Jumat, 20 Maret 2009

Orang Asing

BANGUNAN itu, sungguh elok. Seumur hidupku, aku belum pernah sekalipun melihat bangunan secantik itu. Kulihat dengan seksama, sungguh luar biasa. Meski aku kerap melihat dan berkunjung ke sejumlah bangunan kuno peninggalan masa penjajahan Belanda, tapi aku belum pernah menemukan bangunan secantik itu.

Rasa penasaranku yang cukup kuat telah mendorngku untuk mendekati bangunan itu. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki. Satu, dua meter lalu terhenti. Kutatap lagi dalam-dalam, semakin tumbuh besar rasa penasaran.

Kulangkahkan lagi kakiku, sampai tibalah tepat di pintu masuk. Tapi, langkahku lagi-lagi harus terhenti. Pintu terkunci rapat dan tak ada satu orang pun penjaga. Mungkin aku memang harus puas sampai di depan pintu, tanpa bisa masuk ke dalam gedung bangunan tuk mengelilingi seluruh bagian di dalamnya.

“Kamu pasti ingin masuk,” suara lembut seseorang mampir di telingaku. Sepertinya dia tahu betul apa yang tengah ada dalam alam pikirku. Pasti dia sang penjaga bangunan itu, dan berbaik hati mempersilahkanku masuk ke dalam bangunan. Hatiku senang bukan kepalang. Sebuah anugerah besar mampir di hadapanku.

Kutolehkan wajah, ingin kutahu siapa gerangan yang membisikan kata-kata itu. Tapi, di mana. Di samping, belakang, samping kiri-kanan, ternyata tidak ada. Kucari dia di balik tembok, tapi tetap tak terlihat. Di manakah engkau? Izinkan aku tuk bisa melihat wujudmu agar kubisa ngobrol panjang-lebar denganmu. Mungkin diskusi, tentang sejarah, tentang banyak hal lagi.

Kucari-cari di hampir seluruh penjuru bangunan cantik itu. Tetap saja gak ada. Hanya suara lembut yang kembali terdengar. “Aku di sini,” katanya singkat.

“Di mana? Aku tak bisa menemukanmu?”

“Memang sulit. Tapi aku ada di sini. Di sampingmu.”

“Di sampingku?”

Kuputar lagi badanku berulang-ulang samai kepala ini pening dibuatnya. Tapi pencarianku nihil. Aku tak bisa melihatnya, hanya mendengar suara lembutnya.

“Suatu saat kamu pasti bisa merasakan di mana aku berada. Sekarang kamu percaya saja kalau aku memang ada. Ada di sini, tepat sejajar di samping kanan tubuhmu.”

Aku tak bisa berkata lagi. Bibir ini terasa kaku.

“Kamu mau masuk ke dalam dan melihat keadaannya, kan?” dia kembali bertanya.

“Iya. Aku ingin tahu bangunan apa ini. Aku ingin melihat seperti apa di dalamnya.”

“Datang saja Kamis malam besok. Kamu pasti bisa melihatnya.” tiba-tiba suara itu menghilang. Tak lagi terdengar, dan aku semakin bingung.

“Hai,,, halo,,, kamu di mana? Kok menghilang? Masih ada di samping kananku, kan?”

Tak ada jawaban. Hanya angin kencang dibarengi petir, pertanda hujan akan segera turun. Langit pun semakin gelap, padahal jarum jam masih menunjukkan pukul 15.00.

Aku harus cepat meninggalkan bangunan cantik itu sebelum hujan turun. Saat pergi dari rumah menuju toko buku di persimpangan jalan pasar raya, aku tak berbekal payung.

Tapi, apakah aku harus kembali ke rumah dengan tangan hampa. Tak ada jawaban atas bangunan elok itu, padahal aku sangat penasaran. Dan orang tadi, yang, yang membisikkan pesan padakupun tak bisa kudapati. Dia pergi begitu saja, malah menyuruhku datang kembali Kamis malam.

Kecewa, penasaran, bercampur baur mengiringi langkahku meninggalkan pintu bangunan itu. Satu, dua, tiga langkah terasa sangat berat. Sampai akhirnya kusampai di pagar depan. Kubalikkan badan dan kulihat kembali bangunan itu. Memang cantik dan unik.

“Aku pasti kembali melihat kemegahanmu di Kamis malam,” ucapku setengah teriak.

*****

Bandung, 10 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar