Jumat, 20 Maret 2009

Jangan Kau Tanyakan Itu, Plis!


HAMPIR sepuluh bulan sudah kujalani hidup bersamanya, bersama pria yang pada Nopember lalu resmi menjadi suamiku. Ihsan namanya, nama yang punya arti "kebaikan". Nama itu pula yang mencerminkan sikapnya, perilakunya, dan kebiasaannya. Tidak hanya padaku dan keluargaku, tapi pada semua orang yang pernah bertemu dengannya.

Sepuluh bulan itu pula kami hidup di sebuah desa yang jauh dari aktivitas perkotaan. Desa yang masiha sri dengan nuansa alamnya yang begitu indah. Terhampar sawah nun menguning jika menjelang musim panen, dan menghijau di kala baru ditanam. Di desa itu pula aku banyak belajar menghargai hidup ini, terlebih menghargai Mas Ihsan sebagai suamiku.

"Kamu yakin, akan menerimaku sebagai kepala rumah tangga, kelak?" tanya Mas Ihsan di detik-detik pernikahan kami.

"Insya Allah, dengan sepenuh hati aku akan menerimamu. Sebaliknya, Mas juga harus siap menerimaku apa adanya," jawabku sedikit meminta sesuatu padanya.

Dia yang lembut dan kalem hanya bisa menganggukkan kepala, pertanda setuju dan siap membina rumah tangga bersamaku. "Tapi,,,, apa kamu siap ikut denganku ke daerah tempat aku kerja?" tanyanya sedikit penasaran. Maklum saja jika Mas Ihsan mengajukan pertanyaan seperti itu, karena sudah bukan lagi rahasia, aku termasuk tipe gadis yang manja, tidak bisa jauh dari orang tua. Yang lebih parah lagi, aku tidak becus mengerjakan pekerjaan rumah. Memasak, mencuci, membrsihkan rumah, aku paling malas.

Dengan sedikit gugup dan penuh haru aku menjawab lembut, "Insya Allah, ke manapun Mas pergi, aku pasti akan menyertaimu."

Benar saja, dua hari setelah kami resmi menjadi suami-istri, dia langsung membawaku ke sebuah daerah di wilayah Selatan Jawa Barat. Dengan menaiki Civic merah marun warisan dari almarhum Pak Ahmad, ayahnya Mas Ihsan yang kini menjadi mertuaku, kami melalui perjalanan cukup panjang dan melelahkan untuk bisa sampai ke tempat tujuan. Entahlah apa nama desanya, yang pasti untuk bisa sampai di kota kecamatan saja, warga di saba harus menaiki dua mobil umum ditambah ojek sepeda motor.

Di sana, kami tinggal di rumah dinas. Sebuah rumah sangat sederhana berdindingkan bilik (anyaman dari bambu, pen.) namun terlihat asri dan sejuk. Rumah tersebut dikelilingi tanaman bunga serta buah-buahan. Persis di belakang dapur, terdapat sebuah balong berukuran 4X3 meter. Menurut Mas Ihsan balong tersebut berisi ikan mas dan nila yang besar-besar. "Cukup untuk kebutuhan lauk-pauk kita sehari-hari," ucapnya ketika aku pertama menginjakkan kaki di rumah bilik itu.
**

"SAYANG, kenapa kamu menerimaku sebagai suamimu?" sebuah pertanyaan terlontar dari mulut Mas Ihsan di suatu malam. Saat itu di kampung kami tengah dilanda musim hujan, tidak kenla waktu, padi, siang, dan malam pasti turun hujan. Aku sendiri tidak tahu harus menjawabnya dengan cara apa lagi. Bagiku pertanyaan itu sangat sulit aku jawab, persis sesulit ketika dia bertanya mengapa aku mencintainya dan mengapa aku bersedia dilamarnya.

"Aku gak tahu, Mas," jawabku tenang.

Dia yang mendengar jawabanku hanya termenung.

Seandainya aku boleh memohon sesuatu padamu, aku akan memintamu untuk tidak melontarkan pertanyaan seperti itu lagi. Aku bingung mesti menjawab apa, yang jelas aku tidak akan pernah menyesal menjadi istrimu. Sebaliknya, aku bahagia memiliki suami sebaik kamu, Mas.

Lagi-lagi, pertanyaan semacam itu kembali keluar dari bibirnya. Kali ini sama persis, "Mengapa kamu menerimaku sebagai suamimu?" tanyanya kepadaku. Aku yang tidak akna pernah bisa menjawabnya hanya berusaha menghindari tema obrolan itu. Aku alihkan ke tema lain, kebetulan besok ada rapat penting di kantor Mas Ihsan, sehingga dia harus pergi lebih pagi dan pulang malam. Untuk menjaga kondisi badanya, aku siapkan semua keperluan, mulai dari P3K sampai bekal makanan dan minuman. Makllum, Mas Ihsan tidak pernah mau makan atau minum dari luar. Dia harus tahu asal-usul makanan dan minuman tersebut.

"Jangan sembarangan. Kira ridak pernah tahu kondisi makanan dan minuman itu seperti apa, kecuali jika kita sendiri yang bikin," terangnya.
**

HARI ini tepat ulang tahun Mas Ihsan. Aku berencana memberi kejutan padanya. Aku tahu makanan kesukaan dia, aku pun sedari pagi minta Mang Ade untuk mengantarku ke pasar guna membeli semua keperluan memasak. Maklum, belanjaanku cukup banyak, karena aku juga berencana mengadakan syukuran dengan semua tetangga ditambah anak yatim-piatu di panti yang terletak di kampung tetangga.

"Neng, kita pergi sekarang?" tanya Mang Ade dari balik pintu belakang.

"Iya, Mang. Tunggu sebentar, saya ambil kantong besar dulu," pintaku padanya.

Kami pun bergegas meninggalkan kampung menuju pasar yang letaknya lumayan jauh, sekitar 45 kilometer dari rumah. Honda Astrea yang sudah usang pun kami naikki berdua, ditambah barang belanjaan nanti dari pasar.

"Kira-kira kita nanti gak mogok kan, Mang?" tanyaku was-was.

"Neng tenang aja, dijamin. Ini motor meski sudah butut tapi masih kuat. Bayangin aja, setiap hari bolak-balik pasar ngojekin tukang warung," cerita Mang Ade yakin.

Akupun ikut yakin, Mang Ade sudah punya pengalaman cuikup. Sehingga kekhawatiranku akan mogok di tengah jalan sedikit demi sedikit pupus.

Semua belanjaan sudah didapat, tiga jam sudah waktu aku habiskan untuk berbelanja di pasar, dan sekarang aku sudah tiba di rumah. Bi Yati, istri Mang Ade pun ikut membantuku memasak semua keperluan syukuran nanti malam. Tidak lupa Eneng, Dede dan Ujang juga ikut nimbrung di rumahku. Mereka dalah putra-putri Mang Ade yang masih kecil-kecil. Terbersit dalam benakku pun soal momongan. "Kapan aku bisa jadi ibu yang sempurna?" tanyaku dalam batin. Sampai sepuluh bulan pernikahan ini aku belum juga diberi momongan.
**

MAKANAN sudah siap, semuanya tersusun rapi dalam kemasan. Jarum jam menunjukkan pukul 17.10, akupun sudah rapi berpakaian serba putih. Tepat ba'da Magrib nanti acara dimulai, dan Mang Ade pun sudah mengundang semua tetangga untuk hadir di rumahku. Tak ketinggalan, anak-anak panri asuhan juga turut diundang. Namun kenapa Mas Ihsan belum juga pulang ke rumah ya? Apakah dia masih sibuk di kantor? Padahal, dia tahu kalau di rumahnya akan ada acara.

"Assalamu'alaikum,,, bisa bicara dengan Mas ihsan?" tanyaku di balik telepon. Aku khawatir sesuatu terjadi karena sebentar lagi acara dimulai tapi Mas Ihsan belum juga tiba di rumah.

"Maaf, Pak Ihsan sudah dari jam 3 sore pulang. Dia sengaja minta pulang lebih cepat karena katanya ada acara di rumahnya. Ini Bu Ihsan ya?" tanya bapak-bapak yang mengangkat telepon di kantor.

"Mkasih kalau begitu, mungkin dia lagi di jalan. Assalamu'alaikum," ucapku menutup perbincangan.

Adzan Magrib sudah berkumandang, tapi Mas Ihsan belum tiba juga. Aku semakin cemas, ada apa dengannya? Aku sendiri bingung, mau nelepon, nelepon ke mana, toh HP hanya bisa dipakai di kota saja, di jalan tidak ada sinyal. Sedari tadi pun aku hubungi nomor HP Mas Ihsan tapi selalu veronica yang menjawab.

"Ya Allah selamatkanlah suamiku," pintaku dalam do'a saat shalat Magrib.

"Neng, si Aa-nya belum pulang juga?" tanya Bi Yati dengan logat Sunda.

"Belum, Bi. Entahlah, saya jadi cemas," jawabku.

"Tunggu saja yang sabar, barangkali sebentar lagi," Bi Yati berusaha menghiburku.

Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, dampir semua undangan sudah menduduki rumahku, termasuk para anak panri. Tapi kenapa Mas Ihsan belum datang juga?

"Bapak-bapak, mohon kesabarannya. Acara belum bisa kita muali karena Pak Ihsan belum juga sampai di rumah. Kita tunggu sebentar ya," pinta Pak Rahmat, sang tokoh di kampung kami.

Terdengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah. Aku langsung refleks ingin melihat siapa yang datang. "Pasti Mas Ihsan," bisikku pada Bi Yati. Akulangsung keluar rumah melalui pintu samping. Benar saja,seseorang berbadan tinggi, tegap dan berkemeja rapi datang menghampiriku.

"Maafkan Mas, sayang. Tadi ada sedikit gangguan di jalan," katanya sambil memelukku erat. Akupun langsung menyiapkan air hangat untuk dia mandi, dan baju koko putih favoritnya. Peci tidak ketinggalan, dan dia langsung masuk ke dalam kumpulan undangan. Acara pun baru bisa dimulai.
**

"APAKAH kamu mencintaiku? Sehingga mau bersabar menghadapi pria seperti aku," sebuah kertas tertata rapi di meja rias. Aku tidak tahu kapan Mas Ihsan menulisnya, lalu meletakkannya di meja riasku. Padahal semalam kami tidur berasama, dan tadi pagi pun kami sarapan bersama. Ada apa dengan Mas Ihsan, kenap akhir-akhir ini sedikit berbeda.

Aku takut semua sikapnya ada kaitan dengan hasil periksa dokter kandungan tempo hari. Hasil pemeriksaan itu memang sungguh menyakitkan, terutama hati Mas Ihsan yang sejak lama mendambakan buah hati. Namun keinginan tersebut harus dia buangjauh-jauh pasalnya, dokter memvonis jaka kami tidak akan punya anak. Penyebabnya ada pada Mas Ihsan, dan itu pula yang membuat dia sangat terpukul.

"Mas, apapun dirimu, bagaimanapun kamu, aku tetap akan mencintaimu. Sampai kapanpun, akan kuhabiskan sisa umurku hanya bersamamu. Kita jalani hidup bersama dengan kebahagiaan. Rasa cinta dan sayangku tidak akan berubah sedikitpun, Mas," tulisanku dalam diary. Aku memang punya hobi menulis, dan semua perjalanan hidupku kutuangkan dalam sebuah diary.

"Mengapa kamu mencintaiku?" suara seseorang mampir di telingaku. Kubalikkan badan, dan kulihat ternyata Mas Ihsan ada di belakangku. Dia melihat aku menulis, dia tahu semua isi diaryku, dan dia pun tahu curhatanku di setiap sepertiga malam.

"Mas, jangan pernah kau tanyakan itu padaku. Aku tak tahu harus menjawabnya seperti apa," suaraku lirih.

Kuberanjak dari tempat duduk lalu merangkul Mas Ihsan dengan penuh kasih sayang. Aku ingin semangat hidupnya kembali seperti dulu. Anak bukanlah syarat tumbuhnya sebuah kebahagiaan dalam keluarga. Justru rumah tangga yang berlandaskan agamalah yang akan meraih kebahagiaan.

"Aku sayang Mas, saampai kapanpun," bisikku di telinganya.

"Makasih sayang, makasih banyak. Aku gak tahu mesti berucap apa pada Allah, aku telah dikaruniai istri sholeha sepertimu," katanya padaku.
*****

Subang, 22 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar