Jumat, 20 Maret 2009

dr Marissa

LAILA mengelus lembut kepala Marissa yang ditutupi jilbab krem dari sutra. Ia dapat merasakan kegalauan yang dialami sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya.

"Kamu harus senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi di dunia ini, Sa!" ujarnya penuh ketulusan.

Mata Marissa memandang lurus ke depan, hampa dan sarat pilu.

"Tapi, mengapa semuanya terjadi begitu cepat? Satu persatu milik saya yang paling berharga pergi. Mas Kreshna pergi secara tiba-tiba dan mengenaskan, meninggalkan saya yang saat itu tengah mengandung… Padahal, ia suami yang baik. Saya masih ingat janjinya, akan mengajak saya berziarah ke tanah suci, sambil menunggu kelahiran putri kami yang bungsu. Kini belahan hati kami pun pergi menyusulnya dengan begitu cepat. Kamal tertabrak secara mengenaskan oleh orang yang tidak bertanggung jawab," Marissa menangis tersedu.

Lihatlah dari sisi positifnya, Sa. Aku yakin, semua kejadian ini pasti mengandung hikmah," Laila berusaha menasehati.

Marissa terdiam sementara pikirannya mengembara ke masa lalu.

"Kamu tidak sendiri, Sa. Masih ada Keyla, putri bungsumu yang sedang lucu-lucunya. Dia butuh perhatian kamu. Terus kamu juga masih punya Ibu, Bapak dan adek-adek kamu di Kampung. Mereka sangat sayang sama kamu. Dan aku, aku akan selalu ada buat kamu, Sa. Masihkah itu semua belum cukup untuk membuatmu dapat mensyukuri nikmat Tuhan?" Laila menambah pikiran Marissa semakin kencang berpacu.

Apakah saya harus menerima tawaran Ibu, Bapak dan adek-adekku pindah ke kampung agar semua kejadian ini dapat terlupakan?" akhirnya Marissa berkata.

Laila menghela napas. "Keputusan ada di tangan kamu, Sa. Namun kamu jangan gegabah dalam mengambil keputusan itu. Keluarga kamu di Kampung memang sangat teramat saya ng sama kamu, namun alangkah lebih baiknya kamu istikharah dulu. Minta petunjuk yang baik pada-Nya."

Jawaban Laila masuk akal, karena walau bagaimanapun, Marissa masih terikat pekerjaan di kota tersebut. Jika dia jadi pindah ke kampung kelahirannya di Purwakarta, dia harus direpotkan dengan mengurus kepindahan kerjanya, yang nota bene seorang pegawai negeri.

Hanya ada anggukan kepala Marissa sebagai jawaban atas tuturan yang diucapkan Laila.

**

"Sa, kamu sudah masuk kerja? Alhamdulillah, akhirnya…." dengan nada penuh kebahagiaan, Laila mendekati Marissa yang baru saja tiba di puskesmas.

"Aku sudah pikirkan matang. Dan, inilah jawaban atas semua doaku pada-Nya," Marissa menuturkan alasannya kembali masuk kerja. Dia pun segera memasukki ruang kerjanya.

Tidak hanya Laila, kawan-kawan di puskesmas tempatnya bekerja pun merasa senang dengan kehadiran Marissa. Bagaimana tidak, Marissa dikenal sebagai dokter teladan yang sangat baik hati terhadap sesama. Dan, peristiwa memilukan itu sangat dikhawatirkan rekan-rekannya akan membuat dokter cantik itu berlarut-larut dalam kesedihan. Tapi itulah Marissa, ia perempuan tangguh, semangat hidupnya masih tinggi, sehingga ia tetap beraktivitas seperti biasanya meski musibah yang memilukan menimpanya.

"Sa, aku bangga sama kamu. Dan inilah diri kamu yang sebenarnya," ungkap Laila pada saat makan siang.

***

Subang, 9 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar