Senin, 23 Maret 2009

Hujan, Panas, Hujan Lagi........

SEJAK akhir September lalu, hujan menyambangi bumi Parahyangan. Mulai dari gerimis sampai benar-benar hujan, seiring masuknya musim hujan. Repot memang, apalagi bagi mereka yang kerja di lapangan. Hujan sedikit, bisa mengganggu pekerjaan.

Hujan masih terus mengguyur sampai akhir Februari lalu. Masuk Maret intensitasnya mulai berkurang, mungkin mulai masuk musim pancaroba (perubahan musim dari penghujan ke kemarau). Lama-lama hujan menghilang dan berubah jadi panas. Cuaca Bandung pun yang cendeung sejuk berubah drastsi menjadi sangat panas.

"Gerah banget," begitu komentar sejumlah orang ketika udara berubah panas.

Aku juga sama, merasakan hal serupa. Bahkan jika biasanya sepulang kerja aku jarang mandi, eh setelah udara menjadi super panas, berubah jadi WAJIB mandi.

Selang beberapa hari setelah panas yang cukup menyengat, tiba-tiba Bandung dilanda hujan kembali. Kali ini bukan saja hujan, tapi angin juga cukup kencang sampai ada sejumlah pohon yang tumbang akibat angin kencang.
Yang paling mengagetkan, Minggu (22/3) kemarin hujan yang turun cukup besar menyebabkan banjir di sejumlah titik di Kota Bandung. Jalan raya A Yani misalnya, terendam sekitar 30 cm sampai-sampai banyak sepeda motor yang mogok.

Ada apa ini? Kok cuaca Bandung sekarang semakin berubah????

Jumat, 20 Maret 2009

Mohon Maaf, Hanya Fiktif

BAGI siapapun yang buka ato baca blogku ini, aku sampaikan permohonan maaf sedalam-dalamnya.

Semua cerita yang aku tulis hanya fiktif. Tidak ada kesengajaan dalam penulisan alur ataupun tokoh dalam cerita tersebut. Jika ada kesamaan, itu hanya sebuah kebetulan semata. Makasih ya...

Salam,
penulis
(ida romlah)

Awan, Hujan dan Angin...........

SORE itu, langit di sepanjang jalanan yang kulalui digelayuti awan hitam tebal. Bahkan, beberapa di antaranya, sudah menampakkan warna yang semakin pekat. Dan, tanda-tanda akan turun hujan pun semakin jelas sudah. Angin kencang dan gemuruh halilintar yang disertai petir, semakin meyakinkan kalau sore itu, hujan akan membasahi Kota Subang dsk. Bahkan mungkin, curahnya akan jauh lebih tinggi ketimbang hujan di sore-sore biasanya.

Tanpa berpikir panjang, kulaju kendaraan Roda Dua-ku dengan kecepatan lebih dari biasanya. Tujuannya, tentu saja, agar aku tidak kena hujan tiba-tiba. Dan, pakaianku yang tanpa jacket itu, tidak basah kuyup.

Ada yang aneh juga memang dengan kostumku sore itu. Bukan aneh karena apa, cuma kala itu, aku bepergian tanpa mengenakan jacket. Padahal, biasanya aku selalu menyertakan "baju pelindung" itu di setiap perjalananku. Ya sudahlah, itu tidak perlu dibahas lebih jauh di sini, karena……………..(gk penting juga!)

Semakin lama, gerimis kecil yang sedari tadi menyertai perjalananku sore itu terus berubah semakin besar. Tanpa berpikir panjang, kuperlahan laju kendaraan, lalu kuhentikan, tepat di pinggir jalanan yang rindang dengan pepohonan. Kubuka jok tempat dudukku, dan kuambil jas hujan di bawah jok tersebut. "Untung aku bawa jas hujan ini tadi," gumamku dalam hati.

Benar saja, tidak lama dari itu, tiba-tiba saja hujan semakin deras. Bahkan amat sangat deras, dan jarak pandang pun hanya beberapa meter. Aku yang tidak bisa melihat dengan baik tanpa bantuan kaca mata, harus dibuat semakin sulit melihat karena kaca mataku berembun kena air hujan. Hugh…!!!

Perjalannku sore itu pun semakin sulit dengan ditambahnya angin kencang yang menggoyang-goyangkan ranting-ranting pepohonan. Semakin lama semakin kencang, dan muncul rasa ketakutan di lubuk hatiku. Takut tidak bisa mengendarai motor dengan baik.

Ya, tidak bisa melajukan kendaraan dengan baik. Itu ketakutanku kala itu, tentunya dengan berbagai alasan, pertama, aku takut nabrak orang sesama pengendara atau pepohonan di pinggiran jalan, atau mungkin jika ada pohon yang tumbang ke tengah jalan, karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Kedua, kendaraanku selalu goyang karena tiupan angin yang amat kencang itu, sehingga laju motorku tidak pernah lurus (stabil). Ketiga, takut kena pohon tumbang. Itu bisa berakibat fatal.

Setelah melaju sekitar 50 menit, akhirnya aku bisa sampai di rumah. Tentunya sampai dengan selamat. Alhamdulillah… ya Allah, Engkau teramat baik dan sayang kepadaku, melindungi aku dalam perjalanan sore itu dalam situasi yang teramat "menakutkan"-ku.

***


Subang, 2 Maret 2008

dr Marissa

LAILA mengelus lembut kepala Marissa yang ditutupi jilbab krem dari sutra. Ia dapat merasakan kegalauan yang dialami sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya.

"Kamu harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di dunia ini, Sa!" ujarnya penuh ketulusan.

Mata Marissa memandang lurus ke depan, hampa dan sarat pilu.

"Tapi, mengapa semuanya terjadi begitu cepat? Satu persatu milik saya yang paling berharga pergi. Mas Kreshna pergi secara tiba-tiba dan mengenaskan, meninggalkan saya yang saat itu tengah mengandung… Padahal, ia suami yang baik. Saya masih ingat janjinya, akan mengajak saya berziarah ke tanah suci, sambil menunggu kelahiran putri kami yang bungsu. Kini belahan hati kami pun pergi menyusulnya dengan begitu cepat. Kamal tertabrak secara mengenaskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab," Marissa menangis tersedu.

Lihatlah dari sisi positifnya, Sa. Aku yakin, semua kejadian ini pasti mengandung hikmah," Laila berusaha menasehati.

Marissa terdiam sementara pikirannya mengembara ke masa lalu.

"Kamu tidak sendiri, Sa. Masih ada Keyla, putri bungsumu yang sedang lucu-lucunya. Dia butuh perhatian kamu. Terus kamu juga masih punya Ibu, Bapak dan adek-adek kamu di Kampung. Mereka sangat sayang sama kamu. Dan aku, aku akan selalu ada buat kamu, Sa. Masihkah itu semua belum cukup untuk membuatmu dapat mensyukuri nikmat Tuhan?" Laila menambah pikiran Marissa semakin kencang berpacu.

Apakah saya harus menerima tawaran Ibu, Bapak dan adek-adekku pindah ke kampung agar semua kejadian ini dapat terlupakan?" akhirnya Marissa berkata.

Laila menghela napas. "Keputusan ada di tangan kamu, Sa. Namun kamu jangan gegabah dalam mengambil keputusan itu. Keluarga kamu di Kampung memang sangat teramat saya ng sama kamu, namun alangkah lebih baiknya kamu istikharah dulu. Minta petunjuk yang baik pada-Nya."

Jawaban Laila masuk akal, karena walau bagaimanapun, Marissa masih terikat pekerjaan di kota tersebut. Jika dia jadi pindah ke kampung kelahirannya di Purwakarta, dia harus direpotkan dengan mengurus kepindahan kerjanya, yang nota bene seorang pegawai negeri.

Hanya ada anggukan kepala Marissa sebagai jawaban atas tuturan yang diucapkan Laila.

**

"Sa, kamu sudah masuk kerja? Alhamdulillah, akhirnya…." dengan nada penuh kebahagiaan, Laila mendekati Marissa yang baru saja tiba di puskesmas.

"Aku sudah pikirkan matang. Dan, inilah jawaban atas semua doaku pada-Nya," Marissa menuturkan alasannya kembali masuk kerja. Dia pun segera memasukki ruang kerjanya.

Tidak hanya Laila, kawan-kawan di puskesmas tempatnya bekerja pun merasa senang dengan kehadiran Marissa. Bagaimana tidak, Marissa dikenal sebagai dokter teladan yang sangat baik hati terhadap sesama. Dan, peristiwa memilukan itu sangat dikhawatirkan rekan-rekannya akan membuat dokter cantik itu berlarut-larut dalam kesedihan. Tapi itulah Marissa, ia perempuan tangguh, semangat hidupnya masih tinggi, sehingga ia tetap beraktivitas seperti biasanya meski musibah yang memilukan menimpanya.

"Sa, aku bangga sama kamu. Dan inilah diri kamu yang sebenarnya," ungkap Laila pada saat makan siang.

***

Subang, 9 Maret 2008

Jurnalis Sejati???

YA ampun, kenapa ya akhir-akhir ini aku sering sekali merasa kecapaian. Badan semuanya terasa pegal-pegal. Yang lebih parah lagi, aku sering merasa malas dan pengennya istirahat yang cukup. Padahal kegiatanku tidak begitu banyak, ya hanya mutar-mutar di kota Subang untuk mendapatkan sebanyak mungkin bahan berita. Liputan lebih tepatnya.

"Lho kok, kamu nyerah gitu sih. Bukannya itu adalah profesi yang kamu damba-dambakan sejak lama? Kenapa sekarang jadi banyak mengeluh?" Anita terus-terusan mengingatkanku saat kucurhat segala keluhan yang kualami setelah menjadi "kuli tinta" di sebuah koran harian.

Tujuannya sih bagus, dia pengen ngasih aku semangat. Tapi…. Ya, semoga saja aku tetap bersemangat, hingga cita-citaku menjadi Jurnalis sejati tercapai.

"Gimana mau jadi Jurnalis sejati, kalau baru beberapa minggu saja sudah ngeluh kaya gini," kini giliran Mita yang komentar.

"Kamu gak tahu sih Mit, gimana capainya jadi wartawan. Harus liputan ke sana-ke mari. Hugh,,, kadang suka putus asa kalau misalkan narasumbernya susah diajak ngomong. Kan repot, mesti mikir lagi, gimana caranya biar mereka bisa komen," aku tetap tidak mau kalah.

"Namanya juga hidup. Pasti penuh denagn perjuangan. Kalau kamu gak mau, ya udah gak usah dipaksain. Cuma, kamu mau ngapain kalau tidak menjalani tugasmu dengan baik itu?" Mita balik nanya.

"Iya sih, aku juga mikir, tapi…"

"Tapi apa?" Anita memotong omonganku.

Sumpah, aku kesel saat curhat semua itu. Mereka yang kuanggap sebagai teman baikku, bisa-bisanya ngomong kaya gitu. Mungkin sebaiknya dari awal aku memang tidak curhat kepada mereka. Tapi baguslah, itu berarti mereka selalu mendukungku.

"Ya Tuhan, semoga saja aku selalu diberi kekuatan untuk menjalankan segala proses hidup yang Kau gariskan untukku," harapku dalam setiap doa.

***

Subang, 3 April 2008

Hadiah

TIBA-tiba telepon genggamku berdering. Sontak aku langsung mencari sumber suara tersebut. Kubuka tas, tapi tak kutemukan pesawat seluler tersebut.

"Di mana ya, tadi kusimpan?" tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba saja aku ingat. Pasti di saku tas yang paling dalam. Biasanya kan aku selalu nyimpan HP di sana. Benar juga, suara dering telepon tadi memang berasal dari saku tas tersebut.

Kulihat layar, tertulis Iki Zaki, Adik sepupuku yang baru berusia empat tahun. Ada apa, dia nelepon aku sore-sore begini.

"Halo…!" kuawali pembicaraan.

"Teh Ida?" terdengar suara beningnya nun jauh di sana.

"Ada apa?" aku langsung menanyakan tujuan dia menelepon.

"Juara. Iki juara mewarnai, dan dapat hadiah," terangnya.

Ya, dia memang kini tengah belajar di Paud (Pendidikan Anak Usia Dini) atau biasa disebut juga play group. Baru-baru ini di tempatnya belajar diadakan lomba mewarnai. Dan dia, membawa kabar baik, kalau dirinya jadi juara dalam lomba tersebut.

Dari suaranya terdengar kalau dia tengah bahagia. Ya, bahagia layaknya anak-anak yang tenagh kejatuhan bintang. Aku pun demikian, ketika kecil aku selalu merasa bahagia luar biasa jika jadi juara di sekolah.

Tiba-tiba saja pikiranku teringat pada masa aku duduk di bangku SD. Bukannya sombong, aku memang kerap menjadi juara pertama di kelas. Dan aku akan merasa senang luar biasa, jika guru mengumumkan siapa yang rangking pertama di kelas catur wulan (cawu) ini. Informasi saja, jamanku sekolah menggunakan sistim cawu bukan smester seperti sekarang ini. Proses belajar dievaluasi percawu atau perempat bulan sekali. Jadi, dalam setahun ada tiga cawu.

Cawu pertama dan kedua di kelas 1, aku rangking pertama. Bagaimana dengan cawu ketiga yang pengumuman hasil belajarnya selalu bertepatan dengan kenaikan kelas? Berita bagus, ketika diumumkan di depan para orang tua murid, aku menjadi juara pertama di kelas satu. Otomatis, hatiku senang. Yang lebih mendebarkan adalah aku dipanggil ke atas pentas untuk menerima penghargaan.

Naik ke pentas tidak sendirian, kami berenam. Semuanya merupakan juara pertama di masing-masing kelas, kelas 1 hingga kelas 6. Aku dapat hadiah, entah apa isinya, saat menerima bungkusan berwarna coklat aku belum mengetahuinya.

"Wah, selamat ya, Ida jadi juara," ucap teman-teman dan orang tua murid.

Tidak hanya untukku, mereka juga mengucapkan selamat kepada orang tuaku, yang kebetulan pada saat itu hadir. Kulihat raut kebahagiaan juga terpancar dari wajah Ibu-Bapakku.

"Apa ya kira-kira hadiahnya?" hatiku bertanya-tanya.

"Mungkin buku dan alat tulis lainnya," tebak temanku.

"Mungkin, karena biasanya hadiah tidak pernah jauh dari barang-barang keperluan sekolah seperti itu," pikirku.

Benar saja, tebakanku dan temanku 100 persen jitu. Isi bungkusan warna coklat tersebut adalah lima buah buku tulis.

Meski hadiahnya sederhana, namun aku tidak bisa membohongi betapa senangnya aku. Mungkin jika terlihat, perasaanku seperti berada di atas awang-awang. Melayang tinggi hingga mendekati langit biru.

Ya, yang namanya hadiah memang selalu membahagiakan setiap penerimanya. Meski bentuk atau harga barang yang dihadiahkan tidak seberapa. Begitu juga yang dirasakan adik sepupuku Iki saat ini. Perasaannya tengah melayang-layang. Bahagia luar biasa karena mendapat hadiah dari kejuaraan mewarnai di sekolahnya.

***

Subang, 3 April 2008

Jika Musim Panen Nanas di Wilayah Subang Dijadikan Oleh-oleh Khas, Dijajakan Sepanjang Jalan

Jika Musim Panen Nanas di Wilayah Subang

Dijadikan Oleh-oleh Khas, Dijajakan Sepanjang Jalan

Sudah jadi rahasia umum, Subang dikenal sebagai Kota Nanas. Pasalnya daerah yang terletak ke arah utara dari ibu kota provinsi Jawa Barat tersebut memiliki buah nanas khas. Diberi nama si madu, nanas tersebut konon terkenal dengan cita rasanya yang sangat manis, bahkan semanis madu.

Laporan Ida Romlah

dari Subang

NANAS si madu memang lain daripada yang lain. Rasanya yang khas, yakni sangat manis dan tidak merusak selera lidah layaknya rasa nanas biasa pada umumnya adalah salah satu cirinya. Tak heran, banyak orang dari luar kota nun jauh di sana sengaja mengunjungi atau hanya sekedar melintasi Subang, hanya karena ingin mencicipi buah satu itu. Di Subang, buah nanas ditanam di daerah bagian selatan, tepatnya di kawasan Kecamatan Jalancagak dan sekitarnya. Daerah tersebut dinilai cocok untuk membudidayakan buah tersebut karena iklimnya yang merupakan wilayah berdataran tinggi. Bahkan di sana, sejumlah warga sengaja berprofesi sebagai petani nanas. Jika musim panen nanas tiba, bukan hanya daerah asal nanas ditanam saja yang kebanjiran. Sejumlah wilayah di Subang juga ikut merasakan hawa panen tersebut. Salah satunya adalah dengan banyaknya otlet atau kios di sepanjang jalan raya yang ikut menjajakan buah tersebut. Seperti di sepanjang jalan raya Subang-Kalijati, tepatnya di sentra oleh-oleh Sukasari dan Dawuan, sejumlah kios tidak akan pernah ketinggalan untuk menawarkan buah khas Subang itu. Beranjak ke jalan raya dekat Subang kota, yakni daerah Dangdeur, pecinta buah nanas tidak perlu khawatir. Pasalnya di sepanjang jalan tersebut, kios-kios sudah barang tentu juga menjajakannya. Dari sekian nanas yang ada, annas si madu merupakan primadona. Karenanya, julukan Kota Nanas untuk Subang juga akibat dari adanya jenis si madu tersebut. Namun untuk bisa memperoleh nanas yang benar-benar merupakan jenis si madu, dinilai cukup sulit. Pasalnya nanas jenis itu sukar dibudidayakan, dan akan muncul tanpa diduga-duga. Eman, petani nanas asal Kumpay Jalancagak mengakui, banyak sekali pedagang yang menukil nama si madu untuk nanasnya. Padahal itu belum tentu benar, karena jumlah si madu tidak sebanyak jenis lainnya. “Si madu itu kadang kita gak tahu seperti apa pohonnya. Karena dia tumbuh tanpa diduga, sehingga sulit jika kita ingin membudidayakannya,” terang dia. Karena itu, dia berpesan jika ingin agar julukan Kota Nanas tetap dipegang Subang dan si madu tidak punah, petani dan semua pihak harus bisa mempertahankannya. Caranya, kembangkan pertanian nanas, jangan sampai punah. Apalagi jika lahan perkebunan nanas beralih fungsi jadi lahan perkebunan yang lain, bisa-bisa nama si madu tidak akan ditemukan lagi.(*)

Orang Asing

BANGUNAN itu, sungguh elok. Seumur hidupku, aku belum pernah sekalipun melihat bangunan secantik itu. Kulihat dengan seksama, sungguh luar biasa. Meski aku kerap melihat dan berkunjung ke sejumlah bangunan kuno peninggalan masa penjajahan Belanda, tapi aku belum pernah menemukan bangunan secantik itu.

Rasa penasaranku yang cukup kuat telah mendorngku untuk mendekati bangunan itu. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki. Satu, dua meter lalu terhenti. Kutatap lagi dalam-dalam, semakin tumbuh besar rasa penasaran.

Kulangkahkan lagi kakiku, sampai tibalah tepat di pintu masuk. Tapi, langkahku lagi-lagi harus terhenti. Pintu terkunci rapat dan tak ada satu orang pun penjaga. Mungkin aku memang harus puas sampai di depan pintu, tanpa bisa masuk ke dalam gedung bangunan tuk mengelilingi seluruh bagian di dalamnya.

“Kamu pasti ingin masuk,” suara lembut seseorang mampir di telingaku. Sepertinya dia tahu betul apa yang tengah ada dalam alam pikirku. Pasti dia sang penjaga bangunan itu, dan berbaik hati mempersilahkanku masuk ke dalam bangunan. Hatiku senang bukan kepalang. Sebuah anugerah besar mampir di hadapanku.

Kutolehkan wajah, ingin kutahu siapa gerangan yang membisikan kata-kata itu. Tapi, di mana. Di samping, belakang, samping kiri-kanan, ternyata tidak ada. Kucari dia di balik tembok, tapi tetap tak terlihat. Di manakah engkau? Izinkan aku tuk bisa melihat wujudmu agar kubisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Mungkin diskusi, tentang sejarah, tentang banyak hal lagi.

Kucari-cari di hampir seluruh penjuru bangunan cantik itu. Tetap saja gak ada. Hanya suara lembut yang kembali terdengar. “Aku di sini,” katanya singkat.

“Di mana? Aku tak bisa menemukanmu?”

“Memang sulit. Tapi aku ada di sini. Di sampingmu.”

“Di sampingku?”

Kuputar lagi badanku berulang-ulang samai kepala ini pening dibuatnya. Tapi pencarianku nihil. Aku tak bisa melihatnya, hanya mendengar suara lembutnya.

“Suatu saat kamu pasti bisa merasakan di mana aku berada. Sekarang kamu percaya saja kalau aku memang ada. Ada di sini, tepat sejajar di samping kanan tubuhmu.”

Aku tak bisa berkata lagi. Bibir ini terasa kaku.

“Kamu mau masuk ke dalam dan melihat keadaannya, kan?” dia kembali bertanya.

“Iya. Aku ingin tahu bangunan apa ini. Aku ingin melihat seperti apa di dalamnya.”

“Datang saja Kamis malam besok. Kamu pasti bisa melihatnya.” tiba-tiba suara itu menghilang. Tak lagi terdengar, dan aku semakin bingung.

“Hai,,, halo,,, kamu di mana? Kok menghilang? Masih ada di samping kananku, kan?”

Tak ada jawaban. Hanya angin kencang dibarengi petir, pertanda hujan akan segera turun. Langit pun semakin gelap, padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 15.00.

Aku harus cepat meninggalkan bangunan cantik itu sebelum hujan turun. Saat pergi dari rumah menuju toko buku di persimpangan jalan pasar raya, aku tak berbekal payung.

Tapi, apakah aku harus kembali ke rumah dengan tangan hampa. Tak ada jawaban atas bangunan elok itu, padahal aku sangat penasaran. Dan orang tadi, yang, yang membisikkan pesan padakupun tak bisa kudapati. Dia pergi begitu saja, malah menyuruhku datang kembali Kamis malam.

Kecewa, penasaran, bercampur baur mengiringi langkahku meninggalkan pintu bangunan itu. Satu, dua, tiga langkah terasa sangat berat. Sampai akhirnya kusampai di pagar depan. Kubalikkan badan dan kulihat kembali bangunan itu. Memang cantik dan unik.

“Aku pasti kembali melihat kemegahanmu di Kamis malam,” ucapku setengah teriak.

*****

Bandung, 10 Maret 2009

Pesan Ibu

SAYANGILAH orang yang telah menyayangi kamu, melebihi kasih sayang yang telah diberikannya…….

DEMIKIAN pesan ibu sepanjang kebersamaannya denganku. Aku mulai ingat bagaimana ketika aku masih balita dulu, kira-kira usia 4 tahunan, aku selalu diminta ibu untuk senantiasa menyayangi orang-orang di sekelilingku. Tidak hanya itu, aku pun kerap dinasehati agar selalu menghormati mereka. Siapaun itu.

“Bilang apa, Sayang? Makacih,,,,” pesan ibu tiap kali aku mendapat hadiah atau sesuatu benda dari orang lain. Pesan itu pertanda sebuah rasa penghormatan terhadap si pemberi.

Meski sederhana, ibu tetap selalu mengingatkanku. Bahkan sampai aku besar. Ingat betul, ketika Tante Liza — adik kandung Ayah tiba dari Jakarta. Beliau bersama keluarganya hendak merayakan Idul Fitri di kampung. Kampung kelahirannya sekaligus tempat tinggal aku bersama Ibu dan Ayah.

Ketika itu, Tante Liza memberiku sebuah mukena atau rukuh. Sangat cantik, dan masih baru tentunya. Tidak hanya itu, rukuh tersebut terlihat sangat mahal. Aku yang ketika itu berusia 17 tahun, atau tengah mempersiapkan UN SMA, lagi-lagi diingatkan Ibu untuk berucap terimakasih atas hadiah rukuh dari Tante Liza itu.

“Bilang makasih sama tantemu itu. Dia dah baik banget beliin kamu hadiah,” ucap ibu yang langsung aku turuti. Tante Liza pun tersenyum.

**

TERAKHIR pesan Ibu agar aku pandai berterimakasih dan menghormati orang lain, adalah saat Beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

“Hormatilah Tante Yus. Beliau pengganti Ibu, karena Ibu tidak bisa menemanimu sampai hari tua,” pesan Ibu ketika itu. Tak lama dari itu, jasad Ibu pun tak bernyawa lagi. Aku menangis sebesar-besarnya. Sedih, itulah yang aku rasakan ketika itu. Aku merasa sangat kehilangan, karena selama ini aku memang sangat dekat dengan Beliau.

Dengan Ayah? Aku tak begitu dekat. Kami hanya kerap ngobrol seperlunya saja, bahkan bertatap muka pun jarang. Sepulang sekolah, aku kursus sampai sore. Setelah itu mengaji ke Langgar, dan kembali ke rumah sekitar pukul 20.00. Sepulang ke rumah, aku makan malam dan langsung belajar. Setelah itu tidur.

Pada jam-jam tersebut Bapak biasanya belum pulang, dia masih di kantor. Dan, baru pulang di saat aku sudah tidur. Paginya, aku juga hanya bertemu di meja makan saja. Selebihnya, tidak ada waktu lagi kecuali hari libur. Tapi, lagi-lagi hari libur selalu aku gunakan untuk jalan bareng teman-teman.

Biasanya kami, anak-anak (atau lebih tepatnya gadis-gadis desa) biasa jalan ke tempat keramaian. Kami biasa ke kota, berbelanja atau sekedar cuci mata, menghilangkan penat selama sepekan. Wajar jika aku sangat dekat dengan Ibu karena Beliau benar-benar ibu rumah tangga, yang kesehariannya mengurusi rumah.

Ketika Ibu dipanggil Sang Maha Kuasa, aku seperti kehilangan setengah hidupku. Aku mulai berpikir bagaimana aku ke depannya? Hidup bersama Ayah membuatku semakin sedih. Apalagi aku tahu kalau Ayah punya istri muda, yaitu Tante Yus.

“Aku benci Ayah, aku benci Tante Yus,” teriakku dalam hati. Kebencianku pada mereka teramat sangat, sehingga bagaimana aku bisa menghormati dan menyayangi mereka sebagaimana dipesankan Ibu?

Aku hanya bisa menangis dan bertanya pada Tuhan kenapa memanggil Ibu dalam waktu sedekat ini? Aku merasa dunia ini tidak adil untukku.

Tante Liza yang berbaik hati padaku. Beliau terus-terusan menenangkanku, dengan memberi nasehat seputar keikhlasan. Untuk menenangkanku, Beliau juga menawarkanku untuk tinggal bersama keluarganya di Ibu Kota. Tapi tentu seizin Ayah dan istri mudanya.

Aku sedikit terhibur, tapi apakah mungkin Ayah akan mengizinkanku tinggal bersama Tante Liza. Yang ada dia akan memboyongku ke rumah istri mudanya. Hidup bersama anak mereka hasil pernikahannya, yang disaksikan Ibu. Aku jadi bimbang tapi tetap berharap dapat izin Ayah.

**

KUANTARKAN jasad Ibu sampai ke liang lahat. Sebelum ditutupi tanah merah, aku masih bisa melihat wajah Ibu. Beliau sungguh cantik. Wajahnya tampak bercahaya dan terlihat senyum tersungging di bibirnya.

Ibu memang wanita sholeha. Beliau orang yang patut dicontoh oleh banyak wanita lain di negeri ini. Keikhlasan yang dimiliki Beliau yang paling patut untuk diteladani, teruatam olehku yang sampai seusia ini masih belum bisa ikhlas.

Puncak keikhlasan Ibu terjadi saat Ayah meminta izin untuk menikah lagi. Dengan ihlasnya, Ibu mengizinkan bahkan menjadi saksi pernikahan Ayah dengan Tante Yus. Aku sendiri tak bisa hadir dalam acara tersebut. Bukan karena sibuk dengan segudang kegiatan, tapi hatiku tak bisa meneriam pernikahan mereka.

“Kenapa Ibu mau dimadu?” tanyaku seminggu sebelum pernikahan Ayah-Tante Yus.

“Bukan begitu. Ibu menilai niat mereka baik, sehingga tak ada alasan bagi Ibu untuk tidak mengizinkan mereka menikah,” jawabnya.

“Tapi kan nanti jadi ribet?”

“Ribet bagaimana? Tak akan ada yang ribet. Ibu tahu betul siapa Tante Yus. Dia perempuan baik-baik.”

Jawaban Ibu semakin tak masuk akal. Aku jadi semakin heran, terbuat dari apa hati Ibu?

Sampai hari terakhirnya, ternyata Ibu sangat menghormati istri muda Ayah. Beliau juga sayang terhadap guru TK itu. Tapi aku, sampai saat ini pun masih belum bisa menerima kehadiran Tante Yus. Apalagi saat tahu mereka dikaruniai seorang putra bernama Malik.

**

“KAMU boleh ikut dengan Tante Liza dan tinggal bersama keluarganya,” kata Ayah di hari ketujuh wafat Ibu.

Aku senang bukan kepalang. Ikut bersama Tante Liza bukan Ayah dan istri mudanya. Berharap, bersama Tante Liza nanti, aku bisa hidup lebih baik. Yang lebih penting, aku akan semakin jarang bertemu Ayah dan sitri mudanya. Sebab, setiap kali bertemu mereka, hatiku terbakar. Benci.

Kusiapkan segalanya untuk kepindahanku ke Jakarta. Sekolah, Ayah yang mengurus. Kubawa semua barang dan benda yang berhubungan dengan Ibu, termasuk foto dan buku agenda pemberian Ibu. Kumasukkan ke dalam tas, tapi tiba-tiba agenda itu jatuh dan terbuka lembarannya.

Kuambil, tapi tanganku tiba-tiba kaku. Kulihat sebuah pesan di dalam lembaran halaman buku agenda itu. Ternyata dari Ibu. Isinya: “Kapan kamu bisa ikuti pesan Ibu? Ibu pengen sekali melihat kamu hidup akur dengan Tante Yus, Mali dan Ayah. Di sini Ibu akan bahagia melihat kalian bahagia bersama.”

Kristal dari mataku tak bisa ditahan lagi. Menetes lebih cepat dan deras. “Maafkan aku Ibu…!!”

***

Bandung, 10 Maret 2009

Hanya Fiktif


"Selamat ulang tahun,,,,"
tiba-tiba suara seseorang mampir di telingaku. Sontak, akupun kaget dibuatnya. Kuangkat wajah, lalu ketoleh ke kiri.

"Kamu?" tanyaku heran.

"Ya, ini aku," jawabnya singkat. Dia lonjorkan tangan, meminta untuk berjabat. Kusambut tangannya, dan kamipun saling berjabat.

"Sudah lama ya kita gak ketemu. Kamu gimana kabarnya? Katanya,,,?"

Tanpa kubiarkan dia bicara lebih panjang, aku langsung memotongnya. "Iya. Lumayan juga kita gak pernah ketemu. Kabarku baik-baik saja, dan kamu?" aku balik nanya.

Akhirnya kamipun bercerita panjang-lebar soal kegiatan masing-masing selama kurang-
lebih empat tahun tak bertemu. Hanya kirim kabar melalui email atau telepon yang bisa kami lakukan selama jangka waktu empat tahun tersebut.

"Kamu banyak berubah," tiba-tiba dia berikan pernyataan. Aku gak tahu persis, perubahan apa yang dia maksud, apa dari sikapku saat tahu dia ada di hadapanku, atau bagaimana.

"Berubah? Masa sih?" tanyaku penuh heran, tapi tetap halus tanpa bermaksud menyinggung perasaannya.

"Iya, kamu jadi tambah dewasa dan,,," lagi-lagi dia memotong omongannya.

Dan apa ya kira-kira, pikirku dalam hati. Mungkin iya, saat ini aku telah berubah, berubah karena seiring berjalannya waktu. Namun, jujur, aku juga merasa dia sedikit berubah saat ini. Dia sama sekali tak seperti yang aku kenal dulu. Waktu kami sering menghabiskan banyak waktu untuk berdua. Jalan-jalan di taman, ngeteh bareng di kafe dan masih banyak kenangan indah yang kami lalui bersama.

Ah, andai saja waktu bisa kembali ke empat tahun silam. Mungkin aku dan dia tidak akan merasa saling asing seperti sekarang ini. Mungkin, kami akan lebih akrab, dan tidak kaku seperti saat ini. Tapi, ini sudah takdir Tuhan. Kami harus dipisahkan selama empat tahun, dan hari ini, tepat di ulang tahunku, dia datang ke rumah dengan membawa suasana baru.

"Kamu kenapa, kok dari tadi banyak diam?" tanyanya mencairkan suasana.

Aku hanya bisa tersenyum. "Emmm...ada pestanya gak, aku sengaja lo datang ke sini hanya untuk menemui kamu," pernyataan itulah yang aku tunggu-tunggu sejak beberapa tahun silam. Jujur, meski kami sangat dekat, tapi belum pernah sekalipun dia melontarkan pujian atau kata-kata yang bisa bikin aku melayang hingga langit ketujuh. Mungkin pernytaan barusan lah yang dinilai paling baik. (Hehe,,,)

"Oya? kamu sengaja datang ke sini hanya untuk aku? bukannya kamu datang untuk Rudi?" tanyaku balik. Rudi adalah adekku laki-laki satu-satunya. dan dia juga merupakan sahabat dekatnya, maklum sejak dari kecil Rudi dan dia sudah berteman. Dulu orang tua kami sama-sama bekerja di satu perusahaan dengan orang tuanya.

"Gak kok. Aku serius, kau datang hanya untuk kamu. Selama empat tahun kita berpisah, aku merasa kalau aku sangat butuh kamu. Aku juga gak tahu kenapa, tapi mungkin inilah yang dinamakan jatuh cinta. Aku cinta sama kamu. Aku sayang sama kamu. Aku ingin kamu jadi orang yang paling spesial buat aku, bukan hanya sebatas sahabat, aku ingin lebih," ungkapnya di depan mataku.

Aku gak tahu mesti berkata apa, tiba-tiba bibirku kaku, lidahku tak bisa digerakkan. Hanya air mata bahagia yang menetes dari kedua mataku. "Kamu kenapa? gak suka?" tanyanya. Aku makin tak bisa ngomong sedikitpun. Hanya gelengan kepala yang bisa aku lakukan saat itu. Diapun merangkul tubuhku dan memelukku erat. Mungkin dia tahu apa yang ada dalam pikiranku.

"Aku mencintaimu sejak kita pertama kali kenal," bisiknya.

Aku bahagia banget, sungguh bahagia. Kado apa yang telah Tuhan kasih di hari jadiku ke-24 ini. Subhanallah,,,,

Subang, 4 September 2008

Jangan Kau Tanyakan Itu, Plis!


HAMPIR sepuluh bulan sudah kujalani hidup bersamanya, bersama pria yang pada Nopember lalu resmi menjadi suamiku. Ihsan namanya, nama yang punya arti "kebaikan". Nama itu pula yang mencerminkan sikapnya, perilakunya, dan kebiasaannya. Tidak hanya padaku dan keluargaku, tapi pada semua orang yang pernah bertemu dengannya.

Sepuluh bulan itu pula kami hidup di sebuah desa yang jauh dari aktivitas perkotaan. Desa yang masiha sri dengan nuansa alamnya yang begitu indah. Terhampar sawah nun menguning jika menjelang musim panen, dan menghijau di kala baru ditanam. Di desa itu pula aku banyak belajar menghargai hidup ini, terlebih menghargai Mas Ihsan sebagai suamiku.

"Kamu yakin, akan menerimaku sebagai kepala rumah tangga, kelak?" tanya Mas Ihsan di detik-detik pernikahan kami.

"Insya Allah, dengan sepenuh hati aku akan menerimamu. Sebaliknya, Mas juga harus siap menerimaku apa adanya," jawabku sedikit meminta sesuatu padanya.

Dia yang lembut dan kalem hanya bisa menganggukkan kepala, pertanda setuju dan siap membina rumah tangga bersamaku. "Tapi,,,, apa kamu siap ikut denganku ke daerah tempat aku kerja?" tanyanya sedikit penasaran. Maklum saja jika Mas Ihsan mengajukan pertanyaan seperti itu, karena sudah bukan lagi rahasia, aku termasuk tipe gadis yang manja, tidak bisa jauh dari orang tua. Yang lebih parah lagi, aku tidak becus mengerjakan pekerjaan rumah. Memasak, mencuci, membrsihkan rumah, aku paling malas.

Dengan sedikit gugup dan penuh haru aku menjawab lembut, "Insya Allah, ke manapun Mas pergi, aku pasti akan menyertaimu."

Benar saja, dua hari setelah kami resmi menjadi suami-istri, dia langsung membawaku ke sebuah daerah di wilayah Selatan Jawa Barat. Dengan menaiki Civic merah marun warisan dari almarhum Pak Ahmad, ayahnya Mas Ihsan yang kini menjadi mertuaku, kami melalui perjalanan cukup panjang dan melelahkan untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Entahlah apa nama desanya, yang pasti untuk bisa sampai di kota kecamatan saja, warga di saba harus menaiki dua mobil umum ditambah ojek sepeda motor.

Di sana, kami tinggal di rumah dinas. Sebuah rumah sangat sederhana berdindingkan bilik (anyaman dari bambu, pen.) namun terlihat asri dan sejuk. Rumah tersebut dikelilingi tanaman bunga serta buah-buahan. Persis di belakang dapur, terdapat sebuah balong berukuran 4X3 meter. Menurut Mas Ihsan balong tersebut berisi ikan mas dan nila yang besar-besar. "Cukup untuk kebutuhan lauk-pauk kita sehari-hari," ucapnya ketika aku pertama menginjakkan kaki di rumah bilik itu.
**

"SAYANG, kenapa kamu menerimaku sebagai suamimu?" sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Mas Ihsan di suatu malam. Saat itu di kampung kami tengah dilanda musim hujan, tidak kenla waktu, padi, siang, dan malam pasti turun hujan. Aku sendiri tidak tahu harus menjawabnya dengan cara apa lagi. Bagiku pertanyaan itu sangat sulit aku jawab, persis sesulit ketika dia bertanya mengapa aku mencintainya dan mengapa aku bersedia dilamarnya.

"Aku gak tahu, Mas," jawabku tenang.

Dia yang mendengar jawabanku hanya termenung.

Seandainya aku boleh memohon sesuatu padamu, aku akan memintamu untuk tidak melontarkan pertanyaan seperti itu lagi. Aku bingung mesti menjawab apa, yang jelas aku tidak akan pernah menyesal menjadi istrimu. Sebaliknya, aku bahagia memiliki suami sebaik kamu, Mas.

Lagi-lagi, pertanyaan semacam itu kembali keluar dari bibirnya. Kali ini sama persis, "Mengapa kamu menerimaku sebagai suamimu?" tanyanya kepadaku. Aku yang tidak akna pernah bisa menjawabnya hanya berusaha menghindari tema obrolan itu. Aku alihkan ke tema lain, kebetulan besok ada rapat penting di kantor Mas Ihsan, sehingga dia harus pergi lebih pagi dan pulang malam. Untuk menjaga kondisi badanya, aku siapkan semua keperluan, mulai dari P3K sampai bekal makanan dan minuman. Makllum, Mas Ihsan tidak pernah mau makan atau minum dari luar. Dia harus tahu asal-usul makanan dan minuman tersebut.

"Jangan sembarangan. Kira ridak pernah tahu kondisi makanan dan minuman itu seperti apa, kecuali jika kita sendiri yang bikin," terangnya.
**

HARI ini tepat ulang tahun Mas Ihsan. Aku berencana memberi kejutan padanya. Aku tahu makanan kesukaan dia, aku pun sedari pagi minta Mang Ade untuk mengantarku ke pasar guna membeli semua keperluan memasak. Maklum, belanjaanku cukup banyak, karena aku juga berencana mengadakan syukuran dengan semua tetangga ditambah anak yatim-piatu di panti yang terletak di kampung tetangga.

"Neng, kita pergi sekarang?" tanya Mang Ade dari balik pintu belakang.

"Iya, Mang. Tunggu sebentar, saya ambil kantong besar dulu," pintaku padanya.

Kami pun bergegas meninggalkan kampung menuju pasar yang letaknya lumayan jauh, sekitar 45 kilometer dari rumah. Honda Astrea yang sudah usang pun kami naikki berdua, ditambah barang belanjaan nanti dari pasar.

"Kira-kira kita nanti gak mogok kan, Mang?" tanyaku was-was.

"Neng tenang aja, dijamin. Ini motor meski sudah butut tapi masih kuat. Bayangin aja, setiap hari bolak-balik pasar ngojekin tukang warung," cerita Mang Ade yakin.

Akupun ikut yakin, Mang Ade sudah punya pengalaman cuikup. Sehingga kekhawatiranku akan mogok di tengah jalan sedikit demi sedikit pupus.

Semua belanjaan sudah didapat, tiga jam sudah waktu aku habiskan untuk berbelanja di pasar, dan sekarang aku sudah tiba di rumah. Bi Yati, istri Mang Ade pun ikut membantuku memasak semua keperluan syukuran nanti malam. Tidak lupa Eneng, Dede dan Ujang juga ikut nimbrung di rumahku. Mereka dalah putra-putri Mang Ade yang masih kecil-kecil. Terbersit dalam benakku pun soal momongan. "Kapan aku bisa jadi ibu yang sempurna?" tanyaku dalam batin. Sampai sepuluh bulan pernikahan ini aku belum juga diberi momongan.
**

MAKANAN sudah siap, semuanya tersusun rapi dalam kemasan. Jarum jam menunjukkan pukul 17.10, akupun sudah rapi berpakaian serba putih. Tepat ba'da Magrib nanti acara dimulai, dan Mang Ade pun sudah mengundang semua tetangga untuk hadir di rumahku. Tak ketinggalan, anak-anak panri asuhan juga turut diundang. Namun kenapa Mas Ihsan belum juga pulang ke rumah ya? Apakah dia masih sibuk di kantor? Padahal, dia tahu kalau di rumahnya akan ada acara.

"Assalamu'alaikum,,, bisa bicara dengan Mas ihsan?" tanyaku di balik telepon. Aku khawatir sesuatu terjadi karena sebentar lagi acara dimulai tapi Mas Ihsan belum juga tiba di rumah.

"Maaf, Pak Ihsan sudah dari jam 3 sore pulang. Dia sengaja minta pulang lebih cepat karena katanya ada acara di rumahnya. Ini Bu Ihsan ya?" tanya bapak-bapak yang mengangkat telepon di kantor.

"Mkasih kalau begitu, mungkin dia lagi di jalan. Assalamu'alaikum," ucapku menutup perbincangan.

Adzan Magrib sudah berkumandang, tapi Mas Ihsan belum tiba juga. Aku semakin cemas, ada apa dengannya? Aku sendiri bingung, mau nelepon, nelepon ke mana, toh HP hanya bisa dipakai di kota saja, di jalan tidak ada sinyal. Sedari tadi pun aku hubungi nomor HP Mas Ihsan tapi selalu veronica yang menjawab.

"Ya Allah selamatkanlah suamiku," pintaku dalam do'a saat shalat Magrib.

"Neng, si Aa-nya belum pulang juga?" tanya Bi Yati dengan logat Sunda.

"Belum, Bi. Entahlah, saya jadi cemas," jawabku.

"Tunggu saja yang sabar, barangkali sebentar lagi," Bi Yati berusaha menghiburku.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, dampir semua undangan sudah menduduki rumahku, termasuk para anak panri. Tapi kenapa Mas Ihsan belum datang juga?

"Bapak-bapak, mohon kesabarannya. Acara belum bisa kita muali karena Pak Ihsan belum juga sampai di rumah. Kita tunggu sebentar ya," pinta Pak Rahmat, sang tokoh di kampung kami.

Terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Aku langsung refleks ingin melihat siapa yang datang. "Pasti Mas Ihsan," bisikku pada Bi Yati. Akulangsung keluar rumah melalui pintu samping. Benar saja,seseorang berbadan tinggi, tegap dan berkemeja rapi datang menghampiriku.

"Maafkan Mas, sayang. Tadi ada sedikit gangguan di jalan," katanya sambil memelukku erat. Akupun langsung menyiapkan air hangat untuk dia mandi, dan baju koko putih favoritnya. Peci tidak ketinggalan, dan dia langsung masuk ke dalam kumpulan undangan. Acara pun baru bisa dimulai.
**

"APAKAH kamu mencintaiku? Sehingga mau bersabar menghadapi pria seperti aku," sebuah kertas tertata rapi di meja rias. Aku tidak tahu kapan Mas Ihsan menulisnya, lalu meletakkannya di meja riasku. Padahal semalam kami tidur berasama, dan tadi pagi pun kami sarapan bersama. Ada apa dengan Mas Ihsan, kenap akhir-akhir ini sedikit berbeda.

Aku takut semua sikapnya ada kaitan dengan hasil periksa dokter kandungan tempo hari. Hasil pemeriksaan itu memang sungguh menyakitkan, terutama hati Mas Ihsan yang sejak lama mendambakan buah hati. Namun keinginan tersebut harus dia buangjauh-jauh pasalnya, dokter memvonis jaka kami tidak akan punya anak. Penyebabnya ada pada Mas Ihsan, dan itu pula yang membuat dia sangat terpukul.

"Mas, apapun dirimu, bagaimanapun kamu, aku tetap akan mencintaimu. Sampai kapanpun, akan kuhabiskan sisa umurku hanya bersamamu. Kita jalani hidup bersama dengan kebahagiaan. Rasa cinta dan sayangku tidak akan berubah sedikitpun, Mas," tulisanku dalam diary. Aku memang punya hobi menulis, dan semua perjalanan hidupku kutuangkan dalam sebuah diary.

"Mengapa kamu mencintaiku?" suara seseorang mampir di telingaku. Kubalikkan badan, dan kulihat ternyata Mas Ihsan ada di belakangku. Dia melihat aku menulis, dia tahu semua isi diaryku, dan dia pun tahu curhatanku di setiap sepertiga malam.

"Mas, jangan pernah kau tanyakan itu padaku. Aku tak tahu harus menjawabnya seperti apa," suaraku lirih.

Kuberanjak dari tempat duduk lalu merangkul Mas Ihsan dengan penuh kasih sayang. Aku ingin semangat hidupnya kembali seperti dulu. Anak bukanlah syarat tumbuhnya sebuah kebahagiaan dalam keluarga. Justru rumah tangga yang berlandaskan agamalah yang akan meraih kebahagiaan.

"Aku sayang Mas, saampai kapanpun," bisikku di telinganya.

"Makasih sayang, makasih banyak. Aku gak tahu mesti berucap apa pada Allah, aku telah dikaruniai istri sholeha sepertimu," katanya padaku.
*****

Subang, 22 September 2008

2,5 Jam Saja


ENTAH kenapa, beberapa hari belakangan ini aku merasa lain dari biasanya. Lebih bersemangat, dan yang jelas lebih ceria. Bahkan, beberapa teman sekantorku juga merasa aneh melihat gelagatku yang sedikit "centil", katanya. Tapi ah peduli apa dengan omongan mereka, toh aku lagi merasakan kebahagiaan, bukan bersikap "centil" sebagaimana yang dilontarkannya.

"Pagi Ras!" sapa Weldy mengawali pagiku yang cukup cerah di pertengahan September ini.

"Pagi juga!" tanpa bermaksud menyinggung perasannya. Padahal, terus terang aku sendiri merasa aneh mengapa Weldy melakukan hal itu. Ini baru kali pertama bagiku, setelah hampir dua tahun aku menjadi stafnya di kantor.

"Memang, sedikit aneh. Dan aku rasa bukan hanya dia tapi Lo juga," komen Ana sohibku saat kuceritakan kejadian pagi itu di depan pintu masuk kantor. Ya, komen Ana memang wajar, karena sebagaiamna diketahui oleh seantero kantor bahwa yang namanya Weldy, alias Pak Weldy itu jutek abis.

"Jangankan menyapa, senyum aja bisa dihitung jari. Coba inget-inget, kapan sih si Pak Weldy itu bersikap lebih akrab terhadap kita-kita?" Ana dengan nada ketus.

"Aku inget, aku inget, kapan dan berapa kali Pak Weldy bersikap baik," timpal Hesty. "Baru kemaren pagi, dan itu terjadi hanya pada si Rasti yang cuantik ini," imbuhnya yang kemudian dilanjut dengan tertawaan semua rekan-rekan. Otomatis, ruangan kerja berukuran 4x4,5 meter pun jadi ramai.

"Kalian kenapa sih, kok aneh?" tiba-tiba Pak Weldy muncul dari balik pintu. Kami pun tak bisa berkata apa-apa, alias diam seribu bahasa. "Kalau gak sibuk, kerjakan aja pekerjaan buat besok. Jangan buang-buang waktu percuma dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, apalagi di kala berpuasa seperti ini," lanjutnya.

Ih,,, dasar. Sepertinya dia memang tidak suka jika melihat orang lain tengah berbahagia. Bukannya buang-buang waktu percuma, tapi ketawa-letiwi sesekali di tengah-tengah ketegangan kerja, wajar aja bukan? "Bagaimana gak stres coba, punya boss kayak gini?" masih Ana yang lantang komen. Aku sendiri tidak mau berkomentar apa-apa, hanya mengambil hikmah dari apa yang disampaikan Pak Weldy tadi. Mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, jangan sampai ada waktu yang terbuang percuma.
**

AKU memang selalu berusaha jadi karyawan yang baik, meski terkadang niat baikku ini dinilai buruk oleh beberapa rekan sekantor. "Kamu jangan cari muka deh, serajin apapun kamu, di mata Pak Weldy kita semua sama saja, gak ada yang dapet perlakuan lebih," ucap salah seorang teman yang aku sendiri lupa siapa orangnya. Maklum ketika dia berkata seperti itu, aku tidak mempedulikannya, pergi begitu saja.

Hari ini aku tiba di kantor 20 menit lebih awal dari jam kerja. seperti biasa, kebiasaan membaca surat kabar sebelum bekerja adalah rutinitasku, meskia ku hanya mengandalkan langganan dari kantor. Kuambil salah satu media massa cetak yang paling kusuka, ah sepertinya masih tidak ada yang menarik untuk halaman satu ini. Biasa, hanya seputar kasus BLBI yang semakin hari semakin menyeret beberapa nama.

"Masya Allah, Astaghfirullah, kok bisa?" tanyaku dalam batin ketika kulihat berita HL-nya. Aku tak pernah menyangka, dan mungkin sampai mati pun aku tidak akan pernah percaya, ada seorang anak yang tega membunuh orang tua dan saudara-saudaranya.

Dalam waktu semalam, dia bisa melakukan hal itu dengan mulusnya. Setan apa yang tengah merasuki anak perempuan 17 tahun itu, sampai-sampai berperilaku melebihi binatang. Berulang kali aku beristighfar, memohon ampunan atas semua kejadian yang tengah menimpa negeri ini. korupsi, kemiskinan, pembunuhan dan tindakan kriminal lain seperti sudah mendarah daging di negeri yang terkenal budaya ketimurannya ini. Karena tidak kuasa membayangkan pembunuhan si gadis remaja tersebut, belum sampai di ujung tulisan.

Mungkin ini adalah pelajaran berharga bagiku. Tulisan itu, berita itu, HL itu adalah pelajaran dari Allah untukku agar aku lebih sayang lagi terhadap kedua orang tuaku. Maklum, selama ini aku jarang menemui kedua orang tuaku yang tinggal di luar kota. Hanya obrolan pelepas kangen yang sering kami lakukan, itu pun sangat terbatas.
**

BESOK libur kerja. Lumayan dua hari, Sabtu dan Minggu. Aku bisa manfaatin untuk bersilaturahmi ke kedua orangtuaku. Semua perlengkapan yang aku butuhkan selama pulang ke kampung sudah kumasukkan ke dalam tas. "Tinggal pergi saja, lagian travel juga sudah aku pesan," ucapku saat packing-packing barang.

Aku mungkin salah satu anak yang durhaka sama kedua orangtua. Lihat saja, sejak bekerja di Jakarta selama hampir tiga tahun, baru lima kali pulang mnejenguk mereka. Padahal, setiap pekan aku libur, dan jarak antara Jakarta dengan tempat tinggal orang tua sangat dekat, hanya menempuh waktu sekitar 2,5 jam. Tapi kali ini lain, rasanya kerinduanku semakin mendalam untuk bertemu dengan mereka. Makanya, kuputuskan untuk pulang Jumat malam nanti sehabis pulang kerja.

"Kamu mau pulang ya Ras?" tanya Ana.

"Insya Allah, aku kangen banget sama ortu. Maklum udah lama banget gak pulang," jawabku penuh suka cita.

"Olah-olehnya dong," sahut rekan yang lain, yang berhasil mendengar perbincangan kami.

"Insya Allah. Kalian mau oleh-oleh apa?" balik nanya.

"Apa aja, yang penting enak dan tidak merepotkanmu," jelasnya.

Tanpa menghiraukan apa yang mesti aku bawa sebagai oleh-oleh nanti, aku lebih fokus mengerjakan semua file pekerjaan yang mesti aku selesaikan sampai sore ini. Kalau tidak, aku terpaksa harus lembur. Jika lembur, wah rencana pulang kampungku akan diundur atau terancam tidak sama sekali.

"Ras, kamu ada rencana pulang kampung gak?" Pak Weldy mengutarakan hal itu via telepon.

"Insya Allah Pak," jawabku singkat.

"Nanti malam kita pulang bareng. Kebetulan saya juga mau pulang juga ke Bandung. Kamu mau kan pulang barengsaya?" Pak Weldy menawari.

"Tapi Pak, sebaiknya saya pulag sendiri saja. sudah terlanjur pesan travel," kataku.

"Gak, saya gak mau membiarkan karyawan saya pulang sendirian di tengah malam buta," alasannya sedikit memaksa.

Aku tidak tahu mesti menjawab apa, segala alasan sudah kusampaikan, tapi keukeuh Pak Weldy tidak mau tahu. Sampai akhirnya akupun termakan ajakannya, dan bersedia pulag bareng satu mobil.

"Nanti malam sekitar pukul 09.00 aku jemput kamu di kosan, kita langsung pergi ke Bandung," ujarnya. Aku dan Pak Weldy memang sama-sama orang Bandung, bahkan kami pernah menimba ilmu di tempat yang sama, ketika SMP dan kuliah. Hanya kami beda angkatan, dia dua tahun lebih dulu daripada aku.
**

TERNYATA anggapanku dan rekan-rekan lain tentang Pak Weldy sangat berbeda. Dia sangat perhatian, tidak jutek sebagaimana yang dinilai selama ini. Buktinya, sepanjang jalan dia ngajak aku ngobrol dan becanda. Dia pun tidak malu-malu menceritakan keluarganya.

"Aku harus menghadiri pernikahan mantanku," tiba-tiba Pak Weldy berkata seperti itu. sontak, aku pun kaget dibuatnya. Aku hanya terdiam, bermaksud tidak mau mencampuri urusan orang. "Ya, dia yang sangat aku cintai terpaksa harus jatuh ke tangan orang lain," ceritanya.

"Bapak bersabar saja," kataku sok menasehati. "Tapi, apa Bapak yakin mau menghadiri pesta tersebut?" tanyaku setengah hati, karena dicampuri rasa takut menyinggung perasaannya.
"Insya Allah, aku yakin aku harus hadir. Kenapa? karena ini permintaannya," ucapnya.

Aku benar-benar kaget, orang setegas dan sewibawa Pak Weldy masih saja mau menyempatkan diri menghadiri pesta pernikahan mantan pacarnya. Bukan itu saja, dia terpaksa membatalkan meeting yang harus dia lakukan Sabtu besok.

"Syukur kalau Bapak lebih siap, saya yakin itu bukan hal mudah bagi setiap orang, apalagi,,,," aku belum selesai bicara tapi Pak Weldy memotongnya.

"Sudahlah, itu masa lalu. Kamu lapar gak? Kita makan sulu yu!" ajaknya di tengah perjalanan. Baru setengah perjalanan yang berhasil kami lalui, sisanya sekitar satu jam lagi untuk bisa tiba di tempat tujuan. "Kamu masih tinggal di alamat lama?" tanyanya tiba-tiba.

"Em,,, iya. Aku masih di Gang Saturnus di Buah Batu. Bapak sendiri?" tiba-tiba aku punya keberanian untuk bertanya lebih banyak tentang dia.

"Masih. Kamu mau tahu rumahku? Boleh. Nanti sekalian saja mampir dulu di rumahku," jawabnya.

"Bukan begitu Pak, maksudku kalau Bapak masih di temoat dulu, nanti lebaran boleh dong saya bersilaturahmi," jawabku rada ngasal. Dia hanya menganggukkan kepala. Kami pun bergegas turun dari mobil, langsung masuk ke sebuah resto di pinggir tol. Aku tahu, menu apa yang akan dia pesan untuk makan malam kali ini. Sepengetahuanku, dia doyan sekali sup buntut.

Yupz, benar juga, dia memesan makanan tersebut. Aku sedikit sennag karena ternyata Weldy yang aku kenal tidak banyak berubah. Hanya kadang kebiasaannya yang lebih banyak diam dan tegas, dianggap lain oleh kami para stafnya.

"Kamu pesan apa?" tanyanya sambil melihat kedua bola mataku.

"Sop jando saja, aku sudah lama tidak makan sop yang enak selama di Jakarta," singkatku. Dulu kami memang pernah beberapa kali menyisir sejumlah resto dan rumah makan di Kota Bandung secara bersamaan. Hobi kami yang gemar mencoba makanan baru dan mencari yang punya rasa paling khas, membuat kami jadi sering bertemu.

"Seminggu sekali," ucapanya mengganggu lamunanku yang tengah asik membayangkan masa-masa kuliah dulu.

"Iya, seminggu sekali kita selalu menyisir rumah makan. Mencari makanan khas dan enak tentunya," jawabku sedikit gugup seolah merasa jika lamunanku bisa ditebaknya.

"Oiya,,,, kok kamu masih inget? Padahal aku gak kepikiran sama sekali," ungkapnya. Aku jadi sedikit malu dibuatnya, kukira dia tadi tahu apa yangtengah ada dalam lamunanku. Pesanan kami pun sudah tiba di meja, seolah seperti yang tengah kelaparan selama satu minggu, kami lahap semua makanan yang tersaji, tanpa tersisa sedikitpun.

Sayang, kebersamaan kami hanya berlangsung 2,5 jam saja. Padahal masih banyak hal lain yang ingin aku tanyakan padanya. Dengan sedikit berberat hati, aku harus turun dari mobilnya dan berpisah. Sementara dia masih tetap harus melanjutkan perjalanan sampai tiba di rumahnya. "Semoga besok aku masih bisa bertemu dengan Pak Weldy," harapku dalam hati.
*****

Dibuat di Subang, 17 September 2008

Penggemar Rahasia


Aku bangga bisa mengenali wanita sebaik dan secerdas kamu. Selamat ya, kamu sudah terpilih sebagai ketua Hima. Ttd Penggemar Rahasiamu
"SIAPA sih?" tanyaku heran. Pasalnya ini bukan kali pertama aku menerima selembar kertas biru muda bertuliskan ucapan selamat. Semua mirip, tulisannya, warna kertasnya, dan yang pasti selalu membubuhkan kata 'penggemar rahasiamu' di akhir ucapannya. Satu lagi yang sama, dia mengirim kartas biru muda itu dengan cara menaruhnya di pintu laci mejaku.

"Hai,,,!!!" suara itu tidak asing lagi bagiku. Dia pasti si Tya. Yupz bener juga dialah si Tya temen akrabku sedari kecil. Suaranya yang sedikit cempreng menjadi mudah untuk dikenali, kendati sumber suaranya berasal dari jarak yang sangat jauh. "Jahat banget kamu, ngatain temen sendiri sejelek itu," hati kecilku berkata.

"Em,,, hai! Hai juga!" jawabku refleks.

"Kenapa? Ada apa? Pasti,,,soal kartu itu lagi ya?" tebak dia dengan beberapa pertanyaan.
Mungkin Tya sudah tahu, bagaimana perasaan dan sikapku akhir-akhir ini setelah menerima sekian puluh kertas biru muda tersebut. "Udahlah, mungkin dia memang suka sama Lo, tapi dia belum punya keberanian untuk ngungkapin perasaannya. Makanya dia pake ngaku sebagai penggemar rahasia segala," ucapnya.

"Iya, udahlah jangan terlalu dibesar-besarkan. Lagian, mungkin orang itu iseng doang, aku gak boleh geer duluan," timpalku sekenanya.
Kamipun duduk bersebelahan, tepat di kursi jajaran kedua. Hari ini memang jadwal kuliahku cukup padat. Masuk jam 07.20 pagi dam baru mulai bisa bernafas lega jam 05.00 sore.
**
"KERTASNYA masih ada?" tanya Tya di sela-sela rehat kuliah kedua dan ketiga.

"Maksudnya?" aku balik nanya.

"Maksudku, semua kertas yang pernah orang itu kasih ke Lo. Kalau bisa harus masih ada, biar tar kalau ada waktu senggang, kita selidiki sebenarnya dia siapa," Tya menjelaskan.

"Assalamu'alaikum, kalian sudah dzuhur?" tiba-tiba seseorang mendekati kami. Aku dan Tya yang sedari tadi duduk di bangku panjang dekat ruang perpus, langsung menoleh ke belakang.

"Yah, dikirain siapa. Pakabar Mal?" tanya Tya sambil menyalami tangan lelaki itu. Aku sendiri langsung menunduk kembali, tanpa komentar apapun. "Oiya, ini Kamal, temenku waktu baksos bulan lalu. Dia juga mahasiswa sini cuma beda fakultas," terang Tya memperkenalkan lelaki itu.

"Alaikumsalam, saya Syifa," giliranku memperkenalkan diri.

"Syifa nama yang bagus, saya Kamal," ucapnya sambil menyalami tanganku.

Aneh, baru kali ini ada lelaki yang ngomentari namaku. Mungkin dia tahu kali, apa arti dari namaku sehingga berkata seperti itu. Tapi kok, ada yang aneh ya.

"Wei, kenapa Lo? Kok jadi aneh?" tanya Tya mengaburkan lamunanku yang hanya berlangsung kurang dari dua detik itu.
**

TANPA sengaja, aku berpapasan dengan Kamal tepat di pintu gerbang kampus. Wajahnya yang sejuk menebarkan senyum keikhlasan. "Assalamu'alaikum Syifa,,,!!!" ucapnya mengawali perbincangan.

"Alaikumsalam! Pakabar Mal?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah baik," jawabnya singkat. Kami pun tak lama bersama karena harus buru-buru menuju ruang kuliah masing-masing. Satu hal yang aku ingat, sudah beberapa hari terakhir ini aku gak nerima lagi kertas biru muda yang berisi ucapan. Apa karena aku memang tidak menorehkan prestasi atau meraih kesuksesan, sehingga kartu itu pun absen jatuh ke tanganku.

"Hai,,, kamu kenapa? Sudah menemukan jawabannya, kira-kira siapa yang kirim kertas biru muda itu?" tanya Tya sesampainya di kelas.

"Entahlah," jawabku. "Lagian beberapa hari ini kan aku gak pernah nerima lagi, berarti orang itu sudah gak perhatian lagi," ucapku ngasal.

"Mungkin, tapi apa kamu gak mau mencari tahu siapa orang itu?" Tya lagi-lagi menggoda.

"Ya, kamu kepikiran gak, kalau yang kirim surat biru muda itu adalah penyuka warna biru muda?" tiba-tiba aku berucap seperti itu. Tya pun berpikir cukup lama, dan akhirnya dia berkomentar.

"Bisa juga," katanya. "Berarti mulai sekarang kita cari tahu siapa yang penyuka biru mmuda di kampus kita," sarannya.

Jam kuliah pun berakhir, dan aku langsung menuju raung Hima Jurusan. Sementara Tya menuju fakultas Teknik untuk menemui Kamal perihal acara sosial yang akan digelar dua bulan mendatang. Sesampainya di ruang Hima, aku dikejutkan dengan sepucuk kertas lagi. Kali ini beda, warnanya bukan biru muda lagi tapi peach—warna kesukaanku.

Aku tunggu kamu di perpus besok siang selepas sholat Dzuhur. Kamu gak ada kuliah kan setelah dzuhur? Ttd Penggemar rahasiamu
LAGI-lagi tulisan dari penggemar rahasia. Tapi aku gak tahu, apa ini ada kaitannya dengan surat-surat yang lalu yang berwarna biru muda? "Ah bikin kaget aja," celotehku tanpa kusadari jika di dalam ruangan sudah berkumpul semua pengurus Hima.
**

"YA Allah, aku gak tahu siapa orang itu, tapi apa aku harus temui dia nanti siang?" tanyaku dalam do'a. Sementara aku sendiri gak tahu, dia laki-laki atau perempuan. Seandainya laki-laki, apa aku sanggup bertatap muka dan berbincang dengannya. Bukannya selama ini aku lebih banyak menutup diri terhadap lak-laki?

Tapi tidak dengan Kamal. Ya, Kamal, aku pernah berbincang cukup 'berani' dengannya, dan hanya sama dialah aku 'berani'. "Apa mungkin, yang ngirimi aku kertas selama ini adalah Kamal?" tiba-tiba hatiku bertanya.

"Kriiii,,,ngng!!!" bunyi telepon berdering, langsung kudekati pesawat itu dan berkata, "Assalamu'alaikum!!!" Lima menit kami bicara, lalu terputus begitu saja saat orang yang ada di balik telepon itu bilang, "Nanti kita ketemu kan, di perpus?" tanyanya.

Aku semakin penasaran, dan rasanya pengen cepet-cepet sampai di kampus dan waktu cepat bergulir menjadi siang. Aku pingin tahu siap aorang itu, tapi dari suaranya aku bisa menebak kalau dia adalah seorang laki-laki.

"Laki-laki, kamu yakin?" tanya Tya saat ku-sms-kan padanya tentang kejadian barusan. Aku tahu, Tya pasti gak yakin jika da lelaki yang minta ketemu denganku dan peduli sama aku. Sebagaimana diketahui khalayak umum, aku adalah satu-satunya wanita di kampus yang tidak pernah terbuka terhadap laki-laki.
**

SESUAI perjanjian, kami akan bertemu di ruang perpus, tepat setelah menunaikan ibadah sholat dzuhur. Kubaca satu judul cerpen dari penulis yang aku suka. Sekitar 30 menit sudah aku menunggu lelaki itu, tapi tak terlihat sedikit pun batang hidungnya. Aku mencoba bersabar, menunggunya sampai sepuluh menit lagi. Tapi apa yangterjadi, lelkai itu tak pernah datang.

"Dia hanya ngerjain aku, dan bodohnya, aku mau saja percaya begitu saja," curhatku pada Tya. Tya tak bisa berkata banyak, dia hanya mencoba menghiburku. "Aku sih gak masalah, karena ini bukan kali pertama terjadi padaku. Bahkan dulu mungkin jauh lebih menyakitkan," lirihku.

Tuhan, kenapa kejadian dan laur ceritanya mesti sama persis dengan kejadian dulu. Dikirimi surat dengan isi yang menyanjungku, tanpa menyebutkan biodata pengirimnya, dan terkahir, dia minta untuk ketemuan. Tapi, malang, pertemuan itu tidak pernah terjadi. Inikah yang dinamakan memiliki penggemar rahasia???
*****

Subang, 15 September 2008

Kamis, 19 Maret 2009

Pasar Malam

TAK seperti biasanya, sahabatku kini jadi lebih senang bergosip. Apalagi kalau bukan Pasar Malam yang menjadi topik pembicaraan mereka. Aku bingung bukan kepalang, apa yang membuat keempat sahabatku senantiasa membicarakan pasar yang hanya buka di malam hari itu.

"Apa sih yang kalian bicarakan?" tanyaku pada mereka. Sudah bukan lagi hal aneh, pikirku. Pasar Malam sama sekali tidak akan menarik. Yang ada hanya sejumlah mainan anak-anak ditambah para pedagang. Mulai dari kebutuhan pangan sehari-hari (sembako), pakaian sampai asesoris wanita.

Biasanya anak-anak yang senang dengan Pasar Malam. Apalagi kalau bukan karena ingin jajan dan mencoba setipa permainan yang disodorkan penyelenggara. Meriah memang, tapi terkadang tempatnya tidak mendukung. Menempati lahan pekarangan seadanya, dengan tata letak kios yang sedikit semrawut, membuatku tak pernah lagi mengunjungi Pasar Malam.

Seingatku, terakhir menyambangi pasar musiman itu adalah saat aku mencari kaus kaki sekolah. Ketika itu aku tengah duduk di bangku kelas 6 SD dan dua pekan lagi akan segera Ujian Nasional (UN). Setelah itu, aku tak pernah dan tak ingin lagi menginjakkan kaki ke tempat tersebut. "Gengsi," begitu aku selalu menjawab ketika diajak salah seorang teman SD-ku, Farah, ketika itu.

Ya memang, aku gengsi banget untuk kembali ke pasar yang dimanfaatkan sebagian pemuda-pemudi di desaku untuk mencari jodoh. "Untuk apa sih, Ma?" aku bertanya pada Mama yang sibuk bersiap-siap pergi ke Pasar Malam. Dia mengajak serta aku untuk menemaninya, maklum adikku Tasya yang baru berusia 4 tahun meregek minta ke Pasar Malam.

"Sama Kak Tara aja ya...!!!" pinta Mama pada Tasya.

"Apaan sih Ma? Kok malah nyuruh ke aku. Mana mau Tasya jalan sama aku, dia kan lebih seneng diajak Mama biar bisa jajan lebih banyak," aku sewot.

Beruntung Tasya sendiri menolak tawaran Mama. Dia menggelengkan kepala saat Mama menawarkan aku untuk menemaninya.
**
HARI berikutnya, empat sahabatku masih saja membahas Pasar Malam. Andin yang bercerita kalau dia membeli sejumlah asesoris di Pasar Malam. Pertimbangannya, harga murah tapi tampilan asesorisnya menarik dan lucu. Bahkan tidak malu-malu, dia pakai asesoris berupa gelang-gelang unik untuk ke kampus, dan memperlihatkannya ke teman-teman yang lain.

"Bagus banget, Din. Beli di Pasar Malam ya? Di sebelah mana, kok aku gak nemu ya?" giliran Gita bertanya.

Disambut Rina dan Resi, mereka pun akhirnya membahas panjang lebar belanjaannya dari Pasar Malam.

"Kamu gak ke Pasar Malam, Ra?" Rina bertanya padaku.

Aku hanya menggeleng.

"Kenapa? Kamu kan seneng belanja. Dijamin pasti nemuin banyak barang deh di sana," sambung Resi.

"Aku gak tertarik dengan Pasar Malam. Apa anehnya. Paling barangnya standar dan malah kuno. Aku lebih milih tempat belanja biasa daripada harus ke Pasar Malam."

"Jangan salah, Ra. Pasar Malam yang ini beda banget," Andin berkomentar. "Aku aja yang asalnya berpikiran sama dengan kamu, malah kesengsem dan berencana datang lagi tar malam."

Ha????? Datang lagi????? Gak salah?????

Aku hanya bisa diam. Tak ada satu katapun keluar dari bibirku. Kami bubar, dan langsung menuju ruang kuliah.
**

AKU makin sebal dengan Pasar Malam. Tidak Andin, Gita, Rina dan Resi yang membicarakannya. Bu Desy, dosen ekonomi juga sedikit bercerita tentang Pasar Malam. Ada apa ini? Sebegitu menarikkah Pasar Malam, sehingga semua sudut membicarakannya?

Aku semakin bosan dan pusing mengikuti kuliah Bu Desy. Meski dia merupakan dosen favoritku karena selalu enak diajak diskusi, hari ini malah mendiskusikan Pasar Malam.

"Bisa ganti topik lain gak sih?" tanyaku pada Andin.

"Apa? Kamu bilang apa?" bisiknya. "Aku gak denger."

"Bisa ganti topik diskusinyagak. Ya jangan Pasar Malam."

"Emang kenapa, asik juga lagi."

Dari mana asiknya?

Aku semakin bete saja dan berharap kuliah cepat selesai. Beruntung, 30 menit sebelum jam kuliah Bu Desy berakhir, topik diskusi pun diganti. Aku senang bukan kepalang, dan mengucap syukur pada Tuhan.
**

SELESAI kuliah, aku langsung bergegas menuju halte bis. Kebetulan, aku sudah punya janji dengan Mama. Aku diminta mengantarnya ke dokter, chek-up kesehatannya setelah empat bulan ini mengeluh sakit di perut. Belum diketahui pasti sakit apa yang diderita Mama, tapi diagnosa sementara Mama terkena asites. Aku sendiri tidak tahu, penyakit semacam apa itu. Mama hanya diminta chek-up rutin selama tujuh sampai sembilan bulan.

Tiba di halte bis, lagi-lagi aku harus menguping pembicaraan calon penumpang soal Pasar Malam. Mereka saling cerita satu sama lain, bahkan bikin janji untuk mengunjungi Pasar Malam nanti sore. Kenapa semuanya harus serba Pasar Malam? Magnetnay sungguh luar biasa bagi masyarakat desa.
*****
ida romlah
Bandung, 19 Maret 2009


Selasa, 17 Maret 2009

Pertemuan Singkat

CANTIK sekali. Itulah kesan pertamaku saat melihatnya. Walau hanya sekilas dan samar-samar karena tertutup kain transparan, aku masih bisa menilai kalau dia memang wanita yang cantik.

"Siapakah kamu, wahai gadis cantik?" aku beranikan bertanya.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipisnya. Dia hanya tersenyum, lalu membelakangiku dan pergi menjauh. Pergi setengah lari, dan meninggalkan wangi yang semerbak.

Aku masih termangu, dan terus menatap arah kepergiannya. Satu jam sudah dia menghilang dari pengilhatanku, tapi tak terasa. Seperti baru beberapa detik yang lalu saja. "Ah, andai aku tadi bertanya di mana rumahmu, tentu aku akan menyusulmu. Ingin rasanya aku selalu berada di dekatmu. Wajahmu, senyummu, wangimu, sungguh menggoda kalbuku," bisikku dalam hati.

**
KULIHAT jarum jam, masih menunjukkan pukul 01.00. Waktu yang cukup lama untuk bisa merasakan hangatnya matahari pagi. Padahal, aku ingin sekali merasakannya, setelah beberapa bulan terakhir ini --entah berapa bulan aku sendiri tdak hapal -- aku absen bangun pagi. Padahal dulu, ketika aku masih tinggal di desa, nenek selalu memaksaku bangun pagi. Katanya bangun pagi bisa mendekatkan kita pada rezeki. Tapi aku tidak percaya, toh rezeki sudah diatur Tuhan.

Ingat pesan nenek ketika itu, "Kamu harus terbiasa bangun pagi. Bagus loh, gampang rezeki," katanya.

"Masa sih, Nek?" aku tidak percaya.

"Ya kamu lihat saja, orang-orang itu sudah pada beraktivitas sedari pagi buta. Lihat, mereka bersemangat menyambut pagi, sebuah pertanda ada harapan baru. Beda dengan kamu yang malas bangun pagi, seperti tidak punya harapan saja. Pesimistis terkesannya," nenek panjang-lebar.

Nenek benar, aku memang pesimistis. Untuk masa depan saja aku pesimis. Apalagi setelah ibu pergi dan bapak yang tidak tahu entah berada di mana. Mungkin sedang bersenang-senang dengan istri mudanya, atau entahlah, toh aku sendiri sudah melupakannya. Hanya nenek yang senantiasa memberi semangat dalam hidupku. Tapi itu dulu. Kini nenek juga sudah menyusul ibu ke surga. Aku hanya seorang diri di muka bumi ini.

Jarum jam masih cukup lama untuk berada pada angka 06.00, tepat biasa aku membuka jendela selama di kampung. Entah apa yang tengah merasuki otakku, tiba-tiba aku merasa ingin sekali menghirup udara pagi sambil mearsakan hangatnya mentari. Mungkin karena selama ini, udara yang kuhirup sudah sangat kotor. Maklum di kota besar seperti Bandung ini, walau udaranya sejuk polusi tetap ada.

Ratusan kendaraan memadati setiap lintasan jalan raya setiap harinya. Sejak pagi, bahkan subuh sudah mulai terdengar suaranya. Kebetulan, kamar kosanku berada tak jauh dari jalan raya. Suara kendaraan sepanjang hari, bahkan sampai aku tidur pun masih terdengar.

"Masih terdengar?" Esty beratnya waktu aku bercerita bahwa meski tidur, aku masih bisa merasakan adanya suara. "Kamu aneh."

Terserahlah apa yang mau kamu komenari tentang aku. Beginilah aku adanya. Anak desa yang hidup sendiri dan berharap sukses di kota. Beda dengan kamu yang memang sudah terlahir dalam serba kelangkapan. Punya segalanya, bahkan kedua orang tuamu merupakan salah satu orang yang paling disegani di kota ini.

Tapi aku tidak mengerti, mengapa kamu masih saja mengejarku. Padahal sudah aku jelaskan, aku tidak pantas buat kamu. Kita hanya bisa berteman, tidak lebih.

"Aku tak peduli. Aku sangat mencintaimu. Kamulah laki-laki pertama yang benar-benar aku cintai," jawaban khasmu.

Tiba-tiba aku teringat Esty, si gadis berkulit putih yang selalu berpenampilan modis. Sudah lama juga kita tak bertemu. Hanya komunikasi lewat pesan singkat atau telepon yang masih terjalin.

Kuambil sebuah buku, tepatnya catatan harianku. Aku masih ingat, di salah satu lembar buku itu, kutaruh foto Esty. Aku tak berani lagi memajang foto gadis berambut panjang itu di frame.Ssemenjak keputusan itu, aku lebih memilih menyimpannya di dalam diari.

"Kenapa disimpan? Kamu sebenarnya suka kan sama dia?" Tony menggodaku.

"Aku memang suka, tapi tidak sebagai kekasih. Aku suka karena dia baik, cantik dan cerdas."

"Dia itu sempurna banget, apa sih yang kamu cari?"

"Aku tahu, tapi aku memang tidak punya ketertarikan padanya."

"Susah memang ngomong sama kamu. Aku gak ngerti jalan pikiranmu."

Mungkin bukan Tony saja yang tidak pernah mengerti jalan pikiranku. Banyak teman-teman sepekerjaan dan semasa kuliahku yang juga berlontar seperti itu. Aku memang aneh, lelaki paling aneh. Tidak tertarik sama Esty si gadis cantik itu, malah jatuh cinta pada gadis yang sama sekali tak dikenal asal-usulnya. Gadis yang beberapa jam lalu aku melihatnya. Mencium baunya. Aku langsung jatuh hati padanya.

**
"KAMU jatuh cinta pada bidadari?" sambil mengernyitkan dahinya, Tony bertanya penuh heran. "Kamu udah gila ya, Jhon? Mikir aja, masih adakah bidadari di zaman modern seperti sekarang ini? Kecuali Esty, dia memang benar-benar bidadari."

"Aku memang sudah jatuh cinta pada gadis itu. Aku juga tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Tanpa sengaja aku melihat seseorang berada di hadapanku. Dia gadis sangat cantik, dan aku merasa dia adalah belahan jiwaku. Meski aku hanya melihat beberapa detik dan tidak melontarkan kata-kata, tapi aku yakin dia hadir untukku."

"Kamu udah edan ya? Realistislah. Lupakan semua khayalanmu. Kalau perlu, tinggalkan kebiasaanmu menulis cerita fiksi."

Mungkin Tony memang benar, aku terlalu banyak berkhayal terutama ketika membuat tulisan fiksi. Aku selalu padukan alam imajinasiku dengan segala hal yang aku temui dalam dunia nyata. Tapi tadi malam, aku benar-benar bertemu dengan gadis itu, walau dalam pertemuan singkat.
***
Ida Romlah
Bandung, 17 Maret 2009

Senin, 16 Maret 2009

Kawan Lama

TIGA tahun sudah, aku tak bertemu lagi dengan dia, si kawan lamaku. Perbedaan kota tempat kami tinggal menjadi penyebabnya. Beda dengan dulu, ketika kami masih sekolah. Sejak SD sampai bangku kuliah kami memang selalu bersama, karena kami memang selalu memilih sekolah yang sama.

Tapi, setelah kami lulus dan masing-masing memperoleh pekerjaan, sama sekali aku belum pernah bertemu dengan dia lagi. Lebih parah, tiga bulan terakhir, komunikasi kami terputus. Entah apa yang terjadi pada kawan lamaku itu, HP gak bisa dihubungi, begitu juga dengan telepon rumah. Bahkan ketika beberapa kali aku kontak nomor rumahnya, yang menjawab penghuni baru.

"Maaf, kami masih baru di sini dan tidak tahu penghuni lama tinggal di mana," jelas sang peneriam telepon, ketika itu. Aku bingung, pergi kemana dia? Kenapa gak kasih kabar kalau mau pindah tempat tinggal.

"Atau jangan-jangan dia balik ke Jawa, Mas. Tapi belum nagsih tahu dulu karena pengen kasih surprise pada Mas," pendapat istriku.

Entahlah, apa yang tengah dilakukan atau dialami kawan lamaku itu. Yang jelas, aku selalu berharap dia dalam keadaan baik-baik saja. Tapi anehnya, kenapa tidak memberi kabar padaku? Bukannya kita kawan lama, yang sudah tahu seluk-beluk satu sama lainnya? Entahlah.

**
PAGI sekali aku sudah bangun. Padahal jika hari libur aku tidak pernah bangun sepagi ini. Kuambil segelas teh yang telah disediakan istriku. Dia menaruhnya di atas meja, tepat di samping televisi. Istriku memang sudah tahu kebiasaanku, bangun tidur ke kamar mandi, lalu menonton televisi. Ya, hitung-hitung sekedar pencerahan otak, menyerap informasi pagi lewat berita di layar kaca.

Klik! Kupencet remote control, dan televisi pun menyala. Kupilih salah satu channel favoritku, biasanya jam segini menghadirkan berita pagi. Tapi ternyata, ketika kulihat layar 29" itu, acara beriat pagi sedang terpotong iklan. Mengisi jeda iklan, kuminum lagi teh yang masih tersisa.

"Lama juga ya iklannya," kataku setengah berbisik.

"Ya mungkin acaranya baus, makanya banyak iklannya," istriku berkomentar.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Kulihat wajah ayunya, yang semakin terlihat ayu jika sedang memasak. Kebetulan pagi ini dia tengah menyiapkan sarapan pagi untukku.

"Kenapa sih, Mas? Ada yang aneh?" tanyanya sedikit geer. Dia tahu, jika sedari tadi aku memerhatikannya. "Jangan lihatin gitu dong ah," pintanya tapi aku malah tak menghiraukannya. Sebaliknya, aku semakin penasaran dan terus memelototi wajahnya yang semakin ayu saja.

Aku memang sangat beruntung, memperoleh istri secantik dia. Bukan saja wajahnya, tapi hatinya juga. Dia pandai mengurus rumah tangga, meskipun disibukkan dengan segudang pekerjaan di kantornya. Alhamdulillah, terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirim bidadari sebaik dan secantik dia ke pelukanku.

"Mas, Mas, coba lihat deh!"

Aku kaget setengah mati. Sedang asik melamun, tapi diganggu istriku.

"Lihat televisi, Mas!"

Aku langsung refleks memindahkan pandanganku pada layar kaca. Kulihat dan kudengar narasi pada berita itu. Seseorang ditemukan tewas di sebuah kamar dalam apartemen. Dia diduga meninggal karena dibunuh. Ditemukan darah berceceran di kamar tidurnya, dan luka beberapa tusukan di sekujur tubuhnya. Paling memilukan, lelaki yang menjadi korban pembunuhan itu adalah lelaki yang selama tiga tahun ini aku cari-cari.

"Masya Allah,,,, kenapa jadi kaya gini?" ucapku sambil meneteskan beberapa titik air mata.

"Kenapa, Mas? Ada apa?" istriku bertanya-tanya. "Mas mengenali korban? Siapa, Mas?" istriku langsung memeluk. Dia mengerti apa yang tengah aku rasakan saat ini. Kami pun berdoa bersama untuk lelaki korban pembunuhan itu.

**

KUSAMBANGI apartemen tempat kejadian pembunuhan itu. Aku hanya ingin memastikan kalau korban itu adalah kawan lamaku. Aku ingin melihatnya di hari terakhir ini. Tiga puluh menit kuhabiskan waktu perjalanan menuju apartemen itu. Tapi setelah tiba di sana, jenazah sudah tidak ada. Dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diautopsi. Kusambangi rumah sakit, tapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat jenazah langsung. Aku hanya bisa melihat jempol kakinya di balik jendeal kaca, dari luar ruang forensik.

Segerombol orang berbaju putih memasuki ruangan tempat kawan lamaku berada. Tiga detik kemudian, pintu tertutup, begitu juga jendela. Tak ada satu orang pun yang bisa melihatnya. Dan aku, hanya bisa menangisinya dari luar.

"Bapak pihak keluarga?" tiba-tiba seseorang menghampiriku, setelah empat jam aku duduk di ruang duka.
Aku tidak bisa menjawab, hanya gelengan kepala yang bisa kulakukan. Istriku yang merespon pertanyaan tersebut, "Kami sahabatnya," jawab istriku singkat.

"Ibu tahu keluarganya?"

"Saya kurang tahu. Kebetulan kami sudah lama berpisah dan tidak ada kontak lagi. Baru kali ini kami tahu kalau beliau sudah tiada."

"Lalu pihak keluarga ada di mana? Barangkali ibu tahu?"

"Saya tidak tahu. Tapi sebentar, barangkali suami saya mengetahuinya."

Istriku langsung berbisik padaku, dan bertanya di mana pihak keluarga korban. Aku langsung mendekati petugas rumah sakit itu. Kujelaskan semuanya padanya.

"Kasihan ya Pak, keluarganya tidak mengetahui hal ini," komentar petugas rumah sakit itu.

Sebagai kawan lama, beberapa nomor yang pernah kenal dengan korban kuhubungi. Tapi hasilnya nihil, mereka tidak mengetahui keberadaan keluarga korban. Memang, selepas lulus kuliah, kawan lamaku kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Dia pernah meninggalkan nomor rumah di Jawa Tengah, tapi satu tahun setelah itu ada kabar kalau mereka sekeluarga pindah ke Kalimantan.

Kawan lamaku kerja di salah satu perusahaan di Kalimantan, dan memboyong semua anggota keluarganya ke sana. Awal-awal kepindahan mereka, aku masih sempat berhubungan dan sering berkomunikasi, tapi tiga bulan terakhir semuanya terputus. Aku tak bisa lagi menghubunginya, dan terakhir hanya hari ini, di mana aku hanya bisa menyaksikan jasadnya terbujur di ruang jenazah.

Kawan lamaku, di hari terakhir ini aku hanya bisa mendoakan, semoga engkau mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin,,,

Bandung, 16 Maret 2009



Sabtu, 14 Maret 2009

Dengan UU KIP, Tiap Orang Jadi Wartawan

TIGA hari ke belakang, saya dan rekan wartawan lain di Jabar mengikuti workshop terkait UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik). Sungguh luar biasa, UU tersebut mewajibkan setiap informasi diumumkan secara terbuka kepada masyarakat. Tak ada lagi alasan bagi setiap lembaga publik untuk tidak mengumumkannya. Wajib.

Tidak itu saja, pengumuman informasi juga tidak harus menunggu diminta, sebagaimana yang berlangsung saat ini. Jika wartawan minta, baru lembaga publik itu memberitahukannya. Itu pun dalam waktu cukup lama, karena biasanya wartawan kerap diping-pong.

Setelah ada UU KIP, semua itu tidak akan terjadi lagi. Sebab, setiap lembaga publik wajib mengumumkan informasi secara berkala, serta merta bahkan harus menyediakannya setiap saat. Kecuali, untuk hal-hal tertentu yang masuk kategori pengecualian, seperti rahasai negara.

Dengan begitu, lembaga publik harus sudah menyiapkan diri. Paling tidak mereka membentuk lembaga (pejabat) tertentu yang bertugas menyediakan informasi dan dokumentasi (setara Humas). Sebab, UU KIP akan mulai diimplementasikan April tahun depan.