenampilan cantik. Tak heran jika banyak lelaki yang meliriknya, termasuk lelakiku mungkin.

Sayang, kecantikan yang dimilikinya harus ternoda perbuatan bejat seorang lelaki. Entah siapa, tidak ada yang tahu. Bahkan dia sendiri tidak tahu siapa yang telah menitipkan janin di dalam rahimnya itu. Sedang tertidur pulas, begitu dia selalu berkata.

Kejadian itu tentu membawa aib pada keluarganya, keluarga yang mengusung teguh ajaran agama. Mereka merasa telah gagal mendidik sang bunga sehingga harus layu sebelum waktunya. Telah beberapa kali mencari lelaki, lelaki yang mau menikahinya. Karena jalan itu yang dinilai akan membantu mengikis aib keluarga itu.

Berminggu-minggu waktu telah dihabiskan, namun tidak ada seorang lelaki pun yang mau menikahinya. Akhirnya, lelakiku, lelaki yang telah menikahiku hampir lima tahun itu rela memperistri dia.

"Saya harus menikahinya. Kasihan dia. Semoga kamu mengizinkan," ucap lelakiku.

Bagai petir di siang bolong. Aku tidak percaya jika lelakiku akan berbuat nekad. Memperistri perempuan yang sama sekali tidak pernah dicintainya. Mereka hanya kenal sebatas sahabat, karena aku memang telah bersahabat lama dengan perempuan itu.

Sebagai perempuan, meski menikahinya adalah tindakan mulia, aku tetap tidak rela. Aku tidak mau berbagi suami dengan dia, dan dengan perempuan manapun. Aku hanya ingin suamiku utuh milikku.

"Maafkan aku Mas, aku tidak rela jika harus dipoligami," jawabku. ***

Bandung, 9 November 2009

Minggu, 08 November 2009

Perempuan Kedua

Menjadi perempuan kedua bukanlah keinginanku. Apalagi dengan laki-laki yang tidak pernah aku cintai. Keadaan yang memaksaku berada pada posisi ini...

KAKA tidak henti-hentinya menangis. Dia menjadi rewel dari biasanya. Padahal jika waktu kerjaku tiba, malaikat kecilku ini akan dengan antengnya tidur pulas. Di atas ayunan kain yang sengaja aku pasang di ruang tengah.

"Mungkin dia masih ingin berada di pangkuan ibunya," Ratmi sahabatku berkomentar. Terlihat dari raut wajahnya, perempuan yang sudah bersahabat sejak sebelas tahun silam itu mengkhawatirkan keadaan Kaka.

"Mungkin tadi kamu tidak maksimal memberinya ASI," katanya lagi.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ratmi. Meski dia belum memiliki anak dan berkeluarga, sudah sebegitu tahukah apa yang dialami sang bayi ketika dia sedikit rewel.

"Sepertinya tidak. Aku memperlakukan dia seperti biasanya," jawabku.

"Tidak bagaimana, wong dia nangis terus ah?" kata dia seolah lebih tahu dari pada aku yang tiada lain sang ibu bayi tersebut. Ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan dalam situasi yang tidak wajar.

Ya, kondisiku memang tidak wajar. Mampu melawan norma yang berlaku di kampungku sendiri. Menerima pinangan laki-laki yang jelas-jelas telah memiliki istri. Tak heran semua tetangga mencaciku, menganggap aku sebagai perebut suami orang.

Apalagi setelah istri pertama laki-laki itu tahu. Dia mendatangi rumahku dan langsung melabrakku. Sejuta makian terucap dari bibirnya yang tidak pernah lepas dari gincu.

"Dasar perempuan tidak tahu malu. Seenaknya mengambil suami orang, apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu rebut selain suamiku?" makinya dengan nada tinggi.

Tamparan pun mendarat di pipi kiriku. Perih sekali, tapi hati ini jauh lebih perih. Aku tidak bisa lagi berkata apa-apa, hanya diam dengan kepala tertunduk.

Ingin kujelaskan semuanya pada perempuan yang belakangan kuketahui bernama Sinta itu. Namun semuanya terlambat. Perempuan itu sudah terlanjur amat sangat marah padaku, bahkan kepada seluruh keluargaku.

Sebutan keluarga miskin pun ikut terbawa dalam makian yang membuat heboh seluruh kampung itu. Buntutnya, orang-orang yang sedari dulu tidak suka pada keberadaan keluargaku pun ikut tambah membenci dan memaki.

"Dasar emang dari atasnya sudah begitu, ya ke bawahnya juga tidak jauh beda," ucap salah seorang tetanggaku. Kata-kata itu sangat jelas dan sampai saat ini masih terdengar jelas dan membekas.

Apa memang keluargaku ditakdirkan untuk menjadi perempuan kedua? Bahkan jika dirunut ke atas pun, ibu yang terkenal sebagai sinden di kampungku dan menjadi bintangnya sebuah kelompok seni jaipong ternama pimpinan Pak Wijaya, juga menjadi istri kedua lelaki terkaya di kampung ini sebelum istri pertamanya benar-benar diceraikan.

Kemudian nenekku juga begitu. "Dijual" kakek hanya karena soal hutang-piutang. Gara-gara kalah judi sabung ayam dengan Juragan Jaya, nenek terpaksa harus menjadi tumbalnya. Pelunas hutang-hutang kakek yang konon tidak mampu terbayar dengan rupiah, kecuali menyerahkan nenek yang pada zamannya memang menjadi kembang desa.

Nah aku sendiri, setelah Pak Wijaya yang tiada lain adalah ayah kandungku sendiri meninggal dunia. Seluruh saudara tiri dan keluarga sang konglomerat itu tidak menerima kenyataan. Perlahan-lahan mereka merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan aku dan ibuku. Dan usaha mereka pun berhasil. Kami diusir dari istana emas itu, dan kembali ke rumah nenek yang memang hidup pas-pasan sepeninggalan Juragan Jaya.

**

"Aku tidak mengambil suamimu. Dialah yang terus-terusan membujukku agar menerima lamarannya," aku meberanikan diri mendatangi kantornya. "Sumpah demi Tuhan, aku sama sekali tidak pernah mencintainya. Silahkan ambil kembali suami ibu, itu jauh lebih baik bagiku."

Namun tetap saja, perempuan berusia tiga puluhan itu tidak mau mendengar perkataanku. Malah amarahnya semakin menjadi, saat aku mencoba menjelaskan lebih panjang. "Keluar kamu dari ruangan saya! Jangan lagi menginjakkan kaki ke tempat ini! Aku benci melihatmu!" dengan mata memerah.

Aku melangkahkan kaki, meninggalkan kantor berlantai sepuluh itu. Tiba-tiba di pintu lobi, aku berpapasan dengan laki-laki itu.

"Ratih, kok kamu ada di sini?" tanyanya sedikit kaget.

"Iya, aku habis menemui istrimu, Mas," jawabku.

Dia semakin kaget dan terlihat mukanya memerah. Mungkin malu, atau mungkin juga takut. Takut aku telah merencanakan sesuatu bersama istri pertamanya. Ini bisa menjadi preseden buruk baginya.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menaikki taksi yang memang sengaja aku minta untuk menunggu. Kuminta sang sopir mengantarku menuju terminal. Aku harus kembali ke rumahku, di sebuah kampung di daerah utara Jawa barat.

"Sudah sampai, Mba. Silahkan!" kata sang sopir dengan sopan.

Sebelum aku turun, kubuka dompet dan kuambil satu lembar rupiah 50.000-an.

"Kembaliannya, Mba?" kata sia.

"Terimakasih, ambil saja untuk bapak," kataku. Aku langsung bergegas menuju bus yang akan membawaku ke kampung halaman. Bus tanpa AC dengan kursi yang penuh coretan tangan-tangan jahil. Kupilih deretan kiri, dan kursi ketiga dari depan.

Di sepanjang prjalanan menuju rumah, pikiranku melayang, membayangkan pertemuanku dengan perempuan itu. Masih teringat, matanya merah penuh amarah, begitu juga dengan wajahnya, merahnya seperti matanya.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi menerima kedatangan laki-laki itu. Seluruh hati dan rumahku telah tertutup untuknya. Lebih-lebih setelah aku tahu, jika dia berniat mengambil Kaka dariku. Dia sengaja ingin memisahkan ibu dan anak, hanya demi merangkai kebahagiaan dengan perempuan itu.

**

"Mereka sudah tujuh tahun menikah tapi belum memiliki anak juga. Karena itu, dia mencari gadis lain yang mampu memberinya keturunan," begitu kata ibu ketika membujukku untuk menerima pinangan laki-laki itu, setahun lalu.

"Tapi, Bu. Dia itu sudah beristri. Pantang bagi saya menerima lelaki yang telah menjalin ikatan dengan perempuan lain. Apa kata orang nantinya," aku berusaha menyadarkan ibuku.

"Tidak apa-apa, Neng. Toh mereka sudah sepakat. Kamu tidak akan mendapat apa-apa, malah banjir rezeki dankebahagiaan, karena laki-laki itu mampu menjamin seluruh keperluan hidup kamu."

"Tidak, Bu. Aku tidak mau. Lagian aku masih ingin bersekolah, sayang kalau tiba-tiba harus putus sekolah hanya demi laki-laki," aku terus menyadarkan ibu.

"La, gadis lain seusiamu juga banyak yang putus sekolah. Kalau sudah ada jodoh, untuk apa menunggu lama?" ibu masih bersikeras membujukku. "Apalagi dia berjanji akan segera menceraikan istri pertamanya yang mandul itu. Nanti hanya kamu satu-satunya yang akan menjadi permaisurinya."

Aku tahu, ibu akan sangat bangga jika aku menerima pinangan laki-laki itu. Sudah ganteng, kaya raya, pengusaha dari Jakarta pula. Laki-laki seperti itulah yang banyak didamba para gadis, terlebih para orang tua yang matre seperti ibu.

Aku juga paham mengapa ibu dengan semangat membujukku menerima pinangan laki-laki yang baru satu bulan aku kenal itu. Dia sudah sangat sakit hati dengan keadaan. Hidup dalam kemiskinan dan menjadi cemoohan orang-orang di kampungku, lebih-lebih keluarga Pak Wijaya.

Jika aku menerima pinangan laki-laki itu, dan menjadi istrinya, walau hanya istri kedua, tentu kehidupan kami akan berubah drastis. Tidak lagi miskin, dan ibu juga tidak harus menguras keringat mencari nafkah dari panggung ke panggung, dengan penghasilan yang tidak menentu. Apalagi ibu sudah tidak muda lagi, usianya sudah 45 tahun. Beruntung, masih ada satu grup jaipong yang mengajaknya manggung, hanya karena suara ibu yang memang masih bening di usia paruh baya itu.

"Akan saya pikirkan," tiba-tiba bibirku berucap seperti itu.

Sontak, ibu pun senang buka kepalang. Dia langsung mendekatku dan memeluk tubuhku yang memang sedari awal percakapan duduk berjauahn dengan dia.

"Kamu anak sholeh, Nak. Ibu yakin, kamu bakal nurut sama ibu," ucapnya.

Aku yang mendengar itu hanya mampu meneteskan air mata. Bukan air mata bahagia sebagaimana yang tengah dirasakan ibu, tapi aku sedih sekali. Mengapa impianku meraih bintang di langit harus gagal hanya karena keadaan?

**

Mengetahui aku bersedia diperistri, laki-laki itu semakin sering menemuiku. Kadang tanpa diduga, dia sengaja menjemputku dari sekolah. Toyota camry menjadi kendaraan yang biasa dipakainya saat bertemu denganku.

"Hai..." dia melambaikan tangannya ke arahku, ketika suatu hari menjemputku dari sekolah. Sebuah SMA di pinggiran kota kelahiranku, Subang Jawa Barat.

Aku yang tidak tahu jika dia akan menjemputku hanya kaget dan malu harus membatalkan janjiku pada teman-teman, pulang bersama naik elf. "Teman-teman, maaf ya, aku tidak bisa pulang dengan kalian," kataku meminta maaf.

Beruntung mereka bisa mengerti. Aku telah dijemput seseorang, seorang lelaki dari kota. Terlihat dari mobilnya yang mewah, juga pelat nomor yang berleter B, Jakarta.

Kami pun berpisah, dan laki-laki itu langsung mendekatiku. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkanku masuk. Sabuk pengaman langsung kupasang, tapi aku masih belum bisa trsenyum. Hanya diam, bahkan wajahku berubah menjadi cemberut.

Seolah mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Laki-laki itu mencoba mencairkan suasana. "Enak ya bisa tinggal di desa, semua serba damai," katanya basa-basi. Aku yang sudah tahu akal-akalannya, hanya terdiam dan enggan berkomentar.

"Jakarta beda banget. Semua macet dan panas sekali. Orang saling tidak peduli," katanya lagi.

"Tapi kenapa ya kok banyak orang yang berlomba ke Jakarta?" aku mulai terpancing dan melebur dalam obrolan dia.

"Mungkin karena mereka menganggap Jakarta masih sangat menjanjikan. Seperyi mas ini contohnya."

"Memang kenapa? Mas juga tergiur pesona Jakarta ya?"

"Jelas. Dulu, mas juga dari desa. Karena punya impian dan cita-cita, akhirnya merantau ke Jakarta." Sepertinya laki-laki itu sangat senang jika diminta bercerita, apalagi menceritakan sejarah hidupnya.

Dia memang termasuk laki-laki ulet, sadar lahir dari keluarga yang serba pas-pasan di desa, dia berani merantau ke Jakarta dan mendirikan usaha. Kini, bisnisnya berkembang pesat, dan diapun sudah sering kali pulang-pergi luar negeri, sebuah kenyataan yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.

Aku juga suka iri kepadanya. Aku punya mimpi yang sama seperti dia, menjadi gadis desa yang sukses di kota. Namun sepertinya impian itu harus aku kubur dalam-dalam. Aku tidak punya pilihan lain, selain menerima pinangan dia dan menikan dengan laki-laki yang usianya terpaut 15 tahun di atasku.

**

Pernikahan aku dengan laki-laki itu tergolong sangat meriah. Dirayakan selama tiga hari tiga malam, dengan hiburan wayang golek, jaipong dan pagelaran sinden. Tidak tanggung-tanggung, sepuluh sinden beken yang ada di seantero Jawa Barat sengaja diundang dan mereka satu panggung.

Kulihat wajah ibu begitu sumringah. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya yang selalu terlihat merah itu. Ucapan selamat dari para tetangga pun tidak henti-hentinya berdatangan. Mereka ikut bahagia, aku si anak semata wayang sinden jaipong itu mampu menggaet pengusaha muda asal Jakarta.

Kebahagiaan pun semakin sempurna saat para tetangga itu tahu jika laki-laki itu seorang duda. Dia telah menceraikan istrinya yang tidak pernah bisa memberinya keturunan.

"Ganteng banget ya, kaya lagi," kata mereka setengah berbisik saat malam perayaan ketiga.

"Kamu beruntung banget ya," kata yang lain.

Aku yang diberi pujian dan ucapan selamat itu hanya diam. Sama sekali tidak bahagia dengan keadaan ini. Menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah aku cintai, apalagi mimpiku meraih bintang di langit harus terkubur sia-sia.

Ternyata aku benar, perasaanku tidak pernah bisa berbohong. Lelaki itu bukanlah duda. Dia belum jua menceraikan istri pertamanya. Dan aku, hanya menjadi istri kedua.

Semua itu aku ketahui ketika seseorang mendatangi rumahku. Bukan perempuan, namun seorang lelaki yang mengaku bawahannya. Ketika datang, lelaki itu menanyakan banyak hal, teramsuk menanyaiku yang terlihat sedang berbadan dua.

"Iya, alhamdulillah, aku memang sedang hamil. Sekarang jalan bulan ketiga," jawabku seadanya.

Lelaki yang usianya di atas usia ibuku itu hanya mengangguk. Seolah dia yakin atas dugaan awalnya selama ini. Tidak lama, lelaki berambut plontos itu pun langsung pamit, menaiki altis silver berpelat Jakarta.

Tidak lama kemudian, tepatnya sekitar tiga minggu dari lelaki itu bertamu ke rumah. Seorang perempuan berbadan tinggi kecil melabrakku. Dia bertamu tanpa sopan santun, malah memakiku sebagai perempuan perebut suami orang.

Aku langsung beristigfar dan meminta laki-laki yang telah menikahiku lima bulan itu untuk segera menceraikanku. Namun dia bersikeras tidak mau melepasku. Jikapun iya, dia akan membawa anak hasil pernikahan kami ke tangannya. Dia akan membawanya ke Jakarta, dan membesarkannya bersama perempuan itu.

Sejak saat itulah, para tetanggaku yang sedari awal memang tidak pernah suka pada keluargaku, berubah langsung membenciku kembali. Pujian mereka kemarin, hanya sebuah jalan agar aku masih tetap mengakui mereka sebagai tetanggaku. Tidak seperti yang lain, jika sudah kaya, lupa pada orang-orang sekampung.

**

"Tu kan, badannya panas sekali. Dia sakit," kata Ratmi dengan wajah cemas.

Aku yang masih bekerja menyelesaikan satu kasur lantai di samping rumah, langsung kaget. Pantesan, tidak biasanya malaikat kecilku itu rewel. Dia anak yang penurut, dan tahu betul apa yang sedang dialami ibundanya.

"Rat, tolong bantu aku memanggil tukang ojek. Aku harus membawanya ke dokter, badannya benar-benar panas," aku semakin salah tingkah.

Ratmi pun berlalu meninggalkannku menuju rumah Mang Sarif, meminta tolong mengantarku ke dokter.

"Sayang, tenang ya, sebentar lagi kita ke dokter. Tante Ratmi sedang memanggil tukang ojeknya, kita akan berangkat. Sayang jangan nangis terus dong," aku berusaha menenangkan Kaka.

Cukup lama Ratmi pergi dari hadapanku, tapi dia belum kembali juga. Ada apa dengannya? Apakah sesuatu telah terjadi padanya? *****

Bandung, 8 November 2009

Senin, 26 Oktober 2009

Seharusnya Bukan Aku

Seharusnya bukan aku yang berada di sini, sekarang.
Dia yang jauh lebih pantas.
Kenapa kamu malah membawaku ke mari???

Seharusnya dia yang berada di sini, sekarang.
Aku bukan orang yang tepat.
Kenapa kamu malah membawaku ke mari???

Apa kamu masih belum puas dengan semuanya?
Apa kamu masih belum puas???
Katakan sekarang, katakan!!!
Jangan cuma diam.

corat coret we, ngasal...

Apa Kabar Kalian?

HAI, hai, apa kabar kalian semua? mudah-mudahan selalu baik.

Hmmmm,,,, bingung mo nulis apa ya? dah lama siy gak nulis-nulis, jadi we lupa. Ah, aya-aya wae.

Minggu, 06 September 2009

Lebaran

Tidak terasa, Ramadan sudah memasuki hari ke-16. Berarti sudah separuhnya terlewati, dan tinggal separuh lagi. Dengan begitu, semakin dekatlah menuju lebaran. Artinya, semakin cepat pula berpisah dengan bulan penuh rahmat ini.

Apa yang sudah aku persiapkan menuju Hari Kemenangan itu? Apa pula yang sudah aku bekalkan untuk menapaki 11 bulan sisanya lagi (jika umur memungkinkan)? Ah rasanya sulit sekali. Aku belum punya apa-apa untuk menyambut Idul Fitri itu.

Jangan-jangan, aku memang tidak berhak untuk menyandang status orang fitrah. Bayangkan saja, sampai separuh Ramadan ini belum banyak hal kebaikan yang aku perbuat. Semua agenda juga terabaikan.

Contoh kecil, khatam Qur'an misalnya, wah malu kalau harus aku ceritakan di sini. Semuanya serba tertinggal. Tapi ya Allah, jangan sampai tertinggallah aku menjadi hambaMu yang mendapat maghfirah. Amin...

Sebaliknya, malah perbuatan jahat dan dosa yang terue-menerus tidak bisa aku kurangi. Aku belum bisa menahan amarah, emosi dan nafsu. Padahal itu adalah kunci utama untuk menjadi orang yang fitrah. Ah, aku sungguh jauh dari itu. Aku malu, malu pada diri sendiri.

Betapa tidak? Hari-hariku beberapa tahun terakhir ini sungguh jauh dari apa yang diharapkan. Aku termasuk orang yang merugi, karena tidak mampu meningkatkan kebaikan dari hari ke hari. Malah sebaliknya, semakin buruk dan terpuruk.

Jika dulu setiap hari mampu membaca Alqur'an beberapa ayat bahkan juz dalam sehari, apalagi di bulan Ramadan bisa sampai tiga juz sehari. Otomatis, satu bulan bisa khatam tiga kali. Wah sekarang, jangankan sehari satu juz, kadang satu ayat pun terlupakan. Tidak bisa dilakukan.

"Ya Allah ampunilah aku, hambaMu yang salah ini. Bimbinglah aku ke jalanMu yang benar dan berilah aku kekuatan untuk senantiasa menjadi orang yang baik dan benar menurut ajaranMu."

Jika melihat kenyataan saat ini, pantaskah aku merayakan Hari Kemenangan 1 Syawal mendatang??? Ah sekali lagi, aku malu. Sangat malu....

Selasa, 01 September 2009

Kangen Rumah dan Si Dia

AKU lagi terserang virus cukup ganas. Parahnya lagi, virus ini hanya satu obatnya. Pertemuan. Bertemu dengan dia, dengan orang-orang terdekatku.

Yupz, aku memang tengah dirundung virus kangen. Kangen banget dengan keluarga dan tentu saja di dia yang sudah lebih dari setahun ini berada di dekatku. Menjadi tempat curhatku, dan tak jarang menjadi pelampiasan amarahku. Maafin aku ya, Sayang!

Aku memang sudah cukup lama tidak bertemu dengan keluarga. Kalau tidak salah lebih dari dua bulan. Bahkan sebelum Ramadan pun aku tidak sempat berkumpul dan meminta maaf dengan keluargaku. Aku lebih mementingkan tetap di sini, bekerja dan bekerja.

Dengan dia, tentu saja kangen. Walau memang pertemuan kami tidak sejarang dibanding pertemuanku dengan keluarga. Pekan ketiga bulan lalu, kami bertemu. Tapi setelah itu belum lagi dan tak tahu kapan lagi akan bertemu. Kami belum memperbincangkannya lagi.

Yang jelas menjelang Lebaran kami pasti ketemu (itu pun jika kami masih dikarunia umur panjang dan kesehatan). Kebetulan di kantor ada jeda libur dua hari selama Lebaran, dan itu bisa dimanfaatkan untuk pulang kampung. Berkumpul dengan keluarga dan tentu saja dengan dia kekasihku.

Omong-omong soal pulang kampung, sudah barang tentu aku bakal ketemu dia. Ya iyalah, dia kan Orang Subang juga. Tapi lebih dari itu, dia paling telaten padaku. Setiap kali pulang pasti menjemputku ke Bandung, dan kami pun pulang bareng sambil mengendarai roda dua.

Sayang, ida kangen... kangen banget. Berharap kita bisa bertemu secepatnya. Dan mudah-mudahan saja, komunikasi kita lewat telepon atau media online bisa menjadi obat penawar kangen. Kamu lagi apa??? Istirahat yang cukup ya...

Hore... Besok Libur

HMMM... gimana rasanya ya libur setelah semalamnya piket? Maklum, ini pertama kali. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Begitu malam piket, ya tentu saja paginya harus sudah liputan lagi.

Lho kok sekarang bisa ya? Ya iyalah (masa ya iya dong?) karena pekan kemarin saya gak libur, makanya besok (Rabu, 2/9) jadi penggantinya. Wah lumayan juga, bisa digunakan untuk sejumlah kegiatan. Yang pasti kegiatan di kosan lah, mulai dari nyuci, nyetrika sampai beresin kamar kos yang sudah seminggu ini "terbengkalai".

Di samping itu, tentu saya punya tugas jauh lebih mulia. Tadaru sAlqur'an. Say asudah janji, Ramadan ini harus khatam. Jika biasanya bisa sampai dua atau tiga kali khatam, setidaknya dengan aktivitas yang padat, tahun ini bisa khatam sekali saja.

Tapi melihat sebelas hari ke belakang, ternyata tadarus saya masih jauh tertinggal. Seharusnya jika ingin bisa khatam, sehari harus baca satu juz, tapi setelah sebelas hari ini baru bisa selesaikan delapan juz. Luar biasa tertinggalnya, kan?!!!

Ya Allah beri kekuatan padaku untuk bisa tadarus setiap hari. Jauhkan aku dari sifat malas karena itu penyakitnya dan penyebab utama mengapa sampai sekarang ini aku masih tertinggal tadarus.

Bukan cuma tadarus, kalau diingat-ingat, masih banyak amaliah Ramadan yang tertinggal. Tarawih misalnya, masih bolong-bolong. Hanya beberapa malam saja yang rutin, dan itupun di awal. Setelah ke sini-sini, wah jauh sekali.

Cape, itu selalu jadi alasan. Padahal tentu saja jika mampu melawan nafsu pasti bisa. Itu tadi, kunci penyebabnya adalah malas. Sekali lagi malas.

Jauhkanlah ya Allah aku dari sifat malas. Amin

Selasa, 25 Agustus 2009

Belum Bisa Tahan Emosi

SUDAH semestinya bulan yang suci ini dijadikan momentum untuk introspeksi diri. Menilai apa yang sudah dan belum dilakukan sepanjang satu tahun ini atau bahkan mungkin sepanjang kita dilahirkan ke dunia.

Namun itu semua rasa-rasanya belum bisa saya penuhi dengan baik. Untuk hal kecil saja misalnya, belum bisa melakukannya dengan baik. Jujur saja, saya belum bisa menahan emosi saat berpuasa. Padahal jauh di dalam lubuk hati saya juga ada semacam ketakutan akan hilangnya nilai puasa yang sudah diniatkan sedari waktu imsak bahkan jauh hari sebelumnya.

"Saya ingin puasa saya tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Jika perlu, mendekati sempurna," niat saya begitu Ramadan akan tiba.

Kenyataannya, ternyata masih jauh sekali. Ada beberapa contoh gara-gara tidak bisa menahan emosi, saya harus bersitegang dengan calon suami saya. Yang paling anyar, beberapa jam lalu. Ketika itu saya lagi sibuk memeriksa halaman koran. Ternyata di saat yang sama handphone berbunyi. SMS masuk.

Saya biarkan saja SMS tersebut, tidak dibalas bahkan dibuka pun tidak. Maklum lagi tanggung memeriksa halaman koran. Selang beberapa waktu, handphone kembali berbunyi. Kali ini panggilan. Tertera di layar, panggilan berasal dari dia. Saya kembali cuekin.

Seusai memeriksa, saya manfaatkan waktu luang untuk shalat Isya. Kebetulan dari tadi belum shalat padahal azan Isya sudah terdengar sekitar dua jam sebelumnya. Setelah shalat itulah saya coba kontak calon suami. Berharap bisa ngobrol panjang-lebar.

Oo ternyata reaksinya lain. Dia kesel dan perbincangan kami pun tidak hangat. Saya pun bicara dengan nada sedikit tinggi dan dia tidak menerima. Tanpa disangka, ternyata telepon pun terputus. Lebih tepatnya sih diputus. Dia yang memutuskan, karena mungkin sangat jengkel dan dongkol bicara dengan saya.

Kejadian itu membuat saya termenung sejenak dan berpikir, "Sok banget dia? Emang yang saya pikirkan cuma dia seorang saja, banyak. Kerjaaan lah, tugaslah dan masih banyak lagi. Dia egois banget..."

Dengan pikiran kacau, saya pun langsung mengirim pesan singkat kepadanya. Isinya tentu saja minta pengertian dia, tapi dengan nada yang tinggi juga. Beruntung dia tidak sama-sama meninggi, dia malah minta maaf dan mencairkan kembali suasana.

Ternyata, saya memang belum bisa menjaga emosi di bulan suci ini. Semestinya saya bisa karena menurut Rasulullah Muhammad SAW pun, jihad yang paling bagus pun adalah menahan hawa nafsu yang mana di dalamnya terdapat menahan emosi.

Ramadan yang masih panjang, diharapkan bisa membuat saya lebih baik. Tentunya bisa menjaga emosi. Amin...

Bandung, 25 Agustus 2009

Rabu, 19 Agustus 2009

Ke Kantor (Lebih) Cepat

HARI ini aku memang lain. Betapa tidak, bayangkan saja pukul 11.45 sudah tiba di kantor. Padahal hari-hari biasanya, aku baru bisa tiba di kantor sekitar pukul 15.00. Wah, apa ada sesuatu yang terjadi?

O o.. tentu saja, hari ini memang ada yang beda. Mungkin bisa dikatakan sedikit lebih spesial lah (ha ha ha gayanya).

Tentu saja, semalam aku dapat SMS (pesan singkat) dari salah satu redakur. Isinya, aku diminta untuk tiba di kantor pukul 12.00. Katanya, akan ada diskusi tentang Sunda dan ke-Sunda-an di kantor.

Entah apa tujuannya, aku tanpa mabil pusing. Yang jelas, aku "diperintahkan" untuk tiba di kantor lebih siang. Dan tepat saja, aku memang sudah sampai kantor dari setengan jam lalu.

O o.. tapi walau diinformasikan akan ada diskusi pukul 12.00, ternyata sampai detik ini diskusi itu belum juga digelar. Memang sih sudah ada beberapa tamu yang tiba di kantor. Aku mengenali salah satunya, dialah tokoh Sunda Jawa Barat.

Mungkin diskusinya sekitar pukul 13.00, toh kita sebagai Muslim mesti sholat dulu. Untuk sholat, tentu saja butuh waktu. Ya iyalah....

Satu Senyum Saja

MENDAPAT senyum darimu saja, aku sudah dibuat senang setengah mati. Hatiku damai dan tenteram, seolah dunia ini hanya milikku sendiri. Andai saja kau mengerti, aku sudah jatuh hati padamu.

"Yas, kamu harus percaya sama aku. Aku akan senantiasa ada di dekatmu, melindungi kamu dari bajingan-bajingan keparat itu!"

Kata-kata itu seolah baru saja terucap dari bibirku. Bahkan bibir ini masih belum kering saat aku mengatakan hal itu kepadamu. Aku masih ingat betul, betapa kamu punya cita-cita mulia dan nekat hendak pergi menuju ibukota demi mewujudkan cita-cita tersebut.

Sebagai sahabatmu, sahabat sejak kecil dan ketika beranjak dewasa mulai merasa jatuh hati padamu, tentu saja aku sangat mendukung segala yang kamu inginkan. Namun, sebagai lelaki kampung yang kere, tentu saja aku tidak bisa membantumu lebih banyak. Aku hanya bisa pasrah, tak berani berbuat apa-apa.

Bahkan saat kamu dibawa paksa oleh bajingan-bajingan itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain termangu sendiri menatap kepergianmu. Masih hafal betul dalam ingatanku, kamu berteriak keras meminta tolong padaku, pada sahabat dekatmu. Kamu meminta aku membatalkan langkah bajingan-bajingan itu membawamu ke negeri entah berantah.

Ah, andai saja aku punya nyali untuk menghentikan langkah mereka, tentu saat ini aku masih bisa menatap wajah cantik Yasmin lengkap dengan senyuman khasnya. Namun waktu tidak bisa diundur, dan aku hanya bisa menerima kenyataan ini dengan pahit.

"Tuhan, kembalikanlah Yasminku ke hadapanku. Tentu aku akan menjaganya dengan baik. Tidak akan pernah aku biarkan dia dikuasai bajingan-bajingan itu," pintaku dalam setiap doa.

Pernah beberapa kali aku memimpikan dia datang padaku. Mengenakan pakaian indah nan rapi. Wangi parfum tercium tajam olehku. Namun ada yang hilang dalam mimpi itu, aku tidak lagi melihat senyumnya yang manis. Padahal senyum itu sudah menjadi ciri khasnya, dan tak ada seorang pun yang bisa menyainginya.

"Bayu, aku mau nitip sesuatu padamu. Sampaikan permohonan maafku untuk kedua orangtuaku. Aku belum bisa berbuat baik pada mereka. Sampaikanlah Bayu. Aku mohon. Kamu adalah sahabat terbaikku," pesannya.

Setelah itu diapun pergi dan menghilang. Namun genggaman tangannya masih tetap terasa hangat. Seolah baru beberapa detik saja kami berpegangan tangan. Aku yang tersadar itu hanyalah mimpi, langsung duduk termenung di atas tempat tidur. Apa yang terjadi pada Yasmin, bisikku dalam hati.

Sejak mimpi itu, pikiranku langsung kacau. Aku tidak bisa konsentrasi dengan baik. Bahkan bekerja pun aku sudah tidak punya semangat, sampai-sampai Pak Prem, supervisor di tempat kerjaku menegurku beberapa kali.

"Kamu ini kalau kerja yang semangat dong. Masa lemas kayak gitu. Ada masalah toh?"

Aku yang memang tengah tidak bisa berkonsentrasi tidak mampu menjawab pertanyaan Pak Prem. Hanya gelengan kepala yang bisa aku lakukan. Aku memang benar-benar tidak tenang hati. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Yasmin.
**

Mimpi burukku itu aku ceritakan kepada Hendra, sahabatku. Kami sama-sama tinggal satu kamar di tempat kos Pak Haji. Dia laki-laki baik dan sederhana. Aku mengenalnya saat pertama kali bekerja sebagai pegawai gudang di supermarket Bigmarket ini.

Dia anak laki-laki semata wayang dalam keluarganya. Tentu saja bapak dan ibunya sangat menyayanginya. Bahkan setiap kali libur mingguan, orangtuanya tidak pernah absen untuk menyuruhnya pulang. Maklum, letak kampung halaman dengan kota tempat kami bekerja tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu 1,5 jam untuk bisa sampai ke rumah.

"Tapi aku tidak butuh belas kasihan mereka. Sebaliknya, aku kasihan sama mereka. Gara-gara kakakku, keadaan kami kini jadi jauh lebih sulit," kata Hendra.

Tentu saja, biaya kuliah kedua kakaknya tidaklah sedikit. Lebih-lebih, keduanya berkuliah di kota yang menuntut biaya hidup lebih tinggi.

"Sebetulnya mereka masih bisa berhemat, tapi dasar memang sudah terbawa gaya hidup orang kota, mereka tidak sadar diri," jelasnya.

Usai selesai kuliah dan memperoleh gelar sarjana, nasib malang menemui keduanya. Melamar ke sana-ke mari, belum juga memperoleh pekerjaan. Akhirnya keduanya pun memutuskan pulang kampung.

"Tapi setelah di kampung, mereka tetap tidak bisa bekerja juga," kata Hendra lirih.

Hanya bergantung kepada kedua orangtuanya, lama kelamaan beban hidup pun mulai membengkak. Dan malangnya, Hendra si bungsu tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Dia harus pasrah hanya mampu mengenyam pendidikan sampai bangku SMA.

Nyali yang tinggi telah mendorong Hendra sampai di kota ini. Kami pun bertemu karena sama-sama bekerja di supermarket yang sama.

"Aku bersyukur punya teman seperti kamu. Kamu sangat baik dan pengertian," ucapku padanya.

Dia hanya bisa tersenyum dan membalas pujianku dengan kata-kata bijak, "Mungkin kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu."

Ya, ditakdirkan untuk bertemu. Andai saja itu yang terjadi antara aku dan Yasmin. Tentu aku akan sangat bahagia, bisa hidup bersama gadis pujaan.

Bersama gadis pujaan? Sejak kapan? Bukankah aku hanya sebatas sahabatnya saja, yang dikenalnya sejak masa kecil lalu?

Ya, ya, andai saja aku berani bicara pada Yasmin, tentu dia akan mengetahuinya. Dan, bisa saja, dia tidak ikut bersama bajingan-bajingan itu ke negeri entah berantah. Dia lebih memilih bersamaku, karena aku yakin, dia juga suka padaku.

Ah, andai saja...."Kamu kangen kali ya? Sampai segitunya bermimpi?" tanya Hendra kepadaku."Entahlah, karena sejak dulu aku memang sudah kangen padanya."
**

Perpisahanku dengan Yasmin memang sudah cukup lama. Kalau tidak salah, September depan genap tujuh tahun. Tapi aku masih merasa perpisahan kami seperti baru beberapa hari saja. Aku masih mengingat betul bagaimana dia berteriak meminta tolong kepadaku.

"Tolong aku, Bay...tolonglah!" diapun menangis dan tetap berteriak meminta tolong, "Mereka memaksaku, Bay...tolonglah aku!"

Sayang sekali, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku hanya termangu sambil meneteskan bulir-bulir bening dari kelopak mata.

"Aku akan menyusulmu, Yas. Pasti," janjiku ketika itu.

Menyusulnya? Menyusul ke mana? Semua orang di desaku tidak ada yang tahu ke mana Yasmin pergi. Mereka tidak paham mengapa bajingan-bajingan itu membawa paksa gadis yatim piatu itu. Dan aku, aku juga sama. Bahkan mungkin lebih tolol, tidak bisa memenuhi permintaan dia saat berteriak meminta tolong.

"Aku harus ke kota, Mak," ucapku pada ibu. Berharap di kota bisa bertemu dengan Yasmin dan membawanya pulang ke desa.

"Untuk apa?" tanya ibu.

Nadanya sedikit aneh, seperti yang takut kehilangan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, dan kami pun terdiam. Baru kemudian ibu mencoba bicara, "Tempat kamu di sini, Nak. Bersama Emak, dan selamanya harus bersama."

Aku tidak bisa berkata lagi, namun dari raut wajah dan gerak-gerikku, ibu mengerti juga apa yang sedang aku pikirkan. Akhirnya dia pun mengizinkanku juga. Dengan berbekal beberapa puluh ribu, aku diantar ibu sampai ke pangkalan ojek.

"Kamu harus bisa membawa diri di kota. Ingat Bay, kota itu tidak seperti desa. Di sana semuanya serba sulit," ibu terus-menerus berpesan padaku. Aku hanya bisa mengangguk mendengarkannya.

"Bayu akan tetap ingat Emak walaupun kita jauh. Emak percaya sama Bayu, setiap saat Bayu akan selalu memberi kabar pada Emak," kataku meyakinkan ibu.

Benar saja, sesampainya di kota dan memperoleh pekerjaan, aku langsung menelepon rumah Bu Kades memberitahukan kabar pada ibu. Ibu pun dengan semangat ngobrol panjang-lebar padaku. Dia terlihat senang mendengar kalau aku sudah mendapat pekerjaan.

Kebiasaan tersebut berlangsung hanya dalam waktu singkat. Tahun kedua aku menetap di kota, kebiasaan berkirim kabar tidak lagi rutin dilakukan. Aku hanya melakukannya jika memang dirasa perlu. Tentu saja, di saat aku memang perlu mendapat wejangan dari ibu.

Ada pengalaman paling menyedihkan ibu dariku. Pada lebaran tahun keempat, aku tidak bisa menemuinya di desa. Aku terpaksa harus lembur karena mengejar target. Ibu pun bersedih, sampai-sampai dia yang menelepon langsung kepadaku.

"Kamu kenapa, Bay? Apakah sudah tidak mau bertemu dengan Emakmu ini?"

"Bukan begitu, Mak. Bayu di sini harus kerja. Belum libur, mungkin nanti setelah libur, Bayu akan pulang juga menemui Emak. Emak yang sabar dan baik-baik saja ya di rumah. Bayu juga di sini baik-baik saja," kataku menenangkan dia.

Namanya ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan merawat sampai dewasa, tentu hatinya tetap bersedih meski sudah mendapat penjelasan. Terdengar dari belakang telepon, dia sesegukan menangis.

Aku memang jahat, hanya demi rupiah dan bercita-cita mengejar Yasmin, aku rela tidak pulang ke desa. Membiarkan ibu tersiksa dan bersedih.

"Maafkan Bayu, Mak. Bayu banyak salah sama Emak, termasuk ini juga telah membuat luka di hati Emak," pintaku ketika itu.

Ibu kembali sesegukan dan kali ini lebih kencang dari yang tadi. Aku sedih mendengarnya meski sesekali dia menyembunyikan tangisannya. Aku anak semata wayangnya ternyata masih belum juga bisa membahagiakan dia. Sebaliknya, tindakanku malah membuatnya sedih.

"Emak maafkan Bayu ya. Sekali lagi Bayu mohon maaf. Bayu memang sudah keterlaluan sama Emak, tidak seharusnya berlaku seperti ini." Sambungan telepon pun terputus, dan aku tidak bisa menelepon lagi.

Sepanjang hidup kami, aku memang belum pernah melihat ibu bersedih. Dia selalu bahagia dan tersenyum walaupun keadaan kami tidak mendukung. Hidup pas-pasan dengan hanya mengandalkan hasil keringat ibu yang memang sudah tidak muda lagi.

Juah dari lubuk hatiku, aku ingin melihat ibu bahagia, lebih bahagia saat kami bersama di desa. Karena itu, aku memutuskan ke kota mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidup kami. Namun siapa sangka, keputusanku ternyata tidak juga bisa merubah keadaan. Ibu tidak bahagia, malah dia bersedih tinggal jauh dariku.

Oh ibu, andai saja aku bisa menjelaskan dengan jujur, tentu bisa sedikit mengubah keadaan. Tapi sekali lagi, aku mohon maaf, tidak bisa menceritakannya kepadamu. Tersenyumlah Mak, hari masih panjang dan aku akan kembali ke pelukan Emak.
**

Pencarianku atas Yasmin belum juga membuahkan hasil. Sudah kutelusuri semua sudut di kota ini, tapi aku masih belum juga menemukannya. "Mungkin ke Jakarta, Bay. Dia dibawa ke ibu kota," kata Hendra menjelaskan.

"Mungkin begitu, tapi aku ingin sekali mengejarnya. Aku ingin mencari dia dan membawa kembali ke desa."

"Tapi bagaimana caranya? Untuk sampai ke Jakarta, kamu perlu waktu. Nah, bagaimana dengan kerjaan kamu? Bagaimana ibu kamu?"

"Benar juga, tapi aku memang harus ke Jakarta, Ndra."

Kucari-cari buku telepon. Aku masih ingat, Pak Kades pernah memberiku nomor telepon dan alamat putranya yang tinggal di Jakarta. Ketika itu dia tahu kalau aku akan pergi ke kota ini, dan tidak mustahil suatu saat berkeinginan ke Jakarta. Dengan penuh ikhlas, Pak Kades langsung memberikan nomor dan alamat itu padaku.

"Aku tahu Ndra apa yang harus aku lakukan. Aku akan ke Jakarta."

"Apa?" Hendra kaget.

"Aku akan pergi besok. Aku akan menelepon dulu Mas Ardi anaknya Pak Kades. Aku mau numpang beberapa hari saja di sana untuk mencari keberadaan Yasmin."

"Pekerjaan kamu?"

"Aku mau minta cuti sama Pak Prem. Gampang, dia kan orangnya baik sekali, pasti ngasih cuti."

"Tapi kan ngurus cuti butuh waktu."

"Aku tahu Ndra. Tapi aku benar-benar harus mencari Yasmin sebelum semuanya berantakan."

"Maksud kamu apa? Aku tidak ngerti."

Aku langsung menuju wartel dan menelepon rumah Mas Ardi. Hanya menunggu tiga detik, teleponku ada yang mengangkat. Terdengar suara lembut seorang perempuan. Pasti istrinya Mas Ardi, aku yakin itu.

"Maaf Mbak, bisa bicara dengan Mas Ardi?" tanyaku kepadanya.

"Ini dengan siapa? Mas Ardi masih di tempat kerja," jawabnya.

"Anu, saya Bayu anaknya Mak Isah tetangga Pak Kades."

"O... ada apa ya? Apakah ada sesuatu dengan Bapak?"

"O tidak. Ini hanya kepentingan saya saja."

Aku utarakan maksudku padanya, dan dia pun membolehkanku datang ke rumahnya. Aku senang bukan kepalang. Dalam otakku tentu saja terpikir kalau aku akan lebih cepat bertemu Yasmin.

Aku bergegas kembali ke kamar kos dan menceritakan pada Hendra kalau besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta. Mengenai cuti kerja, aku akan bicara langsung pada Pak Prem nanti malam. Toh aku masuk shift malam kan?!

Tanpa disangka, Pak Prem langsung membantuku dan aku bisa mendapat cuti selama tiga hari. Aku bilang kepadanya saudaraku di Jakarta membutuhkan pertolonganku dan aku memang harus cepat-cepat menemuinya.

"Ya sudah, temui saja saudaramu itu. Kapan kamu berangkat ke Jakarta?" tanya Pak Prem.

"Besok pagi."

"Hati-hati ya.. Jakarta tidak seperti kota ini."

"Aku tahu, Pak."

Aku pun langsung permisi untuk bekerja kembali. Membereskan setumpuk dus makanan dan minuman yang hendak dijajakan di toko. Aku senang melakukannya karena hatiku memang tengah bahagia. Sudah terbayang dalam benakku kalau sesampainya di Jakarta, aku akan segera menemukan Yasmin.

Oh Yasmin, kamu memang telah membuatku gila.
**

Subuh-subuh aku sudah bersiap. Langsung meninggalkan kosan dan menuju terminal. Kutumpangi bis ekonomi menuju Jakarta, tepatnya Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Aku tahu dari peta, kalau tempat tinggal Mas ardi lebih terjangkau dari terminal Kampung Rambutan.

Setelah menunggu hampir setengah jam, bis yang kutumpangi mau berangkat juga. Aku berdoa di dalam hati, berharap perjalanan ini sukses dan secepatnya bisa menemukan Yasmin.

Aku memang telah jatuh hati pada gadis berbibir tipi situ. Pembawaan yang lembut dan baik hati menjadi pemicunya. Apalagi aku memang sudah lama berteman dengannya. Kami tinggal satu desa. Rumahnya 100 meter kea rah barat dari rumahku.

Kami lahir pada tahun yang sama, 25 tahun yang lalu. Hanya beda bulannya saja. Aku lahir Juni sedangkan Yasmin lahir September. Kami selalu satu sekolah, hanya waktu SMA saja yang beda. Dia di SMK Bisnis dan Manajemen sedangkan saya di SMA Negeri.

Ketika SD kami sering digodai temna-teman. Mereka bilang kami pacaran, meski ketika itu aku belum paham betul apa arti pacaran.

“Ah ngaku saja. Kalian kan sering pergi ke sekolah bareng dalam satu sepeda. Dia duduk di depan dan kamu mengendalikan sepeda dari belakang. Terus pulang sekolah juga bareng,” goda teman-temanku ketika itu.

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum kegirangan. Aku merasa bahagia dikatai seperti itu karena aku memang senang berteman dengan Yasmin. Aku juga senang terus berada berasam dia. Pergi ke sekolah bareng, pulang juga bareng. Di sekolah, tentu saja kami selalu satu kelompok dalam mengerjakan tugas.

“Kalian juga sering bermain bareng, bahkan hanya berdua saja. Bukankah itu tandanya kalian pacaran?” teman-teman wanita langsung menertawakan kami.

Ah biarkan saja mereka mau bilang apa. Toh aku hanya bersahabat baik dengan Yasmin. Dia aku anggap sebagai adikku, apalagi setelah bapaknya meninggal saat masih duduk di bangku SD kelas 2.

Hanya butuh waktu tujuh tahun dia hidup bersama sang ibu. Tepat setelah Ujian Nasional (UN) SMP, ibunda tercinta pergi untuk selamanya, dan Yasmin terpaksa harus hidup bersama nenek yang sudah renta.

Sejak saat itulah hidupnya menjadi liar. Jarang pulang ke rumah dan lebih sering menginap di tempat teman-temannya. Dia jadi sulit untuk diajak bicara, kecuali olehku, dia masih mau terbuka.

“Aku pusing banget, Bay. Aku stress. Aku butuh orang untuk diajak bicara,” ucapnya.

Aku yang duduk di sampingnya hanya terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau sekedar menjadi teman curhat, aku bisa. Bahkan aku selalu bersedia menjadi pendengar setianya.

“Bay, kamu dengerin aku kan? Gak mungkin aku bicara dengan nenek. Aku gak tega, Bay.”

“Berceritalah padaku, mudah-mudahan aku bisa membantumu.”

Diapun mulai mau bercerita dan terbuka. Dia bilang kalau saat itu tengah dikerumuni banyak laki-laki. Semuanya berniat jahat dengan dalih cinta. “Tapi aku gak percaya, Bay. Mereka bukan cinta dan saying padaku.”

“Kamu bisa ngomong baik-baik kan sama mereka? Bicaralah pada mereka,” usulku.

“Bicara gimana, Bay. Kamu tahu sendiri kan kalau mereka itu tipe orang seperti apa? Susah untuk ngomong.”

“Ya, gimana lagi. Aku juga gak tahu, Yas.”

“Kamu sahabatku, Bay. Aku pikir kamu bisa membantuku, tapi ternyata…” belum sampai dia selesaikan kalimat itu, aku langsung menatapnya dalam-dalam.

“Aku memang sahabatmu yang tolol dan bodoh, Yas. Kamu gak pantas bersahabat denganku.”

“Kok kamu malah marah, Bay. Aku kan cuma ingin kamu jadi lebih berani saja.”

Sejak saat itulah aku tahu kalau Yasmin dikejar-kejar bajingan-bajingan itu. Mereka memaksa Yasmin untuk menjadi kekasihnya. Namun bukan saying dan cinta yang diperoleh Yasmin, sebaliknya, dia seperti wanita belian yang bisa diperjual-belikan.

Hidup Yasmin semakin kacau, bahkan sampai-sampai dia tidak bisa menyelesaikan SMK-nya. Beruntung, dia masih tegar dan bersemangat, sehingga bisa meraih ijazah SMK.

Kini Yasmin sudah pergi dibawa bajingan-bajingan itu, tepat setelah UN SMK selesai. Dia dipaksa ikut bersama mereka, dan seluruh kampong juga mengetahuinya. Tapi apa yang bisa dilakukan warga? Toh mereka sudah mencap Yasmin sebagai perempuan jalang.
Tapi aku lain, Yas. Kamu harus percaya. Aku masih akan terus sayang dan peduli sama kamu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Percayalah.
**
Dua jam waktu yang lama bagiku untuk sampai Jakarta. Kulihat ratusan kendaraan menyemut di sepanjang lampu merah. Ah Jakarta, ternyata wajahmu seperti ini? Aku baru tahu sekarang.

Kutanya satpam yang berjaga di terminal, aku ingin tahu ke mana aku harus menuju rumah Mas Ardi. Dan satpam itu baik sekali, dia menyuruhku naik bis ke arah Blok M.

“Jangan naik Slipi, takutnya lewat atas, jadi susah untuk turun di Pancoran,” pesannya.

Aku pun langsung berucap terimakasih dan pamitan padanya. Kunaiki bis yang kumau dan kebagian duduk di paling pojok.

Beruntung kami tidak terjebak macet lama, sehingga dua puluh menit kemudian aku sudah bisa sampai rumah Mas Ardi. Rumahnya kecil dan sederhana dengan taman yang kecil juga. Kuketuk pintu rumah dan tak berapa lama seseorang membukanya.

“Permisi. Assalamu’alaikum…” ucapku, dan perempuan berjilbab itu langsung menebakku.

“Kamu Bayu anaknya Mak Isah itu kan?” tanyanya.

Aku hanya menganggukkan kepala dan perempuan itu langsung mengajakku masuk.

“Mari masuk. Mas Ardi sudah pesan sama saya kalau kamu akan tiba siang ini.” Dengan cekatan diapun langsung membawakanku minuman dingin.

“Iya, Mbak. Maafkan saya ya, saya ke sini hanya mau merepotkan saja.”

“Ah jangan sungkan seperti itu. Kita kan saudara,” suara lembutnya menenangkan jiwaku.

Setelah aku beristirahat satu jam, aku langsung menuju kamar kecil untuk mengambil air wudlu. Kebetulan saatnya sholat Ashar. Dan istri Mas Ardi itu terlihat tengah sibuk memasak. Aku tidak mau mengganngu, namun ternyata langkahku diketahuinya.

“Mau ke kamar mandi toh? Ke sini saja, jangan malu-malu. Tapi maaf ya tempatnya berantakan,” katanya.

Aku hanya tersenyum dan melangkahkan kaki ke dalam kamar mandi. Ternyata Mbak Rita baik sekali. Dia menganggapku seperti keluarganya. Aku jadi malu dibuatnya.
**

Selesai sholat Isya, Mas Ardi tiba di rumah dan langsung menemuiku. Dia menanyakan kabarku dan kabar orang-orang di desa.

“Maaf mas, aku sudah lama tidak tinggal di desa. Aku sekarang kerja di kota,” jawabku.

“Oya? Berarti tadi kamu tidak berangkat dari desa ya?”

“Tidak, Mas.”

Diapun sedikit curiga dan terus menerus menanyaiku. Dengan sedikit tidak enak hati, aku utarakan maksud kedatanganku di Jakarta.

Mas Ardi mengerti dan dia langsung menceritakan sesuatu padaku. “Aku pernah melihat seorang gadis yang memang mirip Yasmin,” ceritanya.

Dia pun bercerita kalau pertemuan itu berlangsung beberapa kali di tempat yang sama. Namun Mas Ardi tidak menceritakan di mana mereka pernah bertemu.

“Saya bisa mengajakmu ke tempat itu. Saya yakin dia menetap di sana,” katanya.

Aku pun langsung bersemangat dan optimis bisa menemukan gadis pujaan hatiku. Tapi aku melihat sedikit kesedihan di wajah Mas Ardi. Aku tidak ada apa yang dipikirkannya.

“Kamu yakin mau bertemu dengan dia?” tiba-tiba Mas Ardi bertanya. Aku yang sedari tadi mendengarkan ceritanya hanya bisa kaget dan manggut-manggut tanda bersedia.

“Mungkin dia tidak seperti…” belum sampai selesai, aku langsung memotongnya.

“Aku tahu dia masih tetap seperti Yasmin yang dulu. Dia memang korban para bajingan-bajingan itu, tapi aku tahu siapa Yasmin. Dia gadis yang baik.” Jawabku panjang-lebar.

Mas Ardi hanya menepuk bahuku dan berjanji akan membawaku besok pagi ke tempat Yasmin. Aku senang bukan kepalang, tenyata semuanya bisa berjalan lancar.

Aku mencoba mencari tahu kenapa Mas Ardi mengenali Yasmin. “Mas yakin kalau gadis itu adalah Yasmin?”

Mendengar pertanyaanku, Mas Ardi jadi kaget. Dia pun tertawa lebar, “Ya jelas Bay, aku kenal gadis desa itu. Kamu jangan ragukan saya, Bay, walaupun saya sudah lama tinggal di Jakarta tapi saya masih tetap merasa dekat dengan orang-orang desa, termasuk mengetahui persis si Yasmin itu.”

Aku hanya mengangguk dan semakin yakin bisa secepatnya bertemu dengan Yasmin. Membawanya pulang ke desa akan jauh lebih baik. Aku kasihan dengan neneknya yang sudah semakin tua itu. Dia sedang sekarat di rumahnya, dan hanya tetangganya yang menunggui.

Ngobrol dengan Mas Ardi membuatku semakin tidak bisa tidur malam ini. Aku semakin tidak tahan ingin segera bertemu Yasmin dan langsung mengajaknya pulang. Bila perlu, aku akan mengajak paksa, seperti saat bajingan-bajingan itu membawa paksa Yasmin pergi dari desa.
**

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00 dan aku bangun kesiangan. Ah, kenapa Mas Ardi atau Mbak Rita tidak membangunkanku untuk shalat Subuh? Ah, keterlaluan aku. Baru semalam tidur di kasur empuk saja, aku sudah lupa daratan.

Dengan rasa malu, aku keluar kamar dan menuju kamar mandi. Terlihat Mbak Rita sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mas Ardi duduk santai di depan televisi, menonton berita pagi.

Aku hanya tersenyum pada mereka, namun jauh di lubuk hati, aku malu sama mereka. Bangun kesiangan, dan benar-benar hanya numpang enak.

“Kamu siap-siap dulu, Bay. Baru kemudian kita sarapan bareng dan saya siap mengantarmu,” ucap Mas Ardi.

Aku hanya mengangguk, “Baiklah, Mas.”

Kami pun sarapan bersama dan aku langsung meminta izin Mbak Rita “meminjam” Mas Ardi untuk beberapa jam saja.

“Kalian hati-hati saja. Meski aku belum pernah ke tempat itu, tapi setidaknya aku tahu tempat itu berbahaya,” pesan Mbak Rita saat kami berpamitan.

Berbahaya? Seperti itukah adanya? Kalau iya, berarti Yasminku memang sedang berada dalam bahaya. Aku pun melangkahkan kaki lebih cepat menuju halte bis. Setelah ada bis yang dinilai tepat akan membawa kami ke tempat Yasmin, kami pun langsung naik.

Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk berada di dalam bis kota. Kebetulan hari itu jalanan Jakarta tidak macet. Kata Mas Ardi karena ini weekend. Biasanya orang-orang Jakarta pergi ke luar kota saat weelend sehingga jalanan pun lengang.

Kulangkahkan kaki menuju sebuah gang sempit. Sungguh tidak membuatku nyaman. Bukan karena ukurannya yang memang hanya cukup untuk dua orang berdampingan, namun bau busuk sampah di sekitarnya membuatku harus menutup hidung lebih lama.

Kulihat sejumlah perempuan paruh baya berpakaian minim berada di gubuk-gubuk sempit sepanjang gang. Mereka mengobrol satu sama lain, ada yang bersama wanita dan ada pula yang bersama pria.

Kepulan asap rokok menyembul dari mulut dan hidung mereka. Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Aku menggerutu dalam hati. Tapi tentu saja aku masih harus melanjutkan perjalanan ini, toh ada seseorang yang aku tuju.

“Boleh Mas, mampir saja,” pinta perempuan berpakaian ketat dengan dada terbuka. Aku hanya tersenyum dan terus melanjutkan perjalanan.

Tuhan, ternyata seperti inilah tempat Yasmin? Kenapa Kau mengirimnya ke neraka ini? Bukankah Kau sangat menyayanginya? Tuhan, aku tidak mengerti, teka-teki apa yang tengah Kau buat untukku dan Yasmin…

Langkah Mas Ardi berhenti di depan rumah. Rumah semi permanent yang cukup sempit. Aku yang tidak tahu hanya menurutinya saja. Ikut berhenti di sampingnya.
“Aku melihatnya di rumah ini,” katanya setengah berbisik.

Dari situlah aku baru tahu kalau rumah bercat pink itu adalah tempat tinggal Yasmin. Dia benar-benar sengsara. Dipaksa bajingan-bajingan itu ke kota hanya untuk menempati rumah sesempit ini. Pemandangan yang tak jauh beda dengan kondisi rumah di desaku.

Mas Ardi mendekati pintu dan mengetuknya. Beberapa kali diketuk belum juga ada yang membukakan pintu. Pikiranku tambah kacau, mengira Yasmin tidak lagi tinggal di rumah itu. Dan aku, sudah barang tentu tidak akan bisa membawanya pulang kampong.

“Maaf Mas, ada yang bisa saya Bantu?” perempuan cantik keluar dari rumah itu.

“Maaf Mbak, apakah di rumah ini ada yang bernama Yasmin. Dia perempuan dari desa?” Mas Ardi yang bertanya.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya terdiam dan wajahnya berubah pucat. Aku yang meluhat adegan itu hanya penasaran, apa yang sedang terjadi pada Yasmin.

“Memang betul. Ini tempat tinggal Yasmin,” akhirnya perempuan itu membenarkan. “Tapi… dia sufah tidak di sini lagi sekarang.”

“Ke mana, Mbak?” aku jadi penasaran.

Perempuan itu lagi-lagi terdiam. Setelah menghela nafas panjang, dia mengajak kami masuk rumah dan duduk di ruang tamu. Terlihat foto Yasmin di salha satu sudut dinding. Aku reflek mendekati foto tersebut dan berkata, “Dia Yasminku.”

“Jadi kalian ini keluarganya dari desa?” perempuan itu yang bertanya.

“Iya, kami keluarganya. Sudah sejak lama kami tidak mengetahui kabar dia,” jawab Mas Ardi lembut.

“Tapi sayang, Yasmin sudah tidak ada. Dia sudah meninggal akibat terserang virus penyakit.”

Aku yang mendengar perkataan itu langsung kaget tidak percaya. Kepala juga terasa menjadi berat dan penglihatanku gelap. Aku baru tersadar saat Mas Ardi bilang aku berada di puskesmas.

Yasmin, malang benar masibmu. Mengapa kamu harus menerima cobaan berat seperti ini. Aku langsung menangis dan sesegukan di tempat tidur puskesmas.

Andai ketika itu aku bisa menolongmu, tentu kamu masih bisa bersama kami. Setidaknya kamu tidak merasakan kesengsaraan di ibu kota.

Oh Yasmin, aku kangen sama kamu. Aku kangen senyummu. Aku kangen candamu. Kenangan tujuh tahun lalu terasa begitu dekat, terasa baru beberapa hari yang lalu saja.

Maafkan aku Yasmin, aku bukan pria jantan seperti yang kau mau. Aku tidak mampu menentang para bajingan-bajingan itu. Dan sekarang, bajingan-bajingan itu dibiarkan pergi tanpa harus dimintai tanggung jawab.***

Bandung, 19 Agustus 2009

Selasa, 11 Agustus 2009

Novel

ENTAH mengapa, beberapa hari terakhir ini saya keranjingan membaca novel. Gara-gara menemukan novel dengan cerita bagus beberapa minggu yang lalu, sampai saya penasaran untuk lebih cepat mengkhatamkannya.

Yups, hanya dalam tiga hari (dengan kesibukan saya yang luar biasa, cieh... bohong ketang!!!) novel setebal 400-an halaman itu berhasil ditamatkan. Padahal satu setengah tahun lalu, ketika saya membeli sebuah novel dengan tebal yang sama, baru bisa menamatkannya dalam waktu hampir setahun. Gila, bukan?

Cerita dan gaya bahasa yang ditawarkan novel ini memang sedikit berbeda. Bahkan sangat mengena, mungkin karena latar cerita ada di Indonesia, tepatnya di sejumlah tempat yang beberapa di antaranya sudah saya kenali. Lebih mengena jadinya.

Saya memang sedang keranjingan membaca novel. Betapa tidak? Dua hari lalu, saat "mengunjungi" arena pameran buku Bandung, saya langsung membeli dua novel. Bukan novel bar, tetapi terbitan enam tahun lalu yang memang memiliki cerita unik. Kebetulan penulisnya masih sama dengan novel sebelumnya.

Ah, di sini bukan maksud saya untuk menceritakan siapa penulisnya. Untuk judul novel saja, saya enggan membeitahukannya. Yang jelas, saya memang suka dengan novel. Saya suka tulisan fiksi seperti novel atau cerpen. Gaya bahasanya lebih hidup dan saya sebagai pembaca bisa berimajinasi dengan liar.

Sangat berbeda dengan buku. Buku yang melulu "kuno". Gaya bahasa yang kaku, dan cepat membuat bosan. Hugh... sejak dulu saya memang tdak suka dengan buku. Saya lebih suka membaca novel atau cerpen atau sejenisnya ketimbang harus membaca buku. Apalagi buku pelajaran, sangat membosankan.

Selasa, 04 Agustus 2009

Nulis Apa Ya???

SUDAH cukup lama juga saya tidak menulis (lagi) di blog ini. Bukan karena tidak punya ide untuk menulis, tapi rasa malas lah penyebab utamanya.

Ya, memang, terkadang rasa malas itu timbul begitu rasa capai hinggap. Alasan capai itu pula lah yang membuat saya untuk malas melakukan apapun, termasuk menulis. Padahal menulis bisa saja yang sederhana, yang tentu tidak akan memakan banyak energi.

Tapi ya begitulah, namanya juga malas. Kalau sudah malas ya mau gimana lagi????

Tapi entah kenapa, malam ini tiba-tiba saja saya kangen untuk menulis. Ya mungkin saja karena sudah lama absen itu sehingga rasa kangen itu muncul dalam jiwa. Menulis memang selalu mengasyikkan, walau sederhana tetap saja memiliki nilai kepuasan tersendiri.

Ngomong-ngomong soal menulis, saya bingung juga ya mau menulis apa neh. Harus memulai dari mana, masih bingung juga. Tapi kalau merujuk kepada tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, saya paling bisa menulis pengalaman. Tepatnya pengalaman pribadi, mulai dari bangun pagi sampai tidur (lagi) di malam hari.

Pengalaman? Pengalaman apa ya yang kira-kira bisa saya tulis malam ini? Kalau diingat-ingat, seharian tadi saya tidak punya pengalaman yang wah. Semuanya biasa-biasa saja dan berjalan standar. Berangkat pagi dari kosan menuju lokasi liputan, kemudian bertemu, ngobrol dan "diskusi" dengan sejumlah orang. Kembali ke kantor dan mengetik. Apa yang menarik untuk ditulis? Entahlah.....

Selasa, 21 Juli 2009

Pulang Kilat

ATAS dasar ingin menghadiri walimatul ursy' seorang klawan lama, Sabtu (18/7) lalu saya memutuskan untuk tidak masuk kerja. Saya memilih pulang dan menghadiri acara yang digelar di Kota Pangkal Perjuangan itu.

Seperti halnya saat saya hendak pulang kampung, saya meminta my boy'sfriend untuk menjemput. Bukan apa-apa, supaya lebih irit ongkos saja. Kan lumayan selisihnya antara naik kendaraan umum dengan motor sendiri. Jauh lebih hematlah.

Sehari sebelum hari H acara, dia pun datang menjemput. Kali ini tiba pagi dan langsung saya jemput di terminal biasa. Karena hari itu saya mesti kerja (karena pengganti hari libur), saya pun ajak dia untuk liputan. Berkeliling ke sejumah tempat, mencari bahan berita untuk diinformasikan ke khalayak publik.

Disdik Kota Bandung, kampus SMA Muslimin dan kembali lagi ke Disdik Kota, begitulah kira-kira liputan saya hari itu. Walau sedikit, tetap saja lumayan cape juga (Huehehe....) Menjelang sore, saya pun mendatangi gedung rektorat ITB, karena kebetulan hari itu ada jadwal sidang untuk para mahasiswa yang tersangkut perjokian di Makassar.

Sekitar empat jam saya "menghadiri" sidang tersebut, dan hasilnya? Cukup banyak info baru meski hanya dari petinggi ITB. Dari mahasiswa? Tentu saya tidak dapat keterangan apapun. Mereka lebih memilih tutup mulut dan menghindari wartawan.

Awal-awal sih ada beberapa yang bisa diajak bicara para wartawan. Keteranagnnya pun cukup bisa masuk logika. Namun sayang setelah bergeser beberapa puluh menit, saya beranggapan keterangan para mahasiswa itu "kurang benar".

Kok bisa? Jelas saja, banyak di antara rekan-rekan mahasiswa lain menyarankan agar temannya tidak bercerita panjang-lebar kepada siapapun, termasuk wartawan yang sedari tadi menggali informasi dengan cara mengajak ngobrol mereka. Apalagi setelah tahu sattus kami adalah wartawan.

Seperti saat rekan saya mengajak satu di antara mereka ngobrol, tiba-tiba rekan-rekan yang lainnya pada keberatan. Terlihat dari omongan mereka dan juga tingkah mereka yang langsung menelepon rekannya itu.

"Apa kamu hah? Jangan banyak bicaralah, mereka itu satu kelompok (wartawan)," ucapnya berbisik lewat telepon seluler.

Saya yang mendengar hanya tertawa kecil. Geli melihat tingkah mereka. Ternyata bukan hanya pejabat yang terseret satu kasus yang enggan memberikan keterangan, mahasiswa juga sama.
*

Dua berita sudah cukup untuk saya kembali ke kantor. Apalagi jarum jam sudah menunjukkan pukul 17.30 dan sudah cukup petang untuk saya mengetik berita tersebut. Dua berita pun selesai saya ketik, dan ya seperti biasa, saya langsung balik kanan menuju rumah kosku.

Masih bersama my boy'sfriend yang sedari tadi pagi setia menemani saya liputan, ditambah menunggu selesai ngetik di kantor saya pun langsung bergegas pulang. Kali ini bukan ke rumah (di Subang) seperti yang semula direncanakan. Kami lebih memilih pulang Sabtu pagi karena memang seharian itu kami merasa cape dan perlu istirahat cukup, apalagi udara malam di musim kemarau sangat dingin.

Sabtu pagi yang cerah, kamipun pergi ke arah Bandung Utara. Melewati Jalan Setiabudhi kemudian nyambung ke Lembang, dan mulai memasuki kawasan Tangkubanperahu. Dari daerah itu, Kabupaten Subang pun sudah bisa mulai dijajaki.

Karena tujuan saya adalah Kota Pangkal Perjuangan, saya belokkan kendali sepeda motor ke arah Wanayasa melalui Jalancagak-Sagalaherang. Menyyusuri jalan berbukit dilengkapi pemandangan sawah dan kebun teh serta sawit yang baru setinggi 80 sentimeter sungguh membuat hati saya terasa beda.

Jelas saja beda karena selama di Bandung, saya tak pernah melihat dan merasakan yang seperti itu. Yang ada, macet, macet dan macet saja. Sampai kadang untuk bisa sampai kosan di Jalan Kiaracondong dari kantor di Jalan Malabar pun harus menghabiskan waktu berjam-jam hanya karena terkena macet.

Sekitar tiga jam saya habiskan waktu untuk bisa sampai di tempat tujuan, di Kota Pangkal Perjuangan. Beruntung saya masih ingat letak rumah kawan saya yang menggelar walimatul ursy' itu. Padahal cukup lama juga saya tak menginjakkan kaki di rumah tersebut, setelah resmi pindah kerja ke Subang pada akhir 2007 lalu.

Bersalaman sambil memberikan do'a kepada mempelai, saya pun langsung bergegas pulang. Maklum saya sudah cukup cape selama seharian itu, dan akibat terlalu lama duduk di atas motor, (maaf) pantat saya pun terasa pegal dan panas banget.

Hanya butuh waktu dua jam untuk bisa sampai di rumah. Tepatnya rumah calon mertuaku (Heks...). Terik matahari siang di daerah pantura cukup membuat kulit saya terasa terbakar. Bisa istirahat di rumah dengan tenang adalah anugerah luar biasa bagiku di hari menjelang sore itu.

Memang perjalanan pulang saya cukup singkat. Hanya menghadiri kawan yang menikah, kemudian istirahat di rumah dan besok pagi sudah kembali ke Bandung. Tentu saja keinginan untuk bisa berlama-lama berkumpul dengan mereak (Orang-orang terkasih yang terus menyayangi saya) cukuplah besar, namun karena teringat akan tugas yang menanti saya memilih untuk kembali ke Kota Kembang lebih cepat.***

Selasa, 14 Juli 2009

Undangan (Lagi)

PEKAN lalu, tanpa sengaja saya mendapat kabar bahagia dari sahabat lama. Sahabat yang kukenal sejak tahun 2000 lalu, ketika kami sama-sama belajar di sekolah yang sama, dan tentu saja mondok (tinggal) di tempat yang sama pula.

Tanpa sengaja saya kontak (mised call) nomor hand phone dia. Tujuannya tentu saja untuk mencari kebenaran apakah nomor yang saya simpan ini masih aktif dan dipergunakan olehnya atau tidak. Alasan yang sederhana karena setelah sim card diarsa murah, banyak orang yang bergonta-ganti nomor hand phone bahkan dengan sangat mudahnya mengganti begitu saja.

Ternyata nomor XL (salah satu operator selluler, Red) miliknya masih aktif. Tak lama dia pun balik ngontak. Namun kali ini bukan dengan mised call, tetapi dengan SMS (pesan singkat). Isinay cukup sederhana, menanyakan kabar saya.

Dengan cepat saya pun membalas pesaan itu, dan komunikasi lewat pesan sigkat pun terus berlangsung lama. Seingat saya sampai cukup malam lah, karena kebetulan ketika awal kontak coba-coba pun dilakukan cukup malam karena sebelumnya saya kontak-kontakan terlebih dahulu dengan kawan yang lain.

Sampailah obrolan lewat SMS kami pada topik yang cukup "sensitif". Topik yang sedari awal memang hendak saya tanyakan padanya. Berbekal informasi dari kawan lain, saya beranikan juga bertanya. "Kapan nih undangannya? Kok belum ada?"

Seolah mengerti apa yang saya pertanyakan dia pun menjawab, "Kata siapa? Ya lah ini sekalian mengundang Teh Ida juga ya.... Insya Allah 18 Juli nanti, Teh. Sumping nya!!!"

"Dengan siapa nih? Jadi dengan itu tea?" tanyaku lagi.

"Itu siapa? Ya pokoknya Teh Ida juga pasti tahu kok siapa orangnya."

"Di mana acaranya? Karawang atau Purwakarta?"

"Ya Karawang lah, Teh. Teh Ida masih inget kan rumah U?" balik nanya.

"Ingat sih, tapi kalau Purwakarta gak tahu, dari rumah Emak ke mana ya? Ida cuam tahu sampai rumah Emak."

"Sumping nya, Teh....!"

Obrolan kami pun terputus sampai di situ. Saya sudah terlanjur ngantuk dan ingin segera istirahat setelah seharian kerja.

Saya sengaja menyebut Purwakarta, rumah Emak dan sebagainya karena memang pria yang akan menikahi sahabatku itu warga Purwakarta dan rumahnya tak jauh dari rumah Emak Haji.
*

Bagi saya, undangan dari sahabatku itu bukanlah yang pertama pada Juli ini. Sebelumnya, teman lain juga memberikan undangan yang sama. Sebelumnya juga demikian, rekan saya yang lain melakukan hal serupa, namun sayang untuk kali itu saya tidak bisa hadir karena kesibukan.

Untuk sahabatku di Karawang, Insya Allah saya akan hadir. Saya akan usahakan untuk bisa hadir ke sana, karena dia merupakan salah satu sahabat terbaikku. Tunggu saja Sabtu besok. Mudah-mudahan Allah memberi kesehatan dan umur panjang sehingga kita bisa dipertemukan (lagi).

Amiiinnnn......Ya Rabbal'alamiiinnn....

Telat

JARUM jam sudah menunjukkan pukul 10:34 PM, namun baru beberapa halaman saja yang sudah berhasil diperiksa. Sepertinya malam ini memang agak telat selesai, memakan waktu lebih lama dari biasanya.

Entah apa penyebabnya, yang jelas lembaran pertama yang berhasil diperiksa tadi, tepat pukul 07:30 PM. Padahal kami biasa memeriksa sebanyak 12 halaman.

Konsentrasi kami yang lagi sibuk-sibuknya berpindah ke kantor baru, ditaksir sebagai salah satu penyebab. Pasalnya, sedari siang sampai sore tadi sejumlah orang di kantor ini terlihat sibuk mengepak barang pribadi masing-masing. Ada yang cuma satu dus besar, tapi tak sedikit yang memakan lebioh dari lima dus. Waah.....

Yupz, mulai Senin (220/7) besok kami memang resmi bekerja di kantor baru. Kantor yang terletak di Jalan Sekelimus 2-4, Soekarno-Hatta. Meski belum pernah melihat langsung kantor baru, tetapi dari keterangan sejumlah orang, sepertinya kantor baru itu jauh lebih nyaman. Mudah-mudahan saja.

Bukan nyaman dalam arti berlebihan, tetapi tentu saja nyaman dalam bekerja. Dengan begitu, saya pun bisa lebih semangat. Semoga....

Untuk kantor baru itu, tentu saya yang merupakan anak kosan sudah berpikir panjang ke deapn. Untuk memudahkan mobilitas dalam bekerja, saya sudah berpikir sedari jauh jika kelak saya akan memilih tempat kos yang lebih dekat ke kantor.

So pasti, saya akan pindah dari tempat kos lama, menuju tempat kos baru yang tak jauh dari Jalan Sekelimus. Selama ini saya kos di daerah Jalan Jakarta, tepatnya di belakang Lucky Square, yang tentu cukup jauh dari kantor baru.

Selasa, 07 Juli 2009

Mie "Tek Tek"

BEBERAPA saat lalu, sebelum tugas menumpuk, saya sempatkan diri untuk membeli makanan terlebih dahulu. Tujuannya tentu saja, kalau bukan untuk mengisi perut yang kebetulan sedari siang tadi memang masih kosong.

Jalan Baranangsiang pun menjadi tempat tujuan untuk mencari isi perut itu. Saya ajak seorang kawan untuk ikut bersama ke sana. Ya, tepatnya untuk membeli makan juga. Kebetulan dia juga mengaku lapar dan butuh makanan untuk mengisi perutnya yang sedari tadi sudah keroncongan.

Melewati jalanan pasar Kosambi sampai akhirnya tiba di sebuah tenda makan di Jalan Baranangsiang, tak jauh dari gedung kesenian "Rumentangsiang". Gedung kesenian yang dahulu cukup termasyhur namanya, namun kini seiring berjalannya waktu, nama "Rumentangsiang" seakan-akan tenggelam. Tak dikenal, apalagi oleh anak muda yang bukan asli Bandung (seperti saya ini).

Sebuah tenda nasi goreng pun dipilih. Kebetulan tempat tersebut sudah pernah kami (saya dan kawan) singgahi beberapa pekan ke belakang. Ketika itu, kami yang tengah bertugas piket malam merasakan lapar luar biasa. Diputuskanlah untuk mencari makan terlebih dahulu, dan ketemulah tenda nasi goreng itu.

Memesan satu dua porsi nasi goreng untuk kami berdua. Dibungkus, karena kami ingin memakannya di kantor. Bukan untuk apa-apa, bukan untuk pamer ke rekan yang lain, tetapi kami merasa lebih nyaman seperti itu. Tentu saja, tugas yang masih menumpuk menjadi pertimbangannya.

Setelah dirasa nasi goreng buatan Bapak Anu (entahlah saya belum tahu namanya) cukup enak, kami pun seperti ketagihan. Malam ini pun kami putuskan untuk membeli makan kembali ke tenda nasi goreng tersebut.

Namun kali ini bukan nasi goreng yang saya pesan. Saya lebih memilih mie "Tek Tek" berkuah. Saya pikir rasanya yang bercampur pedas akan menjadi "seni" tersendiri di lidah saya. Apalagi selama ini saya memang "mengidolakan" mie "Tek Tek", terutama mie "Tek Tek" yang selalu lewat tempat kos saya setiap malam.

Wanginya yang khas, karena dimasak dengan arang (bukan kompor gas) menjadi day atarik tersendiri. Apalagi mie "Tek Tek" tersebut selalu ditaburi irisan cabai rawit yang super nikmat. Waw.... luar biasa rasanya.

Membayangkan mie "Tek Tek" yang kerap saya beli di tempat kos membuat saya memutuskan untuk membeli mie tersebut pada Bapak yang ada di tenda nasi goreng. Kebetulan juga, ada menu mie "Tek Tek" yang ditawarkan.

Namun apa yang terjadi? Ternyata mie "Tek Tek" yang diperoleh dari si Bapak di tenda nasi goreng itu jauh dari yang saya bayangkan. Mie "Tek Tek" yang saya dapatkan malam ini tidak jauh beda dengan mie goreng kebanyakan. Pokoknya rasanya juga jauh berbeda, apalagi aroma khasnya, tidak ada sama sekali.

Tapi apa boleh buat, mie "Tek Tek" itu sudah saya beli. Mubazir jika tidak dimakan. Apalagi dengan kondisi perut yang memang dari tadi minta untuk diisi. Mie "Tek Tek" yang kurang enak pun habis dilahap. Tinggal mangkuknya saja yang tersisa. (dasar emang doyan aja kali......!!!!)

Bandung 070709

Nyontreng

Besok merupakan hari paling bersejarah bagi bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Tentu saja karena besoklah yang menentukan nasib bangsa ini ke depan. Menjadi lebih baik atau sebaliknya.

Ya, besok secara serentak seluruh rakyat Indonesia yang sudah memiliki hak pilih akan menggunakan haknya. Mereka akan memilih satu dari tiga kandidat pasangan calon presiden-wakil presiden. Tentu, pasangan yang akan memimpin bangsa ini untuk lima tahun ke depan.

Omong-omong soal nyontreng (cara baru dalam milih), kira-kira siapa ya yang akan banyak mendapat contrengan rakyat kali ini. Pasangan nomor satukah, dua, atau tiga? Ya Wallahu 'Alam, karena semuanya rahasia. Hanya sang pemilih yang bisa menentukan. Ya, hanya rakyat Indonesia lah yang menentukan, karena merekalah yang memilih langsung pemimpinnya.

Saya dan mungkin seluruh rakyat Indonesia hanya berharap, mudah-mudahan pemimpin yang terpilih nanti bisa membawa negeri ini menjadi lebih baik. Lebih baik dalam segala hal. Semoga


Selamat memilih rakyat Indonesia,
Pergunakanlah hak Anda sebaik mungkin...!!!!
Masa depan bangsa ada di tangan kita semua.......

Bandung, 070709

Selasa, 09 Juni 2009

Lumayan......

SEPIRING baso tahu atau siomay kurasa cukup lumayan untuk bisa mengganjal perut. Bukan saja mengganjal peruta yang memang tengah meronta minta diisi, tapi juga lumayan ikut menghangatkan tubuhku yang sedari tadi "dingin" akibat sendirian saja.

Baso tahu yang kubeli dari si Emang di depan gerbang kantor memang sedikit-banyak telah membantuku. Membantu dari rasa lapar dan "dingin" tentunya. Bahkan mungkin aku sangat menikmati baso tahu itu ketika tadi melahapnya. Sampai seseorang berkata, "nikmatin banget kayaknya????"

Ya gimana tidak nikmat. Semua itu adalah nikmat. Bentuk atas nikmat yang diberikan Tuhan untukku malam ini. Di saat aku tengah lapar mencari makan, tiba-tiba ketika aku berjalan sedikit ke luar ruangan dan menengok pintu gerbang kantor, gerobak baso tahu telah menanti. Walau sebetulnya yang aku cari adalah bubur ayam, tapi baso tahu juga gak jadi masalah. Toh bisa membantuku.

Perutku pun kini jadi terisi, tak ada lagi lapar yang terasa. Lumayan memang, sepiring baso tahu di kala perut tengah lapar dan badan terasa dingin akibat udara malam sehabis terkena rincikan hujan. Sungguh lumayan memang.....

Sendiri

MALAM ini aku memang bertugas sendiri di kantor. Tak ada rekan lain yang biasa "setia" menemani. Mereka semua bsen, dengan alasan yang berbeda. Sakit dan entahlah sebutan apa yang harus aku namakan untuk teman piketku satu lagi. Yang jelas malam ini dia sama sekali "tidak membantu".

Udahlah, aku gak mau membahas semua itu. Yang jelas saat ini aku sendiri brtugas di kantor. Hanya ada redaktur dan lain-lain yang "setia" menemani kesendirianku malam ini. Agak berat memang. Bukan hanya berat karena gak ada yang bias diajak ngobrol atau "dikejain", tapi berat karena aku harus menjalankan tugas ini sendirian.

Aku gak tahu sampai jam berapa tugasku akan kelar. Yang jelas berdasarkan pengalaman biasanya, yang mana aku kerjakan tugas ini beramai-ramai, tugas baru kelar pukul 23.00-00.00 tengah malam. Entah malam ini, di mana aku kerjakan semua tugas sendiri. Mungkin lebih lama, tapi bisa saja lebih cepat (jika redaktur berhasil menyelesaikan tugasnya lebih cepat).

Selasa, 02 Juni 2009

Benci Hujan

JIKA ada pertanyaan apa yang kamu benci saat ini, aku pasti jawab hujan. Mengapa? Karena beberapa hari terakhir ini Bandung emang selalu dilanda hujan. Dan itu, terus terang saja mengganggu aktivitasku. Pokoknya benci banget deh sama hujan.

Aku juga gak tahu kenapa ya sekarang Bandung jadi sering dilanda hujan? Padahal udah bukan lagi musim hujan dan beberapa pekan sebelumnya juga langit Bandung selalu cerah disinari matahari. Wah panas deh pokoknya. Nah sekarang ini, berubah. Hujan terus.

Sudah bisa diprediksi, jika sekitar pukul 11.00 atau 12.00 udara gak enak banget. Gerah banget dicampur lembab, pasti deh sore harinya bakal turun hujan. Dan betul banget. Pokoknya pukul 13.00 ke sana pasti hujan turun deh. Dan itu biasanya cukup deras sehingga membuat jalanan banjir cileuncang.

Kalau sudah banjir cileuncang, wah so pasti lalu lintas di Bandung tersendat. Jalanan menjadi penuh kendaraan yang bergerak merayap. Maklum biasanya hujan turun tepat dengan jam kepulangan kerja. Dan itu, bikin semua orang jadi stres.

Malam ini juga hujan turun lagi. Dari suaranya yang kudengar dari dalam kantor sih sepertinya deras sekali. Mudah-mudahan saja tidak lama dan ketika aku pulang kerja nanti tengah malam, hujan sudah reda. Bukan apa-apa, aku benci aja sama hujan. Pasti semua jadi basah deh walo dah pake jas hujan juga..........


Mulai dari yang Sederhana

KEMAREN sore kebetulan aku liputan di Unpad, dan ada workshop di sana. Kebetulan juga Raditya Dika sebagai narasumber dalam acara tersebut. Ya sekalian be;ajar dari dia bagaimana ceritanya bisa nulis buku. Ternyata dia bilang, dia bisa nulis bukan karena jago, tapi karena kebiasaan nulis sejak kecil.

Ya emang benar. Pepatah mengatakan, "Bisa ala biasa". Begituah kira-kira. Dan dia pun emang sudah terbiasa nulis sejak kelas 4 SD. Bagaimana ceritanya? "Dulu gue sering nulis surat. Bahkan surat cinta untuk seorang cewek," katanya. Selain itu dia juga kerap nulis diary dan bertukar diary dengan temannya, yang kebetulan cewek juga.

Kebiasaan itulah yang kemudian terbawa sampe sekarang. Menulis dalam buku catatan sederhana, kemudian berkembang ke dalam blog dan akhirnya menjadi buku. Padahal kata Raditya, apa yang dia tulis cukup sederhana, bahkan bahan yang jadi buku juga sederhana, karena semuanya diambil dari blognya.

Raditya biasa menuliskan apa yang tengah dailaminya sehari-hari. Dan itu diramunya menjadi cerita yang cikup unik sehingga penerbitpun tertarik dan bersedia menerbitkannya. "Jangan takut untuk menuliskan apa yang kita alami sehari-hari. Karena gue juga dulu sempet nulis surat cinta untuk cewek dalam Bahasa Inggris. Apa yang terjadi? Surat gue bukannya dibalas tapi malah dibalikkin dengan tatanan Bahasa Inggris yang benar," kisahnya.

"Maklum, Bahasa Inggris gue jelek banget waktu SD tapi gue beraniin aja untuk nulis dalam Bahasa Inggris. Nah jika kalian pengen nulis yang benar jangan lupa kuasai dulu duduk permasalahannya. Jangan kayak gue yang sok tahu nulis dalam Bahasa Inggris," urainya sambil tertawa.

Menulis dari yang sederhana. Memang itulah yang harus dilakukan untuk mulai memberanikan diri. Jangan takut salah karena namanya juga belajar. Heheehe,,,,,, (*)

Selasa, 21 April 2009

Absen Nulis

BERBEDA dengan awal-awal "peluncuran" blog ini, saya tereksan lebih semangat. Satu hal penanda itu adalah munculnya beberapa tulisan dalam waktu yang bersamaan. Nah sekarang, sudah cukup lama saya absen menulis.

Penyebabnya tentu saja, malas. Bukan tanpa alasan, beberapa hari terakhir ini saya memang malas menulis. Capeklah, inilah, itulah dan sebagainya. Yang jelas, tak ada tulisan satupun yang berhasil "diproduksi" dan diposting di blog ini.

Beruntung, malam ini saya tiba-tiba pengen nulis. Kebetulan, jadwal piket malam sehingga bisa dengan leluasa "menguasai" komputer. Maklum selama ini, selesai kerja langsung pulang sehingga tak sempat menulis. Bukan tak sempat sih, tapi kembali lagi ke alasan awal, yakni malas.

Malas memang telah menjadi penyakit yang merusak seluruh kreativitas saya selama ini. Dengan alasan itu, saya tak bisa maksimal dalam berkarya. Makanya tak heran jika cowok saya selalu mengingatkan, "Tetap semangat ya, jangan malas," begitu kira-kira pesan yang selalu diberikannya pada saya. Entah lisan maupun tulisan melalui pesan singkat.

"Jangan malas, Da. Kamu harus tetap semangan dan tak boleh lagi absen nulis. Sesederhana apapun ceritamu, tulislah."

Kamis, 02 April 2009

Dendeng Sapi Tapi Mengandung Babi

SELURUH konsumen diimbau untuk berhati-hati dalam memilih makanan. Jika salah, akibat fatal pun akan dirasakannya. Seperti yang tengah gencar saat ini, yakni banyak beredar dendeng sapi berbahan daging babi. Dendeng seperti itu tidak hanya diperjual-belikan di pasar tradisional, namun di pasar-pasar modern juga. Selektivitas konsumen menjadi harga mati.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan beredarnya dendeng babi jika dalam kemasan dijelaskan secara terbuka. Yang jadi masalah adalah sang produsen tidak menyertakan bahan baku dalam label dendeng sehingga konsumen sukar untuk membedakan mana dendeng sapi asli, dan mana dendeng babi.

Bagi sebagain konsumen di tanah air, memakan daging babi bukan masalah. Halal hukumnya, kecuali bagi muslim. Namun itu tadi, yang jadi masalah adalah ketidaktransparan dari produsen.

Bukan hanya bahan baku sebetulnya yang jadi masalah dalam makanan bernama dendeng ini. Ketiadaan pencantuman batas tanggal kedaluarsa juga menjadi hal penting. Logikanya, bagaimana mungkin konsumen harus memakan makanan basi. Penyakit tentu yang akan diperolehnya.

Soal makanan kedaluarsa, saya jadi teringat rekan satu kos. Dia keracunan selama berhari-hari setelah meminum minuman dalam kemasan yang sudah kedaluarsa dua bulan lalu. Bagaimana bisa????? Bisa saja, karena kedau belah pihak, konsuemn dan penjual tidak berhati-hati.

Pertama, penjual dengan bebasnya menjajakan minuman tersebut meski dalam kemasannya tertulis exp: 0109 (batas minumnya pada Januari 2009). Lebih parah lagi, minuman tersebut disimpan dalam lemari pendingin pada baris paling depan. Apakah ini bukan bentuk ketidakhati-hatian? Mestinya penjual memeriksa minuman tersebut dan "menyingkirkan" dari peredaran.

Jangan lagi mikir untung-rugi secara ekonomi. Justru jika dijual, kerugianlah yang akan didapat, bukannya keuntungan yang diharapkan. Dikatakan rugi karena telah membuat orang lain sakit. Dalam agama tentu dosalah bagi si penjual.

Kedua, si pembeli juga tidak hati-hati karena dia tidak teliti sebelum membeli. Bukankah ketika membuka lemari pendingin, dia masih bisa melihat labelnya. Apakah masih dalam kondisi baik, masih layak konsumsi atau tidak, karena biasanya minuman kemasan meski tanggal kedaluarsanya masih jauh tapi kalau kemasan rusak, minuman juga kemungkinan besar ikut rusak. Artinya, tidak bisa dikonsumsi lagi.

Selain melihat kondisi kemasan, yang penting adalah melihat batas kedaluarsanya. Dan itu yang tidak dilakukan rekan satu kosku. Begitu juga saat hendak diminum, dia tidak melihat kembali label kedaluarsa. Padahal, tanggal tersebut jelas dipasang di dekat bolongan untuk sedotan. Baru setelah merasa mual dan muntah dia bertanya-tanya, apa penyebabnya.

Setelah diperiksa kembali, ternayat minuman itulah yang menjadi peyebabnya.

Mual dan muntah yang disertai pusing adalah tanda-tanda seseorang keracunan. Parahnya lagi, rekanku itu sampai berhari-hari mengalami hal itu, walau sudah diperiksakan ke dokter.

Itu adalah sebuah pelajaran bagi kita semua. Mulai detik ini mari kita, semua konsumen untuk lebih berhati-hati terhadap apapun yang akan kita konsumsi. Bukan saja makanan, minuman, tapi barang lain juga. Jangan sampai merugikan kita semua.....

Flu Sangat Mengganggu

LIMA hari terakhir ini kesehatanku rada rerganggu. Kepala sakit, hidung ingusan terus dan badan jadi hangat. Aku terkena flu, dan itu sangat mengganggu aktivitasku. Apalagi aku kerja di lapangan, pakai motor pula sehingga dengan mudahnya terkena angin jalanan. Tambah parah deh penyakitnya.

Tapi syukur alhamdulillah, hari ini sedikit lebih baik. Setelah semalam istirahat cukup ditambah minum obat, ingus mulai sedikt berkurang. Mudah-mudahan aja bisa cepet sembuh supaya bisa bekerja dengan baik lagi. Aminn....

Senin, 23 Maret 2009

Hujan, Panas, Hujan Lagi........

SEJAK akhir September lalu, hujan menyambangi bumi Parahyangan. Mulai dari gerimis sampai benar-benar hujan, seiring masuknya musim hujan. Repot memang, apalagi bagi mereka yang kerja di lapangan. Hujan sedikit, bisa mengganggu pekerjaan.

Hujan masih terus mengguyur sampai akhir Februari lalu. Masuk Maret intensitasnya mulai berkurang, mungkin mulai masuk musim pancaroba (perubahan musim dari penghujan ke kemarau). Lama-lama hujan menghilang dan berubah jadi panas. Cuaca Bandung pun yang cendeung sejuk berubah drastsi menjadi sangat panas.

"Gerah banget," begitu komentar sejumlah orang ketika udara berubah panas.

Aku juga sama, merasakan hal serupa. Bahkan jika biasanya sepulang kerja aku jarang mandi, eh setelah udara menjadi super panas, berubah jadi WAJIB mandi.

Selang beberapa hari setelah panas yang cukup menyengat, tiba-tiba Bandung dilanda hujan kembali. Kali ini bukan saja hujan, tapi angin juga cukup kencang sampai ada sejumlah pohon yang tumbang akibat angin kencang.
Yang paling mengagetkan, Minggu (22/3) kemarin hujan yang turun cukup besar menyebabkan banjir di sejumlah titik di Kota Bandung. Jalan raya A Yani misalnya, terendam sekitar 30 cm sampai-sampai banyak sepeda motor yang mogok.

Ada apa ini? Kok cuaca Bandung sekarang semakin berubah????

Jumat, 20 Maret 2009

Mohon Maaf, Hanya Fiktif

BAGI siapapun yang buka ato baca blogku ini, aku sampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya.

Semua cerita yang aku tulis hanya fiktif. Tidak ada kesengajaan dalam penulisan alur ataupun tokoh dalam cerita tersebut. Jika ada kesamaan, itu hanya sebuah kebetulan semata. Makasih ya...

Salam,
penulis
(ida romlah)

Awan, Hujan dan Angin...........

SORE itu, langit di sepanjang jalanan yang kulalui digelayuti awan hitam tebal. Bahkan, beberapa di antaranya, sudah menampakkan warna yang semakin pekat. Dan, tanda-tanda akan turun hujan pun semakin jelas sudah. Angin kencang dan gemuruh halilintar yang disertai petir, semakin meyakinkan kalau sore itu, hujan akan membasahi Kota Subang dsk. Bahkan mungkin, curahnya akan jauh lebih tinggi ketimbang hujan di sore-sore biasanya.

Tanpa berpikir panjang, kulaju kendaraan Roda Dua-ku dengan kecepatan lebih dari biasanya. Tujuannya, tentu saja, agar aku tidak kena hujan tiba-tiba. Dan, pakaianku yang tanpa jacket itu, tidak basah kuyup.

Ada yang aneh juga memang dengan kostumku sore itu. Bukan aneh karena apa, cuma kala itu, aku bepergian tanpa mengenakan jacket. Padahal, biasanya aku selalu menyertakan "baju pelindung" itu di setiap perjalananku. Ya sudahlah, itu tidak perlu dibahas lebih jauh di sini, karena……………..(gk penting juga!)

Semakin lama, gerimis kecil yang sedari tadi menyertai perjalananku sore itu terus berubah semakin besar. Tanpa berpikir panjang, kuperlahan laju kendaraan, lalu kuhentikan, tepat di pinggir jalanan yang rindang dengan pepohonan. Kubuka jok tempat dudukku, dan kuambil jas hujan di bawah jok tersebut. "Untung aku bawa jas hujan ini tadi," gumamku dalam hati.

Benar saja, tidak lama dari itu, tiba-tiba saja hujan semakin deras. Bahkan amat sangat deras, dan jarak pandang pun hanya beberapa meter. Aku yang tidak bisa melihat dengan baik tanpa bantuan kaca mata, harus dibuat semakin sulit melihat karena kaca mataku berembun kena air hujan. Hugh…!!!

Perjalannku sore itu pun semakin sulit dengan ditambahnya angin kencang yang menggoyang-goyangkan ranting-ranting pepohonan. Semakin lama semakin kencang, dan muncul rasa ketakutan di lubuk hatiku. Takut tidak bisa mengendarai motor dengan baik.

Ya, tidak bisa melajukan kendaraan dengan baik. Itu ketakutanku kala itu, tentunya dengan berbagai alasan, pertama, aku takut nabrak orang sesama pengendara atau pepohonan di pinggiran jalan, atau mungkin jika ada pohon yang tumbang ke tengah jalan, karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Kedua, kendaraanku selalu goyang karena tiupan angin yang amat kencang itu, sehingga laju motorku tidak pernah lurus (stabil). Ketiga, takut kena pohon tumbang. Itu bisa berakibat fatal.

Setelah melaju sekitar 50 menit, akhirnya aku bisa sampai di rumah. Tentunya sampai dengan selamat. Alhamdulillah… ya Allah, Engkau teramat baik dan sayang kepadaku, melindungi aku dalam perjalanan sore itu dalam situasi yang teramat "menakutkan"-ku.

***


Subang, 2 Maret 2008

dr Marissa

LAILA mengelus lembut kepala Marissa yang ditutupi jilbab krem dari sutra. Ia dapat merasakan kegalauan yang dialami sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya.

"Kamu harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di dunia ini, Sa!" ujarnya penuh ketulusan.

Mata Marissa memandang lurus ke depan, hampa dan sarat pilu.

"Tapi, mengapa semuanya terjadi begitu cepat? Satu persatu milik saya yang paling berharga pergi. Mas Kreshna pergi secara tiba-tiba dan mengenaskan, meninggalkan saya yang saat itu tengah mengandung… Padahal, ia suami yang baik. Saya masih ingat janjinya, akan mengajak saya berziarah ke tanah suci, sambil menunggu kelahiran putri kami yang bungsu. Kini belahan hati kami pun pergi menyusulnya dengan begitu cepat. Kamal tertabrak secara mengenaskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab," Marissa menangis tersedu.

Lihatlah dari sisi positifnya, Sa. Aku yakin, semua kejadian ini pasti mengandung hikmah," Laila berusaha menasehati.

Marissa terdiam sementara pikirannya mengembara ke masa lalu.

"Kamu tidak sendiri, Sa. Masih ada Keyla, putri bungsumu yang sedang lucu-lucunya. Dia butuh perhatian kamu. Terus kamu juga masih punya Ibu, Bapak dan adek-adek kamu di Kampung. Mereka sangat sayang sama kamu. Dan aku, aku akan selalu ada buat kamu, Sa. Masihkah itu semua belum cukup untuk membuatmu dapat mensyukuri nikmat Tuhan?" Laila menambah pikiran Marissa semakin kencang berpacu.

Apakah saya harus menerima tawaran Ibu, Bapak dan adek-adekku pindah ke kampung agar semua kejadian ini dapat terlupakan?" akhirnya Marissa berkata.

Laila menghela napas. "Keputusan ada di tangan kamu, Sa. Namun kamu jangan gegabah dalam mengambil keputusan itu. Keluarga kamu di Kampung memang sangat teramat saya ng sama kamu, namun alangkah lebih baiknya kamu istikharah dulu. Minta petunjuk yang baik pada-Nya."

Jawaban Laila masuk akal, karena walau bagaimanapun, Marissa masih terikat pekerjaan di kota tersebut. Jika dia jadi pindah ke kampung kelahirannya di Purwakarta, dia harus direpotkan dengan mengurus kepindahan kerjanya, yang nota bene seorang pegawai negeri.

Hanya ada anggukan kepala Marissa sebagai jawaban atas tuturan yang diucapkan Laila.

**

"Sa, kamu sudah masuk kerja? Alhamdulillah, akhirnya…." dengan nada penuh kebahagiaan, Laila mendekati Marissa yang baru saja tiba di puskesmas.

"Aku sudah pikirkan matang. Dan, inilah jawaban atas semua doaku pada-Nya," Marissa menuturkan alasannya kembali masuk kerja. Dia pun segera memasukki ruang kerjanya.

Tidak hanya Laila, kawan-kawan di puskesmas tempatnya bekerja pun merasa senang dengan kehadiran Marissa. Bagaimana tidak, Marissa dikenal sebagai dokter teladan yang sangat baik hati terhadap sesama. Dan, peristiwa memilukan itu sangat dikhawatirkan rekan-rekannya akan membuat dokter cantik itu berlarut-larut dalam kesedihan. Tapi itulah Marissa, ia perempuan tangguh, semangat hidupnya masih tinggi, sehingga ia tetap beraktivitas seperti biasanya meski musibah yang memilukan menimpanya.

"Sa, aku bangga sama kamu. Dan inilah diri kamu yang sebenarnya," ungkap Laila pada saat makan siang.

***

Subang, 9 Maret 2008

Jurnalis Sejati???

YA ampun, kenapa ya akhir-akhir ini aku sering sekali merasa kecapaian. Badan semuanya terasa pegal-pegal. Yang lebih parah lagi, aku sering merasa malas dan pengennya istirahat yang cukup. Padahal kegiatanku tidak begitu banyak, ya hanya mutar-mutar di kota Subang untuk mendapatkan sebanyak mungkin bahan berita. Liputan lebih tepatnya.

"Lho kok, kamu nyerah gitu sih. Bukannya itu adalah profesi yang kamu damba-dambakan sejak lama? Kenapa sekarang jadi banyak mengeluh?" Anita terus-terusan mengingatkanku saat kucurhat segala keluhan yang kualami setelah menjadi "kuli tinta" di sebuah koran harian.

Tujuannya sih bagus, dia pengen ngasih aku semangat. Tapi…. Ya, semoga saja aku tetap bersemangat, hingga cita-citaku menjadi Jurnalis sejati tercapai.

"Gimana mau jadi Jurnalis sejati, kalau baru beberapa minggu saja sudah ngeluh kaya gini," kini giliran Mita yang komentar.

"Kamu gak tahu sih Mit, gimana capainya jadi wartawan. Harus liputan ke sana-ke mari. Hugh,,, kadang suka putus asa kalau misalkan narasumbernya susah diajak ngomong. Kan repot, mesti mikir lagi, gimana caranya biar mereka bisa komen," aku tetap tidak mau kalah.

"Namanya juga hidup. Pasti penuh denagn perjuangan. Kalau kamu gak mau, ya udah gak usah dipaksain. Cuma, kamu mau ngapain kalau tidak menjalani tugasmu dengan baik itu?" Mita balik nanya.

"Iya sih, aku juga mikir, tapi…"

"Tapi apa?" Anita memotong omonganku.

Sumpah, aku kesel saat curhat semua itu. Mereka yang kuanggap sebagai teman baikku, bisa-bisanya ngomong kaya gitu. Mungkin sebaiknya dari awal aku memang tidak curhat kepada mereka. Tapi baguslah, itu berarti mereka selalu mendukungku.

"Ya Tuhan, semoga saja aku selalu diberi kekuatan untuk menjalankan segala proses hidup yang Kau gariskan untukku," harapku dalam setiap doa.

***

Subang, 3 April 2008

Hadiah

TIBA-tiba telepon genggamku berdering. Sontak aku langsung mencari sumber suara tersebut. Kubuka tas, tapi tak kutemukan pesawat seluler tersebut.

"Di mana ya, tadi kusimpan?" tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba saja aku ingat. Pasti di saku tas yang paling dalam. Biasanya kan aku selalu nyimpan HP di sana. Benar juga, suara dering telepon tadi memang berasal dari saku tas tersebut.

Kulihat layar, tertulis Iki Zaki, Adik sepupuku yang baru berusia empat tahun. Ada apa, dia nelepon aku sore-sore begini.

"Halo…!" kuawali pembicaraan.

"Teh Ida?" terdengar suara beningnya nun jauh di sana.

"Ada apa?" aku langsung menanyakan tujuan dia menelepon.

"Juara. Iki juara mewarnai, dan dapat hadiah," terangnya.

Ya, dia memang kini tengah belajar di Paud (Pendidikan Anak Usia Dini) atau biasa disebut juga play group. Baru-baru ini di tempatnya belajar diadakan lomba mewarnai. Dan dia, membawa kabar baik, kalau dirinya jadi juara dalam lomba tersebut.

Dari suaranya terdengar kalau dia tengah bahagia. Ya, bahagia layaknya anak-anak yang tenagh kejatuhan bintang. Aku pun demikian, ketika kecil aku selalu merasa bahagia luar biasa jika jadi juara di sekolah.

Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada masa aku duduk di bangku SD. Bukannya sombong, aku memang kerap menjadi juara pertama di kelas. Dan aku akan merasa senang luar biasa, jika guru mengumumkan siapa yang rangking pertama di kelas catur wulan (cawu) ini. Informasi saja, jamanku sekolah menggunakan sistim cawu bukan smester seperti sekarang ini. Proses belajar dievaluasi percawu atau perempat bulan sekali. Jadi, dalam setahun ada tiga cawu.

Cawu pertama dan kedua di kelas 1, aku rangking pertama. Bagaimana dengan cawu ketiga yang pengumuman hasil belajarnya selalu bertepatan dengan kenaikan kelas? Berita bagus, ketika diumumkan di depan para orang tua murid, aku menjadi juara pertama di kelas satu. Otomatis, hatiku senang. Yang lebih mendebarkan adalah aku dipanggil ke atas pentas untuk menerima penghargaan.

Naik ke pentas tidak sendirian, kami berenam. Semuanya merupakan juara pertama di masing-masing kelas, kelas 1 hingga kelas 6. Aku dapat hadiah, entah apa isinya, saat menerima bungkusan berwarna coklat aku belum mengetahuinya.

"Wah, selamat ya, Ida jadi juara," ucap teman-teman dan orang tua murid.

Tidak hanya untukku, mereka juga mengucapkan selamat kepada orang tuaku, yang kebetulan pada saat itu hadir. Kulihat raut kebahagiaan juga terpancar dari wajah Ibu-Bapakku.

"Apa ya kira-kira hadiahnya?" hatiku bertanya-tanya.

"Mungkin buku dan alat tulis lainnya," tebak temanku.

"Mungkin, karena biasanya hadiah tidak pernah jauh dari barang-barang keperluan sekolah seperti itu," pikirku.

Benar saja, tebakanku dan temanku 100 persen jitu. Isi bungkusan warna coklat tersebut adalah lima buah buku tulis.

Meski hadiahnya sederhana, namun aku tidak bisa membohongi betapa senangnya aku. Mungkin jika terlihat, perasaanku seperti berada di atas awang-awang. Melayang tinggi hingga mendekati langit biru.

Ya, yang namanya hadiah memang selalu membahagiakan setiap penerimanya. Meski bentuk atau harga barang yang dihadiahkan tidak seberapa. Begitu juga yang dirasakan adik sepupuku Iki saat ini. Perasaannya tengah melayang-layang. Bahagia luar biasa karena mendapat hadiah dari kejuaraan mewarnai di sekolahnya.

***

Subang, 3 April 2008