Selasa, 17 Maret 2009

Pertemuan Singkat

CANTIK sekali. Itulah kesan pertamaku saat melihatnya. Walau hanya sekilas dan samar-samar karena tertutup kain transparan, aku masih bisa menilai kalau dia memang wanita yang cantik.

"Siapakah kamu, wahai gadis cantik?" aku beranikan bertanya.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir tipisnya. Dia hanya tersenyum, lalu membelakangiku dan pergi menjauh. Pergi setengah lari, dan meninggalkan wangi yang semerbak.

Aku masih termangu, dan terus menatap arah kepergiannya. Satu jam sudah dia menghilang dari pengilhatanku, tapi tak terasa. Seperti baru beberapa detik yang lalu saja. "Ah, andai aku tadi bertanya di mana rumahmu, tentu aku akan menyusulmu. Ingin rasanya aku selalu berada di dekatmu. Wajahmu, senyummu, wangimu, sungguh menggoda kalbuku," bisikku dalam hati.

**
KULIHAT jarum jam, masih menunjukkan pukul 01.00. Waktu yang cukup lama untuk bisa merasakan hangatnya matahari pagi. Padahal, aku ingin sekali merasakannya, setelah beberapa bulan terakhir ini --entah berapa bulan aku sendiri tdak hapal -- aku absen bangun pagi. Padahal dulu, ketika aku masih tinggal di desa, nenek selalu memaksaku bangun pagi. Katanya bangun pagi bisa mendekatkan kita pada rezeki. Tapi aku tidak percaya, toh rezeki sudah diatur Tuhan.

Ingat pesan nenek ketika itu, "Kamu harus terbiasa bangun pagi. Bagus loh, gampang rezeki," katanya.

"Masa sih, Nek?" aku tidak percaya.

"Ya kamu lihat saja, orang-orang itu sudah pada beraktivitas sedari pagi buta. Lihat, mereka bersemangat menyambut pagi, sebuah pertanda ada harapan baru. Beda dengan kamu yang malas bangun pagi, seperti tidak punya harapan saja. Pesimistis terkesannya," nenek panjang-lebar.

Nenek benar, aku memang pesimistis. Untuk masa depan saja aku pesimis. Apalagi setelah ibu pergi dan bapak yang tidak tahu entah berada di mana. Mungkin sedang bersenang-senang dengan istri mudanya, atau entahlah, toh aku sendiri sudah melupakannya. Hanya nenek yang senantiasa memberi semangat dalam hidupku. Tapi itu dulu. Kini nenek juga sudah menyusul ibu ke surga. Aku hanya seorang diri di muka bumi ini.

Jarum jam masih cukup lama untuk berada pada angka 06.00, tepat biasa aku membuka jendela selama di kampung. Entah apa yang tengah merasuki otakku, tiba-tiba aku merasa ingin sekali menghirup udara pagi sambil mearsakan hangatnya mentari. Mungkin karena selama ini, udara yang kuhirup sudah sangat kotor. Maklum di kota besar seperti Bandung ini, walau udaranya sejuk polusi tetap ada.

Ratusan kendaraan memadati setiap lintasan jalan raya setiap harinya. Sejak pagi, bahkan subuh sudah mulai terdengar suaranya. Kebetulan, kamar kosanku berada tak jauh dari jalan raya. Suara kendaraan sepanjang hari, bahkan sampai aku tidur pun masih terdengar.

"Masih terdengar?" Esty beratnya waktu aku bercerita bahwa meski tidur, aku masih bisa merasakan adanya suara. "Kamu aneh."

Terserahlah apa yang mau kamu komenari tentang aku. Beginilah aku adanya. Anak desa yang hidup sendiri dan berharap sukses di kota. Beda dengan kamu yang memang sudah terlahir dalam serba kelangkapan. Punya segalanya, bahkan kedua orang tuamu merupakan salah satu orang yang paling disegani di kota ini.

Tapi aku tidak mengerti, mengapa kamu masih saja mengejarku. Padahal sudah aku jelaskan, aku tidak pantas buat kamu. Kita hanya bisa berteman, tidak lebih.

"Aku tak peduli. Aku sangat mencintaimu. Kamulah laki-laki pertama yang benar-benar aku cintai," jawaban khasmu.

Tiba-tiba aku teringat Esty, si gadis berkulit putih yang selalu berpenampilan modis. Sudah lama juga kita tak bertemu. Hanya komunikasi lewat pesan singkat atau telepon yang masih terjalin.

Kuambil sebuah buku, tepatnya catatan harianku. Aku masih ingat, di salah satu lembar buku itu, kutaruh foto Esty. Aku tak berani lagi memajang foto gadis berambut panjang itu di frame.Ssemenjak keputusan itu, aku lebih memilih menyimpannya di dalam diari.

"Kenapa disimpan? Kamu sebenarnya suka kan sama dia?" Tony menggodaku.

"Aku memang suka, tapi tidak sebagai kekasih. Aku suka karena dia baik, cantik dan cerdas."

"Dia itu sempurna banget, apa sih yang kamu cari?"

"Aku tahu, tapi aku memang tidak punya ketertarikan padanya."

"Susah memang ngomong sama kamu. Aku gak ngerti jalan pikiranmu."

Mungkin bukan Tony saja yang tidak pernah mengerti jalan pikiranku. Banyak teman-teman sepekerjaan dan semasa kuliahku yang juga berlontar seperti itu. Aku memang aneh, lelaki paling aneh. Tidak tertarik sama Esty si gadis cantik itu, malah jatuh cinta pada gadis yang sama sekali tak dikenal asal-usulnya. Gadis yang beberapa jam lalu aku melihatnya. Mencium baunya. Aku langsung jatuh hati padanya.

**
"KAMU jatuh cinta pada bidadari?" sambil mengernyitkan dahinya, Tony bertanya penuh heran. "Kamu udah gila ya, Jhon? Mikir aja, masih adakah bidadari di zaman modern seperti sekarang ini? Kecuali Esty, dia memang benar-benar bidadari."

"Aku memang sudah jatuh cinta pada gadis itu. Aku juga tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Tanpa sengaja aku melihat seseorang berada di hadapanku. Dia gadis sangat cantik, dan aku merasa dia adalah belahan jiwaku. Meski aku hanya melihat beberapa detik dan tidak melontarkan kata-kata, tapi aku yakin dia hadir untukku."

"Kamu udah edan ya? Realistislah. Lupakan semua khayalanmu. Kalau perlu, tinggalkan kebiasaanmu menulis cerita fiksi."

Mungkin Tony memang benar, aku terlalu banyak berkhayal terutama ketika membuat tulisan fiksi. Aku selalu padukan alam imajinasiku dengan segala hal yang aku temui dalam dunia nyata. Tapi tadi malam, aku benar-benar bertemu dengan gadis itu, walau dalam pertemuan singkat.
***
Ida Romlah
Bandung, 17 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar