Senin, 16 Maret 2009

Kawan Lama

TIGA tahun sudah, aku tak bertemu lagi dengan dia, si kawan lamaku. Perbedaan kota tempat kami tinggal menjadi penyebabnya. Beda dengan dulu, ketika kami masih sekolah. Sejak SD sampai bangku kuliah kami memang selalu bersama, karena kami memang selalu memilih sekolah yang sama.

Tapi, setelah kami lulus dan masing-masing memperoleh pekerjaan, sama sekali aku belum pernah bertemu dengan dia lagi. Lebih parah, tiga bulan terakhir, komunikasi kami terputus. Entah apa yang terjadi pada kawan lamaku itu, HP gak bisa dihubungi, begitu juga dengan telepon rumah. Bahkan ketika beberapa kali aku kontak nomor rumahnya, yang menjawab penghuni baru.

"Maaf, kami masih baru di sini dan tidak tahu penghuni lama tinggal di mana," jelas sang peneriam telepon, ketika itu. Aku bingung, pergi kemana dia? Kenapa gak kasih kabar kalau mau pindah tempat tinggal.

"Atau jangan-jangan dia balik ke Jawa, Mas. Tapi belum nagsih tahu dulu karena pengen kasih surprise pada Mas," pendapat istriku.

Entahlah, apa yang tengah dilakukan atau dialami kawan lamaku itu. Yang jelas, aku selalu berharap dia dalam keadaan baik-baik saja. Tapi anehnya, kenapa tidak memberi kabar padaku? Bukannya kita kawan lama, yang sudah tahu seluk-beluk satu sama lainnya? Entahlah.

**
PAGI sekali aku sudah bangun. Padahal jika hari libur aku tidak pernah bangun sepagi ini. Kuambil segelas teh yang telah disediakan istriku. Dia menaruhnya di atas meja, tepat di samping televisi. Istriku memang sudah tahu kebiasaanku, bangun tidur ke kamar mandi, lalu menonton televisi. Ya, hitung-hitung sekedar pencerahan otak, menyerap informasi pagi lewat berita di layar kaca.

Klik! Kupencet remote control, dan televisi pun menyala. Kupilih salah satu channel favoritku, biasanya jam segini menghadirkan berita pagi. Tapi ternyata, ketika kulihat layar 29" itu, acara beriat pagi sedang terpotong iklan. Mengisi jeda iklan, kuminum lagi teh yang masih tersisa.

"Lama juga ya iklannya," kataku setengah berbisik.

"Ya mungkin acaranya baus, makanya banyak iklannya," istriku berkomentar.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Kulihat wajah ayunya, yang semakin terlihat ayu jika sedang memasak. Kebetulan pagi ini dia tengah menyiapkan sarapan pagi untukku.

"Kenapa sih, Mas? Ada yang aneh?" tanyanya sedikit geer. Dia tahu, jika sedari tadi aku memerhatikannya. "Jangan lihatin gitu dong ah," pintanya tapi aku malah tak menghiraukannya. Sebaliknya, aku semakin penasaran dan terus memelototi wajahnya yang semakin ayu saja.

Aku memang sangat beruntung, memperoleh istri secantik dia. Bukan saja wajahnya, tapi hatinya juga. Dia pandai mengurus rumah tangga, meskipun disibukkan dengan segudang pekerjaan di kantornya. Alhamdulillah, terimakasih Tuhan, Engkau telah mengirim bidadari sebaik dan secantik dia ke pelukanku.

"Mas, Mas, coba lihat deh!"

Aku kaget setengah mati. Sedang asik melamun, tapi diganggu istriku.

"Lihat televisi, Mas!"

Aku langsung refleks memindahkan pandanganku pada layar kaca. Kulihat dan kudengar narasi pada berita itu. Seseorang ditemukan tewas di sebuah kamar dalam apartemen. Dia diduga meninggal karena dibunuh. Ditemukan darah berceceran di kamar tidurnya, dan luka beberapa tusukan di sekujur tubuhnya. Paling memilukan, lelaki yang menjadi korban pembunuhan itu adalah lelaki yang selama tiga tahun ini aku cari-cari.

"Masya Allah,,,, kenapa jadi kaya gini?" ucapku sambil meneteskan beberapa titik air mata.

"Kenapa, Mas? Ada apa?" istriku bertanya-tanya. "Mas mengenali korban? Siapa, Mas?" istriku langsung memeluk. Dia mengerti apa yang tengah aku rasakan saat ini. Kami pun berdoa bersama untuk lelaki korban pembunuhan itu.

**

KUSAMBANGI apartemen tempat kejadian pembunuhan itu. Aku hanya ingin memastikan kalau korban itu adalah kawan lamaku. Aku ingin melihatnya di hari terakhir ini. Tiga puluh menit kuhabiskan waktu perjalanan menuju apartemen itu. Tapi setelah tiba di sana, jenazah sudah tidak ada. Dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diautopsi. Kusambangi rumah sakit, tapi lagi-lagi aku tidak bisa melihat jenazah langsung. Aku hanya bisa melihat jempol kakinya di balik jendeal kaca, dari luar ruang forensik.

Segerombol orang berbaju putih memasuki ruangan tempat kawan lamaku berada. Tiga detik kemudian, pintu tertutup, begitu juga jendela. Tak ada satu orang pun yang bisa melihatnya. Dan aku, hanya bisa menangisinya dari luar.

"Bapak pihak keluarga?" tiba-tiba seseorang menghampiriku, setelah empat jam aku duduk di ruang duka.
Aku tidak bisa menjawab, hanya gelengan kepala yang bisa kulakukan. Istriku yang merespon pertanyaan tersebut, "Kami sahabatnya," jawab istriku singkat.

"Ibu tahu keluarganya?"

"Saya kurang tahu. Kebetulan kami sudah lama berpisah dan tidak ada kontak lagi. Baru kali ini kami tahu kalau beliau sudah tiada."

"Lalu pihak keluarga ada di mana? Barangkali ibu tahu?"

"Saya tidak tahu. Tapi sebentar, barangkali suami saya mengetahuinya."

Istriku langsung berbisik padaku, dan bertanya di mana pihak keluarga korban. Aku langsung mendekati petugas rumah sakit itu. Kujelaskan semuanya padanya.

"Kasihan ya Pak, keluarganya tidak mengetahui hal ini," komentar petugas rumah sakit itu.

Sebagai kawan lama, beberapa nomor yang pernah kenal dengan korban kuhubungi. Tapi hasilnya nihil, mereka tidak mengetahui keberadaan keluarga korban. Memang, selepas lulus kuliah, kawan lamaku kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Dia pernah meninggalkan nomor rumah di Jawa Tengah, tapi satu tahun setelah itu ada kabar kalau mereka sekeluarga pindah ke Kalimantan.

Kawan lamaku kerja di salah satu perusahaan di Kalimantan, dan memboyong semua anggota keluarganya ke sana. Awal-awal kepindahan mereka, aku masih sempat berhubungan dan sering berkomunikasi, tapi tiga bulan terakhir semuanya terputus. Aku tak bisa lagi menghubunginya, dan terakhir hanya hari ini, di mana aku hanya bisa menyaksikan jasadnya terbujur di ruang jenazah.

Kawan lamaku, di hari terakhir ini aku hanya bisa mendoakan, semoga engkau mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin,,,

Bandung, 16 Maret 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar