Kamis, 19 Maret 2009

Pasar Malam

TAK seperti biasanya, sahabatku kini jadi lebih senang bergosip. Apalagi kalau bukan Pasar Malam yang menjadi topik pembicaraan mereka. Aku bingung bukan kepalang, apa yang membuat keempat sahabatku senantiasa membicarakan pasar yang hanya buka di malam hari itu.

"Apa sih yang kalian bicarakan?" tanyaku pada mereka. Sudah bukan lagi hal aneh, pikirku. Pasar Malam sama sekali tidak akan menarik. Yang ada hanya sejumlah mainan anak-anak ditambah para pedagang. Mulai dari kebutuhan pangan sehari-hari (sembako), pakaian sampai asesoris wanita.

Biasanya anak-anak yang senang dengan Pasar Malam. Apalagi kalau bukan karena ingin jajan dan mencoba setipa permainan yang disodorkan penyelenggara. Meriah memang, tapi terkadang tempatnya tidak mendukung. Menempati lahan pekarangan seadanya, dengan tata letak kios yang sedikit semrawut, membuatku tak pernah lagi mengunjungi Pasar Malam.

Seingatku, terakhir menyambangi pasar musiman itu adalah saat aku mencari kaus kaki sekolah. Ketika itu aku tengah duduk di bangku kelas 6 SD dan dua pekan lagi akan segera Ujian Nasional (UN). Setelah itu, aku tak pernah dan tak ingin lagi menginjakkan kaki ke tempat tersebut. "Gengsi," begitu aku selalu menjawab ketika diajak salah seorang teman SD-ku, Farah, ketika itu.

Ya memang, aku gengsi banget untuk kembali ke pasar yang dimanfaatkan sebagian pemuda-pemudi di desaku untuk mencari jodoh. "Untuk apa sih, Ma?" aku bertanya pada Mama yang sibuk bersiap-siap pergi ke Pasar Malam. Dia mengajak serta aku untuk menemaninya, maklum adikku Tasya yang baru berusia 4 tahun meregek minta ke Pasar Malam.

"Sama Kak Tara aja ya...!!!" pinta Mama pada Tasya.

"Apaan sih Ma? Kok malah nyuruh ke aku. Mana mau Tasya jalan sama aku, dia kan lebih seneng diajak Mama biar bisa jajan lebih banyak," aku sewot.

Beruntung Tasya sendiri menolak tawaran Mama. Dia menggelengkan kepala saat Mama menawarkan aku untuk menemaninya.
**
HARI berikutnya, empat sahabatku masih saja membahas Pasar Malam. Andin yang bercerita kalau dia membeli sejumlah asesoris di Pasar Malam. Pertimbangannya, harga murah tapi tampilan asesorisnya menarik dan lucu. Bahkan tidak malu-malu, dia pakai asesoris berupa gelang-gelang unik untuk ke kampus, dan memperlihatkannya ke teman-teman yang lain.

"Bagus banget, Din. Beli di Pasar Malam ya? Di sebelah mana, kok aku gak nemu ya?" giliran Gita bertanya.

Disambut Rina dan Resi, mereka pun akhirnya membahas panjang lebar belanjaannya dari Pasar Malam.

"Kamu gak ke Pasar Malam, Ra?" Rina bertanya padaku.

Aku hanya menggeleng.

"Kenapa? Kamu kan seneng belanja. Dijamin pasti nemuin banyak barang deh di sana," sambung Resi.

"Aku gak tertarik dengan Pasar Malam. Apa anehnya. Paling barangnya standar dan malah kuno. Aku lebih milih tempat belanja biasa daripada harus ke Pasar Malam."

"Jangan salah, Ra. Pasar Malam yang ini beda banget," Andin berkomentar. "Aku aja yang asalnya berpikiran sama dengan kamu, malah kesengsem dan berencana datang lagi tar malam."

Ha????? Datang lagi????? Gak salah?????

Aku hanya bisa diam. Tak ada satu katapun keluar dari bibirku. Kami bubar, dan langsung menuju ruang kuliah.
**

AKU makin sebal dengan Pasar Malam. Tidak Andin, Gita, Rina dan Resi yang membicarakannya. Bu Desy, dosen ekonomi juga sedikit bercerita tentang Pasar Malam. Ada apa ini? Sebegitu menarikkah Pasar Malam, sehingga semua sudut membicarakannya?

Aku semakin bosan dan pusing mengikuti kuliah Bu Desy. Meski dia merupakan dosen favoritku karena selalu enak diajak diskusi, hari ini malah mendiskusikan Pasar Malam.

"Bisa ganti topik lain gak sih?" tanyaku pada Andin.

"Apa? Kamu bilang apa?" bisiknya. "Aku gak denger."

"Bisa ganti topik diskusinyagak. Ya jangan Pasar Malam."

"Emang kenapa, asik juga lagi."

Dari mana asiknya?

Aku semakin bete saja dan berharap kuliah cepat selesai. Beruntung, 30 menit sebelum jam kuliah Bu Desy berakhir, topik diskusi pun diganti. Aku senang bukan kepalang, dan mengucap syukur pada Tuhan.
**

SELESAI kuliah, aku langsung bergegas menuju halte bis. Kebetulan, aku sudah punya janji dengan Mama. Aku diminta mengantarnya ke dokter, chek-up kesehatannya setelah empat bulan ini mengeluh sakit di perut. Belum diketahui pasti sakit apa yang diderita Mama, tapi diagnosa sementara Mama terkena asites. Aku sendiri tidak tahu, penyakit semacam apa itu. Mama hanya diminta chek-up rutin selama tujuh sampai sembilan bulan.

Tiba di halte bis, lagi-lagi aku harus menguping pembicaraan calon penumpang soal Pasar Malam. Mereka saling cerita satu sama lain, bahkan bikin janji untuk mengunjungi Pasar Malam nanti sore. Kenapa semuanya harus serba Pasar Malam? Magnetnay sungguh luar biasa bagi masyarakat desa.
*****
ida romlah
Bandung, 19 Maret 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar