Selasa, 25 Agustus 2009

Belum Bisa Tahan Emosi

SUDAH semestinya bulan yang suci ini dijadikan momentum untuk introspeksi diri. Menilai apa yang sudah dan belum dilakukan sepanjang satu tahun ini atau bahkan mungkin sepanjang kita dilahirkan ke dunia.

Namun itu semua rasa-rasanya belum bisa saya penuhi dengan baik. Untuk hal kecil saja misalnya, belum bisa melakukannya dengan baik. Jujur saja, saya belum bisa menahan emosi saat berpuasa. Padahal jauh di dalam lubuk hati saya juga ada semacam ketakutan akan hilangnya nilai puasa yang sudah diniatkan sedari waktu imsak bahkan jauh hari sebelumnya.

"Saya ingin puasa saya tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Jika perlu, mendekati sempurna," niat saya begitu Ramadan akan tiba.

Kenyataannya, ternyata masih jauh sekali. Ada beberapa contoh gara-gara tidak bisa menahan emosi, saya harus bersitegang dengan calon suami saya. Yang paling anyar, beberapa jam lalu. Ketika itu saya lagi sibuk memeriksa halaman koran. Ternyata di saat yang sama handphone berbunyi. SMS masuk.

Saya biarkan saja SMS tersebut, tidak dibalas bahkan dibuka pun tidak. Maklum lagi tanggung memeriksa halaman koran. Selang beberapa waktu, handphone kembali berbunyi. Kali ini panggilan. Tertera di layar, panggilan berasal dari dia. Saya kembali cuekin.

Seusai memeriksa, saya manfaatkan waktu luang untuk shalat Isya. Kebetulan dari tadi belum shalat padahal azan Isya sudah terdengar sekitar dua jam sebelumnya. Setelah shalat itulah saya coba kontak calon suami. Berharap bisa ngobrol panjang-lebar.

Oo ternyata reaksinya lain. Dia kesel dan perbincangan kami pun tidak hangat. Saya pun bicara dengan nada sedikit tinggi dan dia tidak menerima. Tanpa disangka, ternyata telepon pun terputus. Lebih tepatnya sih diputus. Dia yang memutuskan, karena mungkin sangat jengkel dan dongkol bicara dengan saya.

Kejadian itu membuat saya termenung sejenak dan berpikir, "Sok banget dia? Emang yang saya pikirkan cuma dia seorang saja, banyak. Kerjaaan lah, tugaslah dan masih banyak lagi. Dia egois banget..."

Dengan pikiran kacau, saya pun langsung mengirim pesan singkat kepadanya. Isinya tentu saja minta pengertian dia, tapi dengan nada yang tinggi juga. Beruntung dia tidak sama-sama meninggi, dia malah minta maaf dan mencairkan kembali suasana.

Ternyata, saya memang belum bisa menjaga emosi di bulan suci ini. Semestinya saya bisa karena menurut Rasulullah Muhammad SAW pun, jihad yang paling bagus pun adalah menahan hawa nafsu yang mana di dalamnya terdapat menahan emosi.

Ramadan yang masih panjang, diharapkan bisa membuat saya lebih baik. Tentunya bisa menjaga emosi. Amin...

Bandung, 25 Agustus 2009

Rabu, 19 Agustus 2009

Ke Kantor (Lebih) Cepat

HARI ini aku memang lain. Betapa tidak, bayangkan saja pukul 11.45 sudah tiba di kantor. Padahal hari-hari biasanya, aku baru bisa tiba di kantor sekitar pukul 15.00. Wah, apa ada sesuatu yang terjadi?

O o.. tentu saja, hari ini memang ada yang beda. Mungkin bisa dikatakan sedikit lebih spesial lah (ha ha ha gayanya).

Tentu saja, semalam aku dapat SMS (pesan singkat) dari salah satu redakur. Isinya, aku diminta untuk tiba di kantor pukul 12.00. Katanya, akan ada diskusi tentang Sunda dan ke-Sunda-an di kantor.

Entah apa tujuannya, aku tanpa mabil pusing. Yang jelas, aku "diperintahkan" untuk tiba di kantor lebih siang. Dan tepat saja, aku memang sudah sampai kantor dari setengan jam lalu.

O o.. tapi walau diinformasikan akan ada diskusi pukul 12.00, ternyata sampai detik ini diskusi itu belum juga digelar. Memang sih sudah ada beberapa tamu yang tiba di kantor. Aku mengenali salah satunya, dialah tokoh Sunda Jawa Barat.

Mungkin diskusinya sekitar pukul 13.00, toh kita sebagai Muslim mesti sholat dulu. Untuk sholat, tentu saja butuh waktu. Ya iyalah....

Satu Senyum Saja

MENDAPAT senyum darimu saja, aku sudah dibuat senang setengah mati. Hatiku damai dan tenteram, seolah dunia ini hanya milikku sendiri. Andai saja kau mengerti, aku sudah jatuh hati padamu.

"Yas, kamu harus percaya sama aku. Aku akan senantiasa ada di dekatmu, melindungi kamu dari bajingan-bajingan keparat itu!"

Kata-kata itu seolah baru saja terucap dari bibirku. Bahkan bibir ini masih belum kering saat aku mengatakan hal itu kepadamu. Aku masih ingat betul, betapa kamu punya cita-cita mulia dan nekat hendak pergi menuju ibukota demi mewujudkan cita-cita tersebut.

Sebagai sahabatmu, sahabat sejak kecil dan ketika beranjak dewasa mulai merasa jatuh hati padamu, tentu saja aku sangat mendukung segala yang kamu inginkan. Namun, sebagai lelaki kampung yang kere, tentu saja aku tidak bisa membantumu lebih banyak. Aku hanya bisa pasrah, tak berani berbuat apa-apa.

Bahkan saat kamu dibawa paksa oleh bajingan-bajingan itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa, selain termangu sendiri menatap kepergianmu. Masih hafal betul dalam ingatanku, kamu berteriak keras meminta tolong padaku, pada sahabat dekatmu. Kamu meminta aku membatalkan langkah bajingan-bajingan itu membawamu ke negeri entah berantah.

Ah, andai saja aku punya nyali untuk menghentikan langkah mereka, tentu saat ini aku masih bisa menatap wajah cantik Yasmin lengkap dengan senyuman khasnya. Namun waktu tidak bisa diundur, dan aku hanya bisa menerima kenyataan ini dengan pahit.

"Tuhan, kembalikanlah Yasminku ke hadapanku. Tentu aku akan menjaganya dengan baik. Tidak akan pernah aku biarkan dia dikuasai bajingan-bajingan itu," pintaku dalam setiap doa.

Pernah beberapa kali aku memimpikan dia datang padaku. Mengenakan pakaian indah nan rapi. Wangi parfum tercium tajam olehku. Namun ada yang hilang dalam mimpi itu, aku tidak lagi melihat senyumnya yang manis. Padahal senyum itu sudah menjadi ciri khasnya, dan tak ada seorang pun yang bisa menyainginya.

"Bayu, aku mau nitip sesuatu padamu. Sampaikan permohonan maafku untuk kedua orangtuaku. Aku belum bisa berbuat baik pada mereka. Sampaikanlah Bayu. Aku mohon. Kamu adalah sahabat terbaikku," pesannya.

Setelah itu diapun pergi dan menghilang. Namun genggaman tangannya masih tetap terasa hangat. Seolah baru beberapa detik saja kami berpegangan tangan. Aku yang tersadar itu hanyalah mimpi, langsung duduk termenung di atas tempat tidur. Apa yang terjadi pada Yasmin, bisikku dalam hati.

Sejak mimpi itu, pikiranku langsung kacau. Aku tidak bisa konsentrasi dengan baik. Bahkan bekerja pun aku sudah tidak punya semangat, sampai-sampai Pak Prem, supervisor di tempat kerjaku menegurku beberapa kali.

"Kamu ini kalau kerja yang semangat dong. Masa lemas kayak gitu. Ada masalah toh?"

Aku yang memang tengah tidak bisa berkonsentrasi tidak mampu menjawab pertanyaan Pak Prem. Hanya gelengan kepala yang bisa aku lakukan. Aku memang benar-benar tidak tenang hati. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi pada Yasmin.
**

Mimpi burukku itu aku ceritakan kepada Hendra, sahabatku. Kami sama-sama tinggal satu kamar di tempat kos Pak Haji. Dia laki-laki baik dan sederhana. Aku mengenalnya saat pertama kali bekerja sebagai pegawai gudang di supermarket Bigmarket ini.

Dia anak laki-laki semata wayang dalam keluarganya. Tentu saja bapak dan ibunya sangat menyayanginya. Bahkan setiap kali libur mingguan, orangtuanya tidak pernah absen untuk menyuruhnya pulang. Maklum, letak kampung halaman dengan kota tempat kami bekerja tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu 1,5 jam untuk bisa sampai ke rumah.

"Tapi aku tidak butuh belas kasihan mereka. Sebaliknya, aku kasihan sama mereka. Gara-gara kakakku, keadaan kami kini jadi jauh lebih sulit," kata Hendra.

Tentu saja, biaya kuliah kedua kakaknya tidaklah sedikit. Lebih-lebih, keduanya berkuliah di kota yang menuntut biaya hidup lebih tinggi.

"Sebetulnya mereka masih bisa berhemat, tapi dasar memang sudah terbawa gaya hidup orang kota, mereka tidak sadar diri," jelasnya.

Usai selesai kuliah dan memperoleh gelar sarjana, nasib malang menemui keduanya. Melamar ke sana-ke mari, belum juga memperoleh pekerjaan. Akhirnya keduanya pun memutuskan pulang kampung.

"Tapi setelah di kampung, mereka tetap tidak bisa bekerja juga," kata Hendra lirih.

Hanya bergantung kepada kedua orangtuanya, lama kelamaan beban hidup pun mulai membengkak. Dan malangnya, Hendra si bungsu tidak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi. Dia harus pasrah hanya mampu mengenyam pendidikan sampai bangku SMA.

Nyali yang tinggi telah mendorong Hendra sampai di kota ini. Kami pun bertemu karena sama-sama bekerja di supermarket yang sama.

"Aku bersyukur punya teman seperti kamu. Kamu sangat baik dan pengertian," ucapku padanya.

Dia hanya bisa tersenyum dan membalas pujianku dengan kata-kata bijak, "Mungkin kita memang sudah ditakdirkan untuk bertemu."

Ya, ditakdirkan untuk bertemu. Andai saja itu yang terjadi antara aku dan Yasmin. Tentu aku akan sangat bahagia, bisa hidup bersama gadis pujaan.

Bersama gadis pujaan? Sejak kapan? Bukankah aku hanya sebatas sahabatnya saja, yang dikenalnya sejak masa kecil lalu?

Ya, ya, andai saja aku berani bicara pada Yasmin, tentu dia akan mengetahuinya. Dan, bisa saja, dia tidak ikut bersama bajingan-bajingan itu ke negeri entah berantah. Dia lebih memilih bersamaku, karena aku yakin, dia juga suka padaku.

Ah, andai saja...."Kamu kangen kali ya? Sampai segitunya bermimpi?" tanya Hendra kepadaku."Entahlah, karena sejak dulu aku memang sudah kangen padanya."
**

Perpisahanku dengan Yasmin memang sudah cukup lama. Kalau tidak salah, September depan genap tujuh tahun. Tapi aku masih merasa perpisahan kami seperti baru beberapa hari saja. Aku masih mengingat betul bagaimana dia berteriak meminta tolong kepadaku.

"Tolong aku, Bay...tolonglah!" diapun menangis dan tetap berteriak meminta tolong, "Mereka memaksaku, Bay...tolonglah aku!"

Sayang sekali, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku hanya termangu sambil meneteskan bulir-bulir bening dari kelopak mata.

"Aku akan menyusulmu, Yas. Pasti," janjiku ketika itu.

Menyusulnya? Menyusul ke mana? Semua orang di desaku tidak ada yang tahu ke mana Yasmin pergi. Mereka tidak paham mengapa bajingan-bajingan itu membawa paksa gadis yatim piatu itu. Dan aku, aku juga sama. Bahkan mungkin lebih tolol, tidak bisa memenuhi permintaan dia saat berteriak meminta tolong.

"Aku harus ke kota, Mak," ucapku pada ibu. Berharap di kota bisa bertemu dengan Yasmin dan membawanya pulang ke desa.

"Untuk apa?" tanya ibu.

Nadanya sedikit aneh, seperti yang takut kehilangan. Aku tidak bisa berkata apa-apa, dan kami pun terdiam. Baru kemudian ibu mencoba bicara, "Tempat kamu di sini, Nak. Bersama Emak, dan selamanya harus bersama."

Aku tidak bisa berkata lagi, namun dari raut wajah dan gerak-gerikku, ibu mengerti juga apa yang sedang aku pikirkan. Akhirnya dia pun mengizinkanku juga. Dengan berbekal beberapa puluh ribu, aku diantar ibu sampai ke pangkalan ojek.

"Kamu harus bisa membawa diri di kota. Ingat Bay, kota itu tidak seperti desa. Di sana semuanya serba sulit," ibu terus-menerus berpesan padaku. Aku hanya bisa mengangguk mendengarkannya.

"Bayu akan tetap ingat Emak walaupun kita jauh. Emak percaya sama Bayu, setiap saat Bayu akan selalu memberi kabar pada Emak," kataku meyakinkan ibu.

Benar saja, sesampainya di kota dan memperoleh pekerjaan, aku langsung menelepon rumah Bu Kades memberitahukan kabar pada ibu. Ibu pun dengan semangat ngobrol panjang-lebar padaku. Dia terlihat senang mendengar kalau aku sudah mendapat pekerjaan.

Kebiasaan tersebut berlangsung hanya dalam waktu singkat. Tahun kedua aku menetap di kota, kebiasaan berkirim kabar tidak lagi rutin dilakukan. Aku hanya melakukannya jika memang dirasa perlu. Tentu saja, di saat aku memang perlu mendapat wejangan dari ibu.

Ada pengalaman paling menyedihkan ibu dariku. Pada lebaran tahun keempat, aku tidak bisa menemuinya di desa. Aku terpaksa harus lembur karena mengejar target. Ibu pun bersedih, sampai-sampai dia yang menelepon langsung kepadaku.

"Kamu kenapa, Bay? Apakah sudah tidak mau bertemu dengan Emakmu ini?"

"Bukan begitu, Mak. Bayu di sini harus kerja. Belum libur, mungkin nanti setelah libur, Bayu akan pulang juga menemui Emak. Emak yang sabar dan baik-baik saja ya di rumah. Bayu juga di sini baik-baik saja," kataku menenangkan dia.

Namanya ibu yang sudah mengandung, melahirkan dan merawat sampai dewasa, tentu hatinya tetap bersedih meski sudah mendapat penjelasan. Terdengar dari belakang telepon, dia sesegukan menangis.

Aku memang jahat, hanya demi rupiah dan bercita-cita mengejar Yasmin, aku rela tidak pulang ke desa. Membiarkan ibu tersiksa dan bersedih.

"Maafkan Bayu, Mak. Bayu banyak salah sama Emak, termasuk ini juga telah membuat luka di hati Emak," pintaku ketika itu.

Ibu kembali sesegukan dan kali ini lebih kencang dari yang tadi. Aku sedih mendengarnya meski sesekali dia menyembunyikan tangisannya. Aku anak semata wayangnya ternyata masih belum juga bisa membahagiakan dia. Sebaliknya, tindakanku malah membuatnya sedih.

"Emak maafkan Bayu ya. Sekali lagi Bayu mohon maaf. Bayu memang sudah keterlaluan sama Emak, tidak seharusnya berlaku seperti ini." Sambungan telepon pun terputus, dan aku tidak bisa menelepon lagi.

Sepanjang hidup kami, aku memang belum pernah melihat ibu bersedih. Dia selalu bahagia dan tersenyum walaupun keadaan kami tidak mendukung. Hidup pas-pasan dengan hanya mengandalkan hasil keringat ibu yang memang sudah tidak muda lagi.

Juah dari lubuk hatiku, aku ingin melihat ibu bahagia, lebih bahagia saat kami bersama di desa. Karena itu, aku memutuskan ke kota mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidup kami. Namun siapa sangka, keputusanku ternyata tidak juga bisa merubah keadaan. Ibu tidak bahagia, malah dia bersedih tinggal jauh dariku.

Oh ibu, andai saja aku bisa menjelaskan dengan jujur, tentu bisa sedikit mengubah keadaan. Tapi sekali lagi, aku mohon maaf, tidak bisa menceritakannya kepadamu. Tersenyumlah Mak, hari masih panjang dan aku akan kembali ke pelukan Emak.
**

Pencarianku atas Yasmin belum juga membuahkan hasil. Sudah kutelusuri semua sudut di kota ini, tapi aku masih belum juga menemukannya. "Mungkin ke Jakarta, Bay. Dia dibawa ke ibu kota," kata Hendra menjelaskan.

"Mungkin begitu, tapi aku ingin sekali mengejarnya. Aku ingin mencari dia dan membawa kembali ke desa."

"Tapi bagaimana caranya? Untuk sampai ke Jakarta, kamu perlu waktu. Nah, bagaimana dengan kerjaan kamu? Bagaimana ibu kamu?"

"Benar juga, tapi aku memang harus ke Jakarta, Ndra."

Kucari-cari buku telepon. Aku masih ingat, Pak Kades pernah memberiku nomor telepon dan alamat putranya yang tinggal di Jakarta. Ketika itu dia tahu kalau aku akan pergi ke kota ini, dan tidak mustahil suatu saat berkeinginan ke Jakarta. Dengan penuh ikhlas, Pak Kades langsung memberikan nomor dan alamat itu padaku.

"Aku tahu Ndra apa yang harus aku lakukan. Aku akan ke Jakarta."

"Apa?" Hendra kaget.

"Aku akan pergi besok. Aku akan menelepon dulu Mas Ardi anaknya Pak Kades. Aku mau numpang beberapa hari saja di sana untuk mencari keberadaan Yasmin."

"Pekerjaan kamu?"

"Aku mau minta cuti sama Pak Prem. Gampang, dia kan orangnya baik sekali, pasti ngasih cuti."

"Tapi kan ngurus cuti butuh waktu."

"Aku tahu Ndra. Tapi aku benar-benar harus mencari Yasmin sebelum semuanya berantakan."

"Maksud kamu apa? Aku tidak ngerti."

Aku langsung menuju wartel dan menelepon rumah Mas Ardi. Hanya menunggu tiga detik, teleponku ada yang mengangkat. Terdengar suara lembut seorang perempuan. Pasti istrinya Mas Ardi, aku yakin itu.

"Maaf Mbak, bisa bicara dengan Mas Ardi?" tanyaku kepadanya.

"Ini dengan siapa? Mas Ardi masih di tempat kerja," jawabnya.

"Anu, saya Bayu anaknya Mak Isah tetangga Pak Kades."

"O... ada apa ya? Apakah ada sesuatu dengan Bapak?"

"O tidak. Ini hanya kepentingan saya saja."

Aku utarakan maksudku padanya, dan dia pun membolehkanku datang ke rumahnya. Aku senang bukan kepalang. Dalam otakku tentu saja terpikir kalau aku akan lebih cepat bertemu Yasmin.

Aku bergegas kembali ke kamar kos dan menceritakan pada Hendra kalau besok pagi aku akan berangkat ke Jakarta. Mengenai cuti kerja, aku akan bicara langsung pada Pak Prem nanti malam. Toh aku masuk shift malam kan?!

Tanpa disangka, Pak Prem langsung membantuku dan aku bisa mendapat cuti selama tiga hari. Aku bilang kepadanya saudaraku di Jakarta membutuhkan pertolonganku dan aku memang harus cepat-cepat menemuinya.

"Ya sudah, temui saja saudaramu itu. Kapan kamu berangkat ke Jakarta?" tanya Pak Prem.

"Besok pagi."

"Hati-hati ya.. Jakarta tidak seperti kota ini."

"Aku tahu, Pak."

Aku pun langsung permisi untuk bekerja kembali. Membereskan setumpuk dus makanan dan minuman yang hendak dijajakan di toko. Aku senang melakukannya karena hatiku memang tengah bahagia. Sudah terbayang dalam benakku kalau sesampainya di Jakarta, aku akan segera menemukan Yasmin.

Oh Yasmin, kamu memang telah membuatku gila.
**

Subuh-subuh aku sudah bersiap. Langsung meninggalkan kosan dan menuju terminal. Kutumpangi bis ekonomi menuju Jakarta, tepatnya Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Aku tahu dari peta, kalau tempat tinggal Mas ardi lebih terjangkau dari terminal Kampung Rambutan.

Setelah menunggu hampir setengah jam, bis yang kutumpangi mau berangkat juga. Aku berdoa di dalam hati, berharap perjalanan ini sukses dan secepatnya bisa menemukan Yasmin.

Aku memang telah jatuh hati pada gadis berbibir tipi situ. Pembawaan yang lembut dan baik hati menjadi pemicunya. Apalagi aku memang sudah lama berteman dengannya. Kami tinggal satu desa. Rumahnya 100 meter kea rah barat dari rumahku.

Kami lahir pada tahun yang sama, 25 tahun yang lalu. Hanya beda bulannya saja. Aku lahir Juni sedangkan Yasmin lahir September. Kami selalu satu sekolah, hanya waktu SMA saja yang beda. Dia di SMK Bisnis dan Manajemen sedangkan saya di SMA Negeri.

Ketika SD kami sering digodai temna-teman. Mereka bilang kami pacaran, meski ketika itu aku belum paham betul apa arti pacaran.

“Ah ngaku saja. Kalian kan sering pergi ke sekolah bareng dalam satu sepeda. Dia duduk di depan dan kamu mengendalikan sepeda dari belakang. Terus pulang sekolah juga bareng,” goda teman-temanku ketika itu.

Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum kegirangan. Aku merasa bahagia dikatai seperti itu karena aku memang senang berteman dengan Yasmin. Aku juga senang terus berada berasam dia. Pergi ke sekolah bareng, pulang juga bareng. Di sekolah, tentu saja kami selalu satu kelompok dalam mengerjakan tugas.

“Kalian juga sering bermain bareng, bahkan hanya berdua saja. Bukankah itu tandanya kalian pacaran?” teman-teman wanita langsung menertawakan kami.

Ah biarkan saja mereka mau bilang apa. Toh aku hanya bersahabat baik dengan Yasmin. Dia aku anggap sebagai adikku, apalagi setelah bapaknya meninggal saat masih duduk di bangku SD kelas 2.

Hanya butuh waktu tujuh tahun dia hidup bersama sang ibu. Tepat setelah Ujian Nasional (UN) SMP, ibunda tercinta pergi untuk selamanya, dan Yasmin terpaksa harus hidup bersama nenek yang sudah renta.

Sejak saat itulah hidupnya menjadi liar. Jarang pulang ke rumah dan lebih sering menginap di tempat teman-temannya. Dia jadi sulit untuk diajak bicara, kecuali olehku, dia masih mau terbuka.

“Aku pusing banget, Bay. Aku stress. Aku butuh orang untuk diajak bicara,” ucapnya.

Aku yang duduk di sampingnya hanya terdiam. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Kalau sekedar menjadi teman curhat, aku bisa. Bahkan aku selalu bersedia menjadi pendengar setianya.

“Bay, kamu dengerin aku kan? Gak mungkin aku bicara dengan nenek. Aku gak tega, Bay.”

“Berceritalah padaku, mudah-mudahan aku bisa membantumu.”

Diapun mulai mau bercerita dan terbuka. Dia bilang kalau saat itu tengah dikerumuni banyak laki-laki. Semuanya berniat jahat dengan dalih cinta. “Tapi aku gak percaya, Bay. Mereka bukan cinta dan saying padaku.”

“Kamu bisa ngomong baik-baik kan sama mereka? Bicaralah pada mereka,” usulku.

“Bicara gimana, Bay. Kamu tahu sendiri kan kalau mereka itu tipe orang seperti apa? Susah untuk ngomong.”

“Ya, gimana lagi. Aku juga gak tahu, Yas.”

“Kamu sahabatku, Bay. Aku pikir kamu bisa membantuku, tapi ternyata…” belum sampai dia selesaikan kalimat itu, aku langsung menatapnya dalam-dalam.

“Aku memang sahabatmu yang tolol dan bodoh, Yas. Kamu gak pantas bersahabat denganku.”

“Kok kamu malah marah, Bay. Aku kan cuma ingin kamu jadi lebih berani saja.”

Sejak saat itulah aku tahu kalau Yasmin dikejar-kejar bajingan-bajingan itu. Mereka memaksa Yasmin untuk menjadi kekasihnya. Namun bukan saying dan cinta yang diperoleh Yasmin, sebaliknya, dia seperti wanita belian yang bisa diperjual-belikan.

Hidup Yasmin semakin kacau, bahkan sampai-sampai dia tidak bisa menyelesaikan SMK-nya. Beruntung, dia masih tegar dan bersemangat, sehingga bisa meraih ijazah SMK.

Kini Yasmin sudah pergi dibawa bajingan-bajingan itu, tepat setelah UN SMK selesai. Dia dipaksa ikut bersama mereka, dan seluruh kampong juga mengetahuinya. Tapi apa yang bisa dilakukan warga? Toh mereka sudah mencap Yasmin sebagai perempuan jalang.
Tapi aku lain, Yas. Kamu harus percaya. Aku masih akan terus sayang dan peduli sama kamu. Kamu adalah sahabat terbaikku. Percayalah.
**
Dua jam waktu yang lama bagiku untuk sampai Jakarta. Kulihat ratusan kendaraan menyemut di sepanjang lampu merah. Ah Jakarta, ternyata wajahmu seperti ini? Aku baru tahu sekarang.

Kutanya satpam yang berjaga di terminal, aku ingin tahu ke mana aku harus menuju rumah Mas Ardi. Dan satpam itu baik sekali, dia menyuruhku naik bis ke arah Blok M.

“Jangan naik Slipi, takutnya lewat atas, jadi susah untuk turun di Pancoran,” pesannya.

Aku pun langsung berucap terimakasih dan pamitan padanya. Kunaiki bis yang kumau dan kebagian duduk di paling pojok.

Beruntung kami tidak terjebak macet lama, sehingga dua puluh menit kemudian aku sudah bisa sampai rumah Mas Ardi. Rumahnya kecil dan sederhana dengan taman yang kecil juga. Kuketuk pintu rumah dan tak berapa lama seseorang membukanya.

“Permisi. Assalamu’alaikum…” ucapku, dan perempuan berjilbab itu langsung menebakku.

“Kamu Bayu anaknya Mak Isah itu kan?” tanyanya.

Aku hanya menganggukkan kepala dan perempuan itu langsung mengajakku masuk.

“Mari masuk. Mas Ardi sudah pesan sama saya kalau kamu akan tiba siang ini.” Dengan cekatan diapun langsung membawakanku minuman dingin.

“Iya, Mbak. Maafkan saya ya, saya ke sini hanya mau merepotkan saja.”

“Ah jangan sungkan seperti itu. Kita kan saudara,” suara lembutnya menenangkan jiwaku.

Setelah aku beristirahat satu jam, aku langsung menuju kamar kecil untuk mengambil air wudlu. Kebetulan saatnya sholat Ashar. Dan istri Mas Ardi itu terlihat tengah sibuk memasak. Aku tidak mau mengganngu, namun ternyata langkahku diketahuinya.

“Mau ke kamar mandi toh? Ke sini saja, jangan malu-malu. Tapi maaf ya tempatnya berantakan,” katanya.

Aku hanya tersenyum dan melangkahkan kaki ke dalam kamar mandi. Ternyata Mbak Rita baik sekali. Dia menganggapku seperti keluarganya. Aku jadi malu dibuatnya.
**

Selesai sholat Isya, Mas Ardi tiba di rumah dan langsung menemuiku. Dia menanyakan kabarku dan kabar orang-orang di desa.

“Maaf mas, aku sudah lama tidak tinggal di desa. Aku sekarang kerja di kota,” jawabku.

“Oya? Berarti tadi kamu tidak berangkat dari desa ya?”

“Tidak, Mas.”

Diapun sedikit curiga dan terus menerus menanyaiku. Dengan sedikit tidak enak hati, aku utarakan maksud kedatanganku di Jakarta.

Mas Ardi mengerti dan dia langsung menceritakan sesuatu padaku. “Aku pernah melihat seorang gadis yang memang mirip Yasmin,” ceritanya.

Dia pun bercerita kalau pertemuan itu berlangsung beberapa kali di tempat yang sama. Namun Mas Ardi tidak menceritakan di mana mereka pernah bertemu.

“Saya bisa mengajakmu ke tempat itu. Saya yakin dia menetap di sana,” katanya.

Aku pun langsung bersemangat dan optimis bisa menemukan gadis pujaan hatiku. Tapi aku melihat sedikit kesedihan di wajah Mas Ardi. Aku tidak ada apa yang dipikirkannya.

“Kamu yakin mau bertemu dengan dia?” tiba-tiba Mas Ardi bertanya. Aku yang sedari tadi mendengarkan ceritanya hanya bisa kaget dan manggut-manggut tanda bersedia.

“Mungkin dia tidak seperti…” belum sampai selesai, aku langsung memotongnya.

“Aku tahu dia masih tetap seperti Yasmin yang dulu. Dia memang korban para bajingan-bajingan itu, tapi aku tahu siapa Yasmin. Dia gadis yang baik.” Jawabku panjang-lebar.

Mas Ardi hanya menepuk bahuku dan berjanji akan membawaku besok pagi ke tempat Yasmin. Aku senang bukan kepalang, tenyata semuanya bisa berjalan lancar.

Aku mencoba mencari tahu kenapa Mas Ardi mengenali Yasmin. “Mas yakin kalau gadis itu adalah Yasmin?”

Mendengar pertanyaanku, Mas Ardi jadi kaget. Dia pun tertawa lebar, “Ya jelas Bay, aku kenal gadis desa itu. Kamu jangan ragukan saya, Bay, walaupun saya sudah lama tinggal di Jakarta tapi saya masih tetap merasa dekat dengan orang-orang desa, termasuk mengetahui persis si Yasmin itu.”

Aku hanya mengangguk dan semakin yakin bisa secepatnya bertemu dengan Yasmin. Membawanya pulang ke desa akan jauh lebih baik. Aku kasihan dengan neneknya yang sudah semakin tua itu. Dia sedang sekarat di rumahnya, dan hanya tetangganya yang menunggui.

Ngobrol dengan Mas Ardi membuatku semakin tidak bisa tidur malam ini. Aku semakin tidak tahan ingin segera bertemu Yasmin dan langsung mengajaknya pulang. Bila perlu, aku akan mengajak paksa, seperti saat bajingan-bajingan itu membawa paksa Yasmin pergi dari desa.
**

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.00 dan aku bangun kesiangan. Ah, kenapa Mas Ardi atau Mbak Rita tidak membangunkanku untuk shalat Subuh? Ah, keterlaluan aku. Baru semalam tidur di kasur empuk saja, aku sudah lupa daratan.

Dengan rasa malu, aku keluar kamar dan menuju kamar mandi. Terlihat Mbak Rita sedang sibuk menyiapkan sarapan. Mas Ardi duduk santai di depan televisi, menonton berita pagi.

Aku hanya tersenyum pada mereka, namun jauh di lubuk hati, aku malu sama mereka. Bangun kesiangan, dan benar-benar hanya numpang enak.

“Kamu siap-siap dulu, Bay. Baru kemudian kita sarapan bareng dan saya siap mengantarmu,” ucap Mas Ardi.

Aku hanya mengangguk, “Baiklah, Mas.”

Kami pun sarapan bersama dan aku langsung meminta izin Mbak Rita “meminjam” Mas Ardi untuk beberapa jam saja.

“Kalian hati-hati saja. Meski aku belum pernah ke tempat itu, tapi setidaknya aku tahu tempat itu berbahaya,” pesan Mbak Rita saat kami berpamitan.

Berbahaya? Seperti itukah adanya? Kalau iya, berarti Yasminku memang sedang berada dalam bahaya. Aku pun melangkahkan kaki lebih cepat menuju halte bis. Setelah ada bis yang dinilai tepat akan membawa kami ke tempat Yasmin, kami pun langsung naik.

Ternyata hanya butuh waktu 15 menit untuk berada di dalam bis kota. Kebetulan hari itu jalanan Jakarta tidak macet. Kata Mas Ardi karena ini weekend. Biasanya orang-orang Jakarta pergi ke luar kota saat weelend sehingga jalanan pun lengang.

Kulangkahkan kaki menuju sebuah gang sempit. Sungguh tidak membuatku nyaman. Bukan karena ukurannya yang memang hanya cukup untuk dua orang berdampingan, namun bau busuk sampah di sekitarnya membuatku harus menutup hidung lebih lama.

Kulihat sejumlah perempuan paruh baya berpakaian minim berada di gubuk-gubuk sempit sepanjang gang. Mereka mengobrol satu sama lain, ada yang bersama wanita dan ada pula yang bersama pria.

Kepulan asap rokok menyembul dari mulut dan hidung mereka. Sungguh pemandangan yang menjijikkan. Aku menggerutu dalam hati. Tapi tentu saja aku masih harus melanjutkan perjalanan ini, toh ada seseorang yang aku tuju.

“Boleh Mas, mampir saja,” pinta perempuan berpakaian ketat dengan dada terbuka. Aku hanya tersenyum dan terus melanjutkan perjalanan.

Tuhan, ternyata seperti inilah tempat Yasmin? Kenapa Kau mengirimnya ke neraka ini? Bukankah Kau sangat menyayanginya? Tuhan, aku tidak mengerti, teka-teki apa yang tengah Kau buat untukku dan Yasmin…

Langkah Mas Ardi berhenti di depan rumah. Rumah semi permanent yang cukup sempit. Aku yang tidak tahu hanya menurutinya saja. Ikut berhenti di sampingnya.
“Aku melihatnya di rumah ini,” katanya setengah berbisik.

Dari situlah aku baru tahu kalau rumah bercat pink itu adalah tempat tinggal Yasmin. Dia benar-benar sengsara. Dipaksa bajingan-bajingan itu ke kota hanya untuk menempati rumah sesempit ini. Pemandangan yang tak jauh beda dengan kondisi rumah di desaku.

Mas Ardi mendekati pintu dan mengetuknya. Beberapa kali diketuk belum juga ada yang membukakan pintu. Pikiranku tambah kacau, mengira Yasmin tidak lagi tinggal di rumah itu. Dan aku, sudah barang tentu tidak akan bisa membawanya pulang kampong.

“Maaf Mas, ada yang bisa saya Bantu?” perempuan cantik keluar dari rumah itu.

“Maaf Mbak, apakah di rumah ini ada yang bernama Yasmin. Dia perempuan dari desa?” Mas Ardi yang bertanya.

Perempuan itu tidak menjawab. Dia hanya terdiam dan wajahnya berubah pucat. Aku yang meluhat adegan itu hanya penasaran, apa yang sedang terjadi pada Yasmin.

“Memang betul. Ini tempat tinggal Yasmin,” akhirnya perempuan itu membenarkan. “Tapi… dia sufah tidak di sini lagi sekarang.”

“Ke mana, Mbak?” aku jadi penasaran.

Perempuan itu lagi-lagi terdiam. Setelah menghela nafas panjang, dia mengajak kami masuk rumah dan duduk di ruang tamu. Terlihat foto Yasmin di salha satu sudut dinding. Aku reflek mendekati foto tersebut dan berkata, “Dia Yasminku.”

“Jadi kalian ini keluarganya dari desa?” perempuan itu yang bertanya.

“Iya, kami keluarganya. Sudah sejak lama kami tidak mengetahui kabar dia,” jawab Mas Ardi lembut.

“Tapi sayang, Yasmin sudah tidak ada. Dia sudah meninggal akibat terserang virus penyakit.”

Aku yang mendengar perkataan itu langsung kaget tidak percaya. Kepala juga terasa menjadi berat dan penglihatanku gelap. Aku baru tersadar saat Mas Ardi bilang aku berada di puskesmas.

Yasmin, malang benar masibmu. Mengapa kamu harus menerima cobaan berat seperti ini. Aku langsung menangis dan sesegukan di tempat tidur puskesmas.

Andai ketika itu aku bisa menolongmu, tentu kamu masih bisa bersama kami. Setidaknya kamu tidak merasakan kesengsaraan di ibu kota.

Oh Yasmin, aku kangen sama kamu. Aku kangen senyummu. Aku kangen candamu. Kenangan tujuh tahun lalu terasa begitu dekat, terasa baru beberapa hari yang lalu saja.

Maafkan aku Yasmin, aku bukan pria jantan seperti yang kau mau. Aku tidak mampu menentang para bajingan-bajingan itu. Dan sekarang, bajingan-bajingan itu dibiarkan pergi tanpa harus dimintai tanggung jawab.***

Bandung, 19 Agustus 2009

Selasa, 11 Agustus 2009

Novel

ENTAH mengapa, beberapa hari terakhir ini saya keranjingan membaca novel. Gara-gara menemukan novel dengan cerita bagus beberapa minggu yang lalu, sampai saya penasaran untuk lebih cepat mengkhatamkannya.

Yups, hanya dalam tiga hari (dengan kesibukan saya yang luar biasa, cieh... bohong ketang!!!) novel setebal 400-an halaman itu berhasil ditamatkan. Padahal satu setengah tahun lalu, ketika saya membeli sebuah novel dengan tebal yang sama, baru bisa menamatkannya dalam waktu hampir setahun. Gila, bukan?

Cerita dan gaya bahasa yang ditawarkan novel ini memang sedikit berbeda. Bahkan sangat mengena, mungkin karena latar cerita ada di Indonesia, tepatnya di sejumlah tempat yang beberapa di antaranya sudah saya kenali. Lebih mengena jadinya.

Saya memang sedang keranjingan membaca novel. Betapa tidak? Dua hari lalu, saat "mengunjungi" arena pameran buku Bandung, saya langsung membeli dua novel. Bukan novel bar, tetapi terbitan enam tahun lalu yang memang memiliki cerita unik. Kebetulan penulisnya masih sama dengan novel sebelumnya.

Ah, di sini bukan maksud saya untuk menceritakan siapa penulisnya. Untuk judul novel saja, saya enggan membeitahukannya. Yang jelas, saya memang suka dengan novel. Saya suka tulisan fiksi seperti novel atau cerpen. Gaya bahasanya lebih hidup dan saya sebagai pembaca bisa berimajinasi dengan liar.

Sangat berbeda dengan buku. Buku yang melulu "kuno". Gaya bahasa yang kaku, dan cepat membuat bosan. Hugh... sejak dulu saya memang tdak suka dengan buku. Saya lebih suka membaca novel atau cerpen atau sejenisnya ketimbang harus membaca buku. Apalagi buku pelajaran, sangat membosankan.

Selasa, 04 Agustus 2009

Nulis Apa Ya???

SUDAH cukup lama juga saya tidak menulis (lagi) di blog ini. Bukan karena tidak punya ide untuk menulis, tapi rasa malas lah penyebab utamanya.

Ya, memang, terkadang rasa malas itu timbul begitu rasa capai hinggap. Alasan capai itu pula lah yang membuat saya untuk malas melakukan apapun, termasuk menulis. Padahal menulis bisa saja yang sederhana, yang tentu tidak akan memakan banyak energi.

Tapi ya begitulah, namanya juga malas. Kalau sudah malas ya mau gimana lagi????

Tapi entah kenapa, malam ini tiba-tiba saja saya kangen untuk menulis. Ya mungkin saja karena sudah lama absen itu sehingga rasa kangen itu muncul dalam jiwa. Menulis memang selalu mengasyikkan, walau sederhana tetap saja memiliki nilai kepuasan tersendiri.

Ngomong-ngomong soal menulis, saya bingung juga ya mau menulis apa neh. Harus memulai dari mana, masih bingung juga. Tapi kalau merujuk kepada tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, saya paling bisa menulis pengalaman. Tepatnya pengalaman pribadi, mulai dari bangun pagi sampai tidur (lagi) di malam hari.

Pengalaman? Pengalaman apa ya yang kira-kira bisa saya tulis malam ini? Kalau diingat-ingat, seharian tadi saya tidak punya pengalaman yang wah. Semuanya biasa-biasa saja dan berjalan standar. Berangkat pagi dari kosan menuju lokasi liputan, kemudian bertemu, ngobrol dan "diskusi" dengan sejumlah orang. Kembali ke kantor dan mengetik. Apa yang menarik untuk ditulis? Entahlah.....