Minggu, 08 November 2009

Perempuan Kedua

Menjadi perempuan kedua bukanlah keinginanku. Apalagi dengan laki-laki yang tidak pernah aku cintai. Keadaan yang memaksaku berada pada posisi ini...

KAKA tidak henti-hentinya menangis. Dia menjadi rewel dari biasanya. Padahal jika waktu kerjaku tiba, malaikat kecilku ini akan dengan antengnya tidur pulas. Di atas ayunan kain yang sengaja aku pasang di ruang tengah.

"Mungkin dia masih ingin berada di pangkuan ibunya," Ratmi sahabatku berkomentar. Terlihat dari raut wajahnya, perempuan yang sudah bersahabat sejak sebelas tahun silam itu mengkhawatirkan keadaan Kaka.

"Mungkin tadi kamu tidak maksimal memberinya ASI," katanya lagi.

Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Ratmi. Meski dia belum memiliki anak dan berkeluarga, sudah sebegitu tahukah apa yang dialami sang bayi ketika dia sedikit rewel.

"Sepertinya tidak. Aku memperlakukan dia seperti biasanya," jawabku.

"Tidak bagaimana, wong dia nangis terus ah?" kata dia seolah lebih tahu dari pada aku yang tiada lain sang ibu bayi tersebut. Ibu yang telah mengandung, melahirkan dan membesarkan dalam situasi yang tidak wajar.

Ya, kondisiku memang tidak wajar. Mampu melawan norma yang berlaku di kampungku sendiri. Menerima pinangan laki-laki yang jelas-jelas telah memiliki istri. Tak heran semua tetangga mencaciku, menganggap aku sebagai perebut suami orang.

Apalagi setelah istri pertama laki-laki itu tahu. Dia mendatangi rumahku dan langsung melabrakku. Sejuta makian terucap dari bibirnya yang tidak pernah lepas dari gincu.

"Dasar perempuan tidak tahu malu. Seenaknya mengambil suami orang, apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu rebut selain suamiku?" makinya dengan nada tinggi.

Tamparan pun mendarat di pipi kiriku. Perih sekali, tapi hati ini jauh lebih perih. Aku tidak bisa lagi berkata apa-apa, hanya diam dengan kepala tertunduk.

Ingin kujelaskan semuanya pada perempuan yang belakangan kuketahui bernama Sinta itu. Namun semuanya terlambat. Perempuan itu sudah terlanjur amat sangat marah padaku, bahkan kepada seluruh keluargaku.

Sebutan keluarga miskin pun ikut terbawa dalam makian yang membuat heboh seluruh kampung itu. Buntutnya, orang-orang yang sedari dulu tidak suka pada keberadaan keluargaku pun ikut tambah membenci dan memaki.

"Dasar emang dari atasnya sudah begitu, ya ke bawahnya juga tidak jauh beda," ucap salah seorang tetanggaku. Kata-kata itu sangat jelas dan sampai saat ini masih terdengar jelas dan membekas.

Apa memang keluargaku ditakdirkan untuk menjadi perempuan kedua? Bahkan jika dirunut ke atas pun, ibu yang terkenal sebagai sinden di kampungku dan menjadi bintangnya sebuah kelompok seni jaipong ternama pimpinan Pak Wijaya, juga menjadi istri kedua lelaki terkaya di kampung ini sebelum istri pertamanya benar-benar diceraikan.

Kemudian nenekku juga begitu. "Dijual" kakek hanya karena soal hutang-piutang. Gara-gara kalah judi sabung ayam dengan Juragan Jaya, nenek terpaksa harus menjadi tumbalnya. Pelunas hutang-hutang kakek yang konon tidak mampu terbayar dengan rupiah, kecuali menyerahkan nenek yang pada zamannya memang menjadi kembang desa.

Nah aku sendiri, setelah Pak Wijaya yang tiada lain adalah ayah kandungku sendiri meninggal dunia. Seluruh saudara tiri dan keluarga sang konglomerat itu tidak menerima kenyataan. Perlahan-lahan mereka merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan aku dan ibuku. Dan usaha mereka pun berhasil. Kami diusir dari istana emas itu, dan kembali ke rumah nenek yang memang hidup pas-pasan sepeninggalan Juragan Jaya.

**

"Aku tidak mengambil suamimu. Dialah yang terus-terusan membujukku agar menerima lamarannya," aku meberanikan diri mendatangi kantornya. "Sumpah demi Tuhan, aku sama sekali tidak pernah mencintainya. Silahkan ambil kembali suami ibu, itu jauh lebih baik bagiku."

Namun tetap saja, perempuan berusia tiga puluhan itu tidak mau mendengar perkataanku. Malah amarahnya semakin menjadi, saat aku mencoba menjelaskan lebih panjang. "Keluar kamu dari ruangan saya! Jangan lagi menginjakkan kaki ke tempat ini! Aku benci melihatmu!" dengan mata memerah.

Aku melangkahkan kaki, meninggalkan kantor berlantai sepuluh itu. Tiba-tiba di pintu lobi, aku berpapasan dengan laki-laki itu.

"Ratih, kok kamu ada di sini?" tanyanya sedikit kaget.

"Iya, aku habis menemui istrimu, Mas," jawabku.

Dia semakin kaget dan terlihat mukanya memerah. Mungkin malu, atau mungkin juga takut. Takut aku telah merencanakan sesuatu bersama istri pertamanya. Ini bisa menjadi preseden buruk baginya.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menaikki taksi yang memang sengaja aku minta untuk menunggu. Kuminta sang sopir mengantarku menuju terminal. Aku harus kembali ke rumahku, di sebuah kampung di daerah utara Jawa barat.

"Sudah sampai, Mba. Silahkan!" kata sang sopir dengan sopan.

Sebelum aku turun, kubuka dompet dan kuambil satu lembar rupiah 50.000-an.

"Kembaliannya, Mba?" kata sia.

"Terimakasih, ambil saja untuk bapak," kataku. Aku langsung bergegas menuju bus yang akan membawaku ke kampung halaman. Bus tanpa AC dengan kursi yang penuh coretan tangan-tangan jahil. Kupilih deretan kiri, dan kursi ketiga dari depan.

Di sepanjang prjalanan menuju rumah, pikiranku melayang, membayangkan pertemuanku dengan perempuan itu. Masih teringat, matanya merah penuh amarah, begitu juga dengan wajahnya, merahnya seperti matanya.

Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi menerima kedatangan laki-laki itu. Seluruh hati dan rumahku telah tertutup untuknya. Lebih-lebih setelah aku tahu, jika dia berniat mengambil Kaka dariku. Dia sengaja ingin memisahkan ibu dan anak, hanya demi merangkai kebahagiaan dengan perempuan itu.

**

"Mereka sudah tujuh tahun menikah tapi belum memiliki anak juga. Karena itu, dia mencari gadis lain yang mampu memberinya keturunan," begitu kata ibu ketika membujukku untuk menerima pinangan laki-laki itu, setahun lalu.

"Tapi, Bu. Dia itu sudah beristri. Pantang bagi saya menerima lelaki yang telah menjalin ikatan dengan perempuan lain. Apa kata orang nantinya," aku berusaha menyadarkan ibuku.

"Tidak apa-apa, Neng. Toh mereka sudah sepakat. Kamu tidak akan mendapat apa-apa, malah banjir rezeki dankebahagiaan, karena laki-laki itu mampu menjamin seluruh keperluan hidup kamu."

"Tidak, Bu. Aku tidak mau. Lagian aku masih ingin bersekolah, sayang kalau tiba-tiba harus putus sekolah hanya demi laki-laki," aku terus menyadarkan ibu.

"La, gadis lain seusiamu juga banyak yang putus sekolah. Kalau sudah ada jodoh, untuk apa menunggu lama?" ibu masih bersikeras membujukku. "Apalagi dia berjanji akan segera menceraikan istri pertamanya yang mandul itu. Nanti hanya kamu satu-satunya yang akan menjadi permaisurinya."

Aku tahu, ibu akan sangat bangga jika aku menerima pinangan laki-laki itu. Sudah ganteng, kaya raya, pengusaha dari Jakarta pula. Laki-laki seperti itulah yang banyak didamba para gadis, terlebih para orang tua yang matre seperti ibu.

Aku juga paham mengapa ibu dengan semangat membujukku menerima pinangan laki-laki yang baru satu bulan aku kenal itu. Dia sudah sangat sakit hati dengan keadaan. Hidup dalam kemiskinan dan menjadi cemoohan orang-orang di kampungku, lebih-lebih keluarga Pak Wijaya.

Jika aku menerima pinangan laki-laki itu, dan menjadi istrinya, walau hanya istri kedua, tentu kehidupan kami akan berubah drastis. Tidak lagi miskin, dan ibu juga tidak harus menguras keringat mencari nafkah dari panggung ke panggung, dengan penghasilan yang tidak menentu. Apalagi ibu sudah tidak muda lagi, usianya sudah 45 tahun. Beruntung, masih ada satu grup jaipong yang mengajaknya manggung, hanya karena suara ibu yang memang masih bening di usia paruh baya itu.

"Akan saya pikirkan," tiba-tiba bibirku berucap seperti itu.

Sontak, ibu pun senang buka kepalang. Dia langsung mendekatku dan memeluk tubuhku yang memang sedari awal percakapan duduk berjauahn dengan dia.

"Kamu anak sholeh, Nak. Ibu yakin, kamu bakal nurut sama ibu," ucapnya.

Aku yang mendengar itu hanya mampu meneteskan air mata. Bukan air mata bahagia sebagaimana yang tengah dirasakan ibu, tapi aku sedih sekali. Mengapa impianku meraih bintang di langit harus gagal hanya karena keadaan?

**

Mengetahui aku bersedia diperistri, laki-laki itu semakin sering menemuiku. Kadang tanpa diduga, dia sengaja menjemputku dari sekolah. Toyota camry menjadi kendaraan yang biasa dipakainya saat bertemu denganku.

"Hai..." dia melambaikan tangannya ke arahku, ketika suatu hari menjemputku dari sekolah. Sebuah SMA di pinggiran kota kelahiranku, Subang Jawa Barat.

Aku yang tidak tahu jika dia akan menjemputku hanya kaget dan malu harus membatalkan janjiku pada teman-teman, pulang bersama naik elf. "Teman-teman, maaf ya, aku tidak bisa pulang dengan kalian," kataku meminta maaf.

Beruntung mereka bisa mengerti. Aku telah dijemput seseorang, seorang lelaki dari kota. Terlihat dari mobilnya yang mewah, juga pelat nomor yang berleter B, Jakarta.

Kami pun berpisah, dan laki-laki itu langsung mendekatiku. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkanku masuk. Sabuk pengaman langsung kupasang, tapi aku masih belum bisa trsenyum. Hanya diam, bahkan wajahku berubah menjadi cemberut.

Seolah mengetahui apa yang sedang aku rasakan. Laki-laki itu mencoba mencairkan suasana. "Enak ya bisa tinggal di desa, semua serba damai," katanya basa-basi. Aku yang sudah tahu akal-akalannya, hanya terdiam dan enggan berkomentar.

"Jakarta beda banget. Semua macet dan panas sekali. Orang saling tidak peduli," katanya lagi.

"Tapi kenapa ya kok banyak orang yang berlomba ke Jakarta?" aku mulai terpancing dan melebur dalam obrolan dia.

"Mungkin karena mereka menganggap Jakarta masih sangat menjanjikan. Seperyi mas ini contohnya."

"Memang kenapa? Mas juga tergiur pesona Jakarta ya?"

"Jelas. Dulu, mas juga dari desa. Karena punya impian dan cita-cita, akhirnya merantau ke Jakarta." Sepertinya laki-laki itu sangat senang jika diminta bercerita, apalagi menceritakan sejarah hidupnya.

Dia memang termasuk laki-laki ulet, sadar lahir dari keluarga yang serba pas-pasan di desa, dia berani merantau ke Jakarta dan mendirikan usaha. Kini, bisnisnya berkembang pesat, dan diapun sudah sering kali pulang-pergi luar negeri, sebuah kenyataan yang tidak pernah diimpikan sebelumnya.

Aku juga suka iri kepadanya. Aku punya mimpi yang sama seperti dia, menjadi gadis desa yang sukses di kota. Namun sepertinya impian itu harus aku kubur dalam-dalam. Aku tidak punya pilihan lain, selain menerima pinangan dia dan menikan dengan laki-laki yang usianya terpaut 15 tahun di atasku.

**

Pernikahan aku dengan laki-laki itu tergolong sangat meriah. Dirayakan selama tiga hari tiga malam, dengan hiburan wayang golek, jaipong dan pagelaran sinden. Tidak tanggung-tanggung, sepuluh sinden beken yang ada di seantero Jawa Barat sengaja diundang dan mereka satu panggung.

Kulihat wajah ibu begitu sumringah. Senyumnya tidak pernah lepas dari bibirnya yang selalu terlihat merah itu. Ucapan selamat dari para tetangga pun tidak henti-hentinya berdatangan. Mereka ikut bahagia, aku si anak semata wayang sinden jaipong itu mampu menggaet pengusaha muda asal Jakarta.

Kebahagiaan pun semakin sempurna saat para tetangga itu tahu jika laki-laki itu seorang duda. Dia telah menceraikan istrinya yang tidak pernah bisa memberinya keturunan.

"Ganteng banget ya, kaya lagi," kata mereka setengah berbisik saat malam perayaan ketiga.

"Kamu beruntung banget ya," kata yang lain.

Aku yang diberi pujian dan ucapan selamat itu hanya diam. Sama sekali tidak bahagia dengan keadaan ini. Menjadi istri dari laki-laki yang tidak pernah aku cintai, apalagi mimpiku meraih bintang di langit harus terkubur sia-sia.

Ternyata aku benar, perasaanku tidak pernah bisa berbohong. Lelaki itu bukanlah duda. Dia belum jua menceraikan istri pertamanya. Dan aku, hanya menjadi istri kedua.

Semua itu aku ketahui ketika seseorang mendatangi rumahku. Bukan perempuan, namun seorang lelaki yang mengaku bawahannya. Ketika datang, lelaki itu menanyakan banyak hal, teramsuk menanyaiku yang terlihat sedang berbadan dua.

"Iya, alhamdulillah, aku memang sedang hamil. Sekarang jalan bulan ketiga," jawabku seadanya.

Lelaki yang usianya di atas usia ibuku itu hanya mengangguk. Seolah dia yakin atas dugaan awalnya selama ini. Tidak lama, lelaki berambut plontos itu pun langsung pamit, menaiki altis silver berpelat Jakarta.

Tidak lama kemudian, tepatnya sekitar tiga minggu dari lelaki itu bertamu ke rumah. Seorang perempuan berbadan tinggi kecil melabrakku. Dia bertamu tanpa sopan santun, malah memakiku sebagai perempuan perebut suami orang.

Aku langsung beristigfar dan meminta laki-laki yang telah menikahiku lima bulan itu untuk segera menceraikanku. Namun dia bersikeras tidak mau melepasku. Jikapun iya, dia akan membawa anak hasil pernikahan kami ke tangannya. Dia akan membawanya ke Jakarta, dan membesarkannya bersama perempuan itu.

Sejak saat itulah, para tetanggaku yang sedari awal memang tidak pernah suka pada keluargaku, berubah langsung membenciku kembali. Pujian mereka kemarin, hanya sebuah jalan agar aku masih tetap mengakui mereka sebagai tetanggaku. Tidak seperti yang lain, jika sudah kaya, lupa pada orang-orang sekampung.

**

"Tu kan, badannya panas sekali. Dia sakit," kata Ratmi dengan wajah cemas.

Aku yang masih bekerja menyelesaikan satu kasur lantai di samping rumah, langsung kaget. Pantesan, tidak biasanya malaikat kecilku itu rewel. Dia anak yang penurut, dan tahu betul apa yang sedang dialami ibundanya.

"Rat, tolong bantu aku memanggil tukang ojek. Aku harus membawanya ke dokter, badannya benar-benar panas," aku semakin salah tingkah.

Ratmi pun berlalu meninggalkannku menuju rumah Mang Sarif, meminta tolong mengantarku ke dokter.

"Sayang, tenang ya, sebentar lagi kita ke dokter. Tante Ratmi sedang memanggil tukang ojeknya, kita akan berangkat. Sayang jangan nangis terus dong," aku berusaha menenangkan Kaka.

Cukup lama Ratmi pergi dari hadapanku, tapi dia belum kembali juga. Ada apa dengannya? Apakah sesuatu telah terjadi padanya? *****

Bandung, 8 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar