Jumat, 20 Maret 2009

Penggemar Rahasia


Aku bangga bisa mengenali wanita sebaik dan secerdas kamu. Selamat ya, kamu sudah terpilih sebagai ketua Hima. Ttd Penggemar Rahasiamu
"SIAPA sih?" tanyaku heran. Pasalnya ini bukan kali pertama aku menerima selembar kertas biru muda bertuliskan ucapan selamat. Semua mirip, tulisannya, warna kertasnya, dan yang pasti selalu membubuhkan kata 'penggemar rahasiamu' di akhir ucapannya. Satu lagi yang sama, dia mengirim kartas biru muda itu dengan cara menaruhnya di pintu laci mejaku.

"Hai,,,!!!" suara itu tidak asing lagi bagiku. Dia pasti si Tya. Yupz bener juga dialah si Tya temen akrabku sedari kecil. Suaranya yang sedikit cempreng menjadi mudah untuk dikenali, kendati sumber suaranya berasal dari jarak yang sangat jauh. "Jahat banget kamu, ngatain temen sendiri sejelek itu," hati kecilku berkata.

"Em,,, hai! Hai juga!" jawabku refleks.

"Kenapa? Ada apa? Pasti,,,soal kartu itu lagi ya?" tebak dia dengan beberapa pertanyaan.
Mungkin Tya sudah tahu, bagaimana perasaan dan sikapku akhir-akhir ini setelah menerima sekian puluh kertas biru muda tersebut. "Udahlah, mungkin dia memang suka sama Lo, tapi dia belum punya keberanian untuk ngungkapin perasaannya. Makanya dia pake ngaku sebagai penggemar rahasia segala," ucapnya.

"Iya, udahlah jangan terlalu dibesar-besarkan. Lagian, mungkin orang itu iseng doang, aku gak boleh geer duluan," timpalku sekenanya.
Kamipun duduk bersebelahan, tepat di kursi jajaran kedua. Hari ini memang jadwal kuliahku cukup padat. Masuk jam 07.20 pagi dam baru mulai bisa bernafas lega jam 05.00 sore.
**
"KERTASNYA masih ada?" tanya Tya di sela-sela rehat kuliah kedua dan ketiga.

"Maksudnya?" aku balik nanya.

"Maksudku, semua kertas yang pernah orang itu kasih ke Lo. Kalau bisa harus masih ada, biar tar kalau ada waktu senggang, kita selidiki sebenarnya dia siapa," Tya menjelaskan.

"Assalamu'alaikum, kalian sudah dzuhur?" tiba-tiba seseorang mendekati kami. Aku dan Tya yang sedari tadi duduk di bangku panjang dekat ruang perpus, langsung menoleh ke belakang.

"Yah, dikirain siapa. Pakabar Mal?" tanya Tya sambil menyalami tangan lelaki itu. Aku sendiri langsung menunduk kembali, tanpa komentar apapun. "Oiya, ini Kamal, temenku waktu baksos bulan lalu. Dia juga mahasiswa sini cuma beda fakultas," terang Tya memperkenalkan lelaki itu.

"Alaikumsalam, saya Syifa," giliranku memperkenalkan diri.

"Syifa nama yang bagus, saya Kamal," ucapnya sambil menyalami tanganku.

Aneh, baru kali ini ada lelaki yang ngomentari namaku. Mungkin dia tahu kali, apa arti dari namaku sehingga berkata seperti itu. Tapi kok, ada yang aneh ya.

"Wei, kenapa Lo? Kok jadi aneh?" tanya Tya mengaburkan lamunanku yang hanya berlangsung kurang dari dua detik itu.
**

TANPA sengaja, aku berpapasan dengan Kamal tepat di pintu gerbang kampus. Wajahnya yang sejuk menebarkan senyum keikhlasan. "Assalamu'alaikum Syifa,,,!!!" ucapnya mengawali perbincangan.

"Alaikumsalam! Pakabar Mal?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Alhamdulillah baik," jawabnya singkat. Kami pun tak lama bersama karena harus buru-buru menuju ruang kuliah masing-masing. Satu hal yang aku ingat, sudah beberapa hari terakhir ini aku gak nerima lagi kertas biru muda yang berisi ucapan. Apa karena aku memang tidak menorehkan prestasi atau meraih kesuksesan, sehingga kartu itu pun absen jatuh ke tanganku.

"Hai,,, kamu kenapa? Sudah menemukan jawabannya, kira-kira siapa yang kirim kertas biru muda itu?" tanya Tya sesampainya di kelas.

"Entahlah," jawabku. "Lagian beberapa hari ini kan aku gak pernah nerima lagi, berarti orang itu sudah gak perhatian lagi," ucapku ngasal.

"Mungkin, tapi apa kamu gak mau mencari tahu siapa orang itu?" Tya lagi-lagi menggoda.

"Ya, kamu kepikiran gak, kalau yang kirim surat biru muda itu adalah penyuka warna biru muda?" tiba-tiba aku berucap seperti itu. Tya pun berpikir cukup lama, dan akhirnya dia berkomentar.

"Bisa juga," katanya. "Berarti mulai sekarang kita cari tahu siapa yang penyuka biru mmuda di kampus kita," sarannya.

Jam kuliah pun berakhir, dan aku langsung menuju raung Hima Jurusan. Sementara Tya menuju fakultas Teknik untuk menemui Kamal perihal acara sosial yang akan digelar dua bulan mendatang. Sesampainya di ruang Hima, aku dikejutkan dengan sepucuk kertas lagi. Kali ini beda, warnanya bukan biru muda lagi tapi peach—warna kesukaanku.

Aku tunggu kamu di perpus besok siang selepas sholat Dzuhur. Kamu gak ada kuliah kan setelah dzuhur? Ttd Penggemar rahasiamu
LAGI-lagi tulisan dari penggemar rahasia. Tapi aku gak tahu, apa ini ada kaitannya dengan surat-surat yang lalu yang berwarna biru muda? "Ah bikin kaget aja," celotehku tanpa kusadari jika di dalam ruangan sudah berkumpul semua pengurus Hima.
**

"YA Allah, aku gak tahu siapa orang itu, tapi apa aku harus temui dia nanti siang?" tanyaku dalam do'a. Sementara aku sendiri gak tahu, dia laki-laki atau perempuan. Seandainya laki-laki, apa aku sanggup bertatap muka dan berbincang dengannya. Bukannya selama ini aku lebih banyak menutup diri terhadap lak-laki?

Tapi tidak dengan Kamal. Ya, Kamal, aku pernah berbincang cukup 'berani' dengannya, dan hanya sama dialah aku 'berani'. "Apa mungkin, yang ngirimi aku kertas selama ini adalah Kamal?" tiba-tiba hatiku bertanya.

"Kriiii,,,ngng!!!" bunyi telepon berdering, langsung kudekati pesawat itu dan berkata, "Assalamu'alaikum!!!" Lima menit kami bicara, lalu terputus begitu saja saat orang yang ada di balik telepon itu bilang, "Nanti kita ketemu kan, di perpus?" tanyanya.

Aku semakin penasaran, dan rasanya pengen cepet-cepet sampai di kampus dan waktu cepat bergulir menjadi siang. Aku pingin tahu siap aorang itu, tapi dari suaranya aku bisa menebak kalau dia adalah seorang laki-laki.

"Laki-laki, kamu yakin?" tanya Tya saat ku-sms-kan padanya tentang kejadian barusan. Aku tahu, Tya pasti gak yakin jika da lelaki yang minta ketemu denganku dan peduli sama aku. Sebagaimana diketahui khalayak umum, aku adalah satu-satunya wanita di kampus yang tidak pernah terbuka terhadap laki-laki.
**

SESUAI perjanjian, kami akan bertemu di ruang perpus, tepat setelah menunaikan ibadah sholat dzuhur. Kubaca satu judul cerpen dari penulis yang aku suka. Sekitar 30 menit sudah aku menunggu lelaki itu, tapi tak terlihat sedikit pun batang hidungnya. Aku mencoba bersabar, menunggunya sampai sepuluh menit lagi. Tapi apa yangterjadi, lelkai itu tak pernah datang.

"Dia hanya ngerjain aku, dan bodohnya, aku mau saja percaya begitu saja," curhatku pada Tya. Tya tak bisa berkata banyak, dia hanya mencoba menghiburku. "Aku sih gak masalah, karena ini bukan kali pertama terjadi padaku. Bahkan dulu mungkin jauh lebih menyakitkan," lirihku.

Tuhan, kenapa kejadian dan laur ceritanya mesti sama persis dengan kejadian dulu. Dikirimi surat dengan isi yang menyanjungku, tanpa menyebutkan biodata pengirimnya, dan terkahir, dia minta untuk ketemuan. Tapi, malang, pertemuan itu tidak pernah terjadi. Inikah yang dinamakan memiliki penggemar rahasia???
*****

Subang, 15 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar