Jumat, 20 Maret 2009

Pesan Ibu

SAYANGILAH orang yang telah menyayangi kamu, melebihi kasih sayang yang telah diberikannya…….

DEMIKIAN pesan ibu sepanjang kebersamaannya denganku. Aku mulai ingat bagaimana ketika aku masih balita dulu, kira-kira usia 4 tahunan, aku selalu diminta ibu untuk senantiasa menyayangi orang-orang di sekelilingku. Tidak hanya itu, aku pun kerap dinasehati agar selalu menghormati mereka. Siapaun itu.

“Bilang apa, Sayang? Makacih,,,,” pesan ibu tiap kali aku mendapat hadiah atau sesuatu benda dari orang lain. Pesan itu pertanda sebuah rasa penghormatan terhadap si pemberi.

Meski sederhana, ibu tetap selalu mengingatkanku. Bahkan sampai aku besar. Ingat betul, ketika Tante Liza — adik kandung Ayah tiba dari Jakarta. Beliau bersama keluarganya hendak merayakan Idul Fitri di kampung. Kampung kelahirannya sekaligus tempat tinggal aku bersama Ibu dan Ayah.

Ketika itu, Tante Liza memberiku sebuah mukena atau rukuh. Sangat cantik, dan masih baru tentunya. Tidak hanya itu, rukuh tersebut terlihat sangat mahal. Aku yang ketika itu berusia 17 tahun, atau tengah mempersiapkan UN SMA, lagi-lagi diingatkan Ibu untuk berucap terimakasih atas hadiah rukuh dari Tante Liza itu.

“Bilang makasih sama tantemu itu. Dia dah baik banget beliin kamu hadiah,” ucap ibu yang langsung aku turuti. Tante Liza pun tersenyum.

**

TERAKHIR pesan Ibu agar aku pandai berterimakasih dan menghormati orang lain, adalah saat Beliau menghembuskan nafas terakhirnya.

“Hormatilah Tante Yus. Beliau pengganti Ibu, karena Ibu tidak bisa menemanimu sampai hari tua,” pesan Ibu ketika itu. Tak lama dari itu, jasad Ibu pun tak bernyawa lagi. Aku menangis sebesar-besarnya. Sedih, itulah yang aku rasakan ketika itu. Aku merasa sangat kehilangan, karena selama ini aku memang sangat dekat dengan Beliau.

Dengan Ayah? Aku tak begitu dekat. Kami hanya kerap ngobrol seperlunya saja, bahkan bertatap muka pun jarang. Sepulang sekolah, aku kursus sampai sore. Setelah itu mengaji ke Langgar, dan kembali ke rumah sekitar pukul 20.00. Sepulang ke rumah, aku makan malam dan langsung belajar. Setelah itu tidur.

Pada jam-jam tersebut Bapak biasanya belum pulang, dia masih di kantor. Dan, baru pulang di saat aku sudah tidur. Paginya, aku juga hanya bertemu di meja makan saja. Selebihnya, tidak ada waktu lagi kecuali hari libur. Tapi, lagi-lagi hari libur selalu aku gunakan untuk jalan bareng teman-teman.

Biasanya kami, anak-anak (atau lebih tepatnya gadis-gadis desa) biasa jalan ke tempat keramaian. Kami biasa ke kota, berbelanja atau sekedar cuci mata, menghilangkan penat selama sepekan. Wajar jika aku sangat dekat dengan Ibu karena Beliau benar-benar ibu rumah tangga, yang kesehariannya mengurusi rumah.

Ketika Ibu dipanggil Sang Maha Kuasa, aku seperti kehilangan setengah hidupku. Aku mulai berpikir bagaimana aku ke depannya? Hidup bersama Ayah membuatku semakin sedih. Apalagi aku tahu kalau Ayah punya istri muda, yaitu Tante Yus.

“Aku benci Ayah, aku benci Tante Yus,” teriakku dalam hati. Kebencianku pada mereka teramat sangat, sehingga bagaimana aku bisa menghormati dan menyayangi mereka sebagaimana dipesankan Ibu?

Aku hanya bisa menangis dan bertanya pada Tuhan kenapa memanggil Ibu dalam waktu sedekat ini? Aku merasa dunia ini tidak adil untukku.

Tante Liza yang berbaik hati padaku. Beliau terus-terusan menenangkanku, dengan memberi nasehat seputar keikhlasan. Untuk menenangkanku, Beliau juga menawarkanku untuk tinggal bersama keluarganya di Ibu Kota. Tapi tentu seizin Ayah dan istri mudanya.

Aku sedikit terhibur, tapi apakah mungkin Ayah akan mengizinkanku tinggal bersama Tante Liza. Yang ada dia akan memboyongku ke rumah istri mudanya. Hidup bersama anak mereka hasil pernikahannya, yang disaksikan Ibu. Aku jadi bimbang tapi tetap berharap dapat izin Ayah.

**

KUANTARKAN jasad Ibu sampai ke liang lahat. Sebelum ditutupi tanah merah, aku masih bisa melihat wajah Ibu. Beliau sungguh cantik. Wajahnya tampak bercahaya dan terlihat senyum tersungging di bibirnya.

Ibu memang wanita sholeha. Beliau orang yang patut dicontoh oleh banyak wanita lain di negeri ini. Keikhlasan yang dimiliki Beliau yang paling patut untuk diteladani, teruatam olehku yang sampai seusia ini masih belum bisa ikhlas.

Puncak keikhlasan Ibu terjadi saat Ayah meminta izin untuk menikah lagi. Dengan ihlasnya, Ibu mengizinkan bahkan menjadi saksi pernikahan Ayah dengan Tante Yus. Aku sendiri tak bisa hadir dalam acara tersebut. Bukan karena sibuk dengan segudang kegiatan, tapi hatiku tak bisa meneriam pernikahan mereka.

“Kenapa Ibu mau dimadu?” tanyaku seminggu sebelum pernikahan Ayah-Tante Yus.

“Bukan begitu. Ibu menilai niat mereka baik, sehingga tak ada alasan bagi Ibu untuk tidak mengizinkan mereka menikah,” jawabnya.

“Tapi kan nanti jadi ribet?”

“Ribet bagaimana? Tak akan ada yang ribet. Ibu tahu betul siapa Tante Yus. Dia perempuan baik-baik.”

Jawaban Ibu semakin tak masuk akal. Aku jadi semakin heran, terbuat dari apa hati Ibu?

Sampai hari terakhirnya, ternyata Ibu sangat menghormati istri muda Ayah. Beliau juga sayang terhadap guru TK itu. Tapi aku, sampai saat ini pun masih belum bisa menerima kehadiran Tante Yus. Apalagi saat tahu mereka dikaruniai seorang putra bernama Malik.

**

“KAMU boleh ikut dengan Tante Liza dan tinggal bersama keluarganya,” kata Ayah di hari ketujuh wafat Ibu.

Aku senang bukan kepalang. Ikut bersama Tante Liza bukan Ayah dan istri mudanya. Berharap, bersama Tante Liza nanti, aku bisa hidup lebih baik. Yang lebih penting, aku akan semakin jarang bertemu Ayah dan sitri mudanya. Sebab, setiap kali bertemu mereka, hatiku terbakar. Benci.

Kusiapkan segalanya untuk kepindahanku ke Jakarta. Sekolah, Ayah yang mengurus. Kubawa semua barang dan benda yang berhubungan dengan Ibu, termasuk foto dan buku agenda pemberian Ibu. Kumasukkan ke dalam tas, tapi tiba-tiba agenda itu jatuh dan terbuka lembarannya.

Kuambil, tapi tanganku tiba-tiba kaku. Kulihat sebuah pesan di dalam lembaran halaman buku agenda itu. Ternyata dari Ibu. Isinya: “Kapan kamu bisa ikuti pesan Ibu? Ibu pengen sekali melihat kamu hidup akur dengan Tante Yus, Mali dan Ayah. Di sini Ibu akan bahagia melihat kalian bahagia bersama.”

Kristal dari mataku tak bisa ditahan lagi. Menetes lebih cepat dan deras. “Maafkan aku Ibu…!!”

***

Bandung, 10 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar