Jumat, 20 Maret 2009

2,5 Jam Saja


ENTAH kenapa, beberapa hari belakangan ini aku merasa lain dari biasanya. Lebih bersemangat, dan yang jelas lebih ceria. Bahkan, beberapa teman sekantorku juga merasa aneh melihat gelagatku yang sedikit "centil", katanya. Tapi ah peduli apa dengan omongan mereka, toh aku lagi merasakan kebahagiaan, bukan bersikap "centil" sebagaimana yang dilontarkannya.

"Pagi Ras!" sapa Weldy mengawali pagiku yang cukup cerah di pertengahan September ini.

"Pagi juga!" tanpa bermaksud menyinggung perasannya. Padahal, terus terang aku sendiri merasa aneh mengapa Weldy melakukan hal itu. Ini baru kali pertama bagiku, setelah hampir dua tahun aku menjadi stafnya di kantor.

"Memang, sedikit aneh. Dan aku rasa bukan hanya dia tapi Lo juga," komen Ana sohibku saat kuceritakan kejadian pagi itu di depan pintu masuk kantor. Ya, komen Ana memang wajar, karena sebagaiamna diketahui oleh seantero kantor bahwa yang namanya Weldy, alias Pak Weldy itu jutek abis.

"Jangankan menyapa, senyum aja bisa dihitung jari. Coba inget-inget, kapan sih si Pak Weldy itu bersikap lebih akrab terhadap kita-kita?" Ana dengan nada ketus.

"Aku inget, aku inget, kapan dan berapa kali Pak Weldy bersikap baik," timpal Hesty. "Baru kemaren pagi, dan itu terjadi hanya pada si Rasti yang cuantik ini," imbuhnya yang kemudian dilanjut dengan tertawaan semua rekan-rekan. Otomatis, ruangan kerja berukuran 4x4,5 meter pun jadi ramai.

"Kalian kenapa sih, kok aneh?" tiba-tiba Pak Weldy muncul dari balik pintu. Kami pun tak bisa berkata apa-apa, alias diam seribu bahasa. "Kalau gak sibuk, kerjakan aja pekerjaan buat besok. Jangan buang-buang waktu percuma dengan hal-hal yang kurang bermanfaat, apalagi di kala berpuasa seperti ini," lanjutnya.

Ih,,, dasar. Sepertinya dia memang tidak suka jika melihat orang lain tengah berbahagia. Bukannya buang-buang waktu percuma, tapi ketawa-letiwi sesekali di tengah-tengah ketegangan kerja, wajar aja bukan? "Bagaimana gak stres coba, punya boss kayak gini?" masih Ana yang lantang komen. Aku sendiri tidak mau berkomentar apa-apa, hanya mengambil hikmah dari apa yang disampaikan Pak Weldy tadi. Mengerjakan pekerjaan sebaik mungkin, jangan sampai ada waktu yang terbuang percuma.
**

AKU memang selalu berusaha jadi karyawan yang baik, meski terkadang niat baikku ini dinilai buruk oleh beberapa rekan sekantor. "Kamu jangan cari muka deh, serajin apapun kamu, di mata Pak Weldy kita semua sama saja, gak ada yang dapet perlakuan lebih," ucap salah seorang teman yang aku sendiri lupa siapa orangnya. Maklum ketika dia berkata seperti itu, aku tidak mempedulikannya, pergi begitu saja.

Hari ini aku tiba di kantor 20 menit lebih awal dari jam kerja. seperti biasa, kebiasaan membaca surat kabar sebelum bekerja adalah rutinitasku, meskia ku hanya mengandalkan langganan dari kantor. Kuambil salah satu media massa cetak yang paling kusuka, ah sepertinya masih tidak ada yang menarik untuk halaman satu ini. Biasa, hanya seputar kasus BLBI yang semakin hari semakin menyeret beberapa nama.

"Masya Allah, Astaghfirullah, kok bisa?" tanyaku dalam batin ketika kulihat berita HL-nya. Aku tak pernah menyangka, dan mungkin sampai mati pun aku tidak akan pernah percaya, ada seorang anak yang tega membunuh orang tua dan saudara-saudaranya.

Dalam waktu semalam, dia bisa melakukan hal itu dengan mulusnya. Setan apa yang tengah merasuki anak perempuan 17 tahun itu, sampai-sampai berperilaku melebihi binatang. Berulang kali aku beristighfar, memohon ampunan atas semua kejadian yang tengah menimpa negeri ini. korupsi, kemiskinan, pembunuhan dan tindakan kriminal lain seperti sudah mendarah daging di negeri yang terkenal budaya ketimurannya ini. Karena tidak kuasa membayangkan pembunuhan si gadis remaja tersebut, belum sampai di ujung tulisan.

Mungkin ini adalah pelajaran berharga bagiku. Tulisan itu, berita itu, HL itu adalah pelajaran dari Allah untukku agar aku lebih sayang lagi terhadap kedua orang tuaku. Maklum, selama ini aku jarang menemui kedua orang tuaku yang tinggal di luar kota. Hanya obrolan pelepas kangen yang sering kami lakukan, itu pun sangat terbatas.
**

BESOK libur kerja. Lumayan dua hari, Sabtu dan Minggu. Aku bisa manfaatin untuk bersilaturahmi ke kedua orangtuaku. Semua perlengkapan yang aku butuhkan selama pulang ke kampung sudah kumasukkan ke dalam tas. "Tinggal pergi saja, lagian travel juga sudah aku pesan," ucapku saat packing-packing barang.

Aku mungkin salah satu anak yang durhaka sama kedua orangtua. Lihat saja, sejak bekerja di Jakarta selama hampir tiga tahun, baru lima kali pulang mnejenguk mereka. Padahal, setiap pekan aku libur, dan jarak antara Jakarta dengan tempat tinggal orang tua sangat dekat, hanya menempuh waktu sekitar 2,5 jam. Tapi kali ini lain, rasanya kerinduanku semakin mendalam untuk bertemu dengan mereka. Makanya, kuputuskan untuk pulang Jumat malam nanti sehabis pulang kerja.

"Kamu mau pulang ya Ras?" tanya Ana.

"Insya Allah, aku kangen banget sama ortu. Maklum udah lama banget gak pulang," jawabku penuh suka cita.

"Olah-olehnya dong," sahut rekan yang lain, yang berhasil mendengar perbincangan kami.

"Insya Allah. Kalian mau oleh-oleh apa?" balik nanya.

"Apa aja, yang penting enak dan tidak merepotkanmu," jelasnya.

Tanpa menghiraukan apa yang mesti aku bawa sebagai oleh-oleh nanti, aku lebih fokus mengerjakan semua file pekerjaan yang mesti aku selesaikan sampai sore ini. Kalau tidak, aku terpaksa harus lembur. Jika lembur, wah rencana pulang kampungku akan diundur atau terancam tidak sama sekali.

"Ras, kamu ada rencana pulang kampung gak?" Pak Weldy mengutarakan hal itu via telepon.

"Insya Allah Pak," jawabku singkat.

"Nanti malam kita pulang bareng. Kebetulan saya juga mau pulang juga ke Bandung. Kamu mau kan pulang barengsaya?" Pak Weldy menawari.

"Tapi Pak, sebaiknya saya pulag sendiri saja. sudah terlanjur pesan travel," kataku.

"Gak, saya gak mau membiarkan karyawan saya pulang sendirian di tengah malam buta," alasannya sedikit memaksa.

Aku tidak tahu mesti menjawab apa, segala alasan sudah kusampaikan, tapi keukeuh Pak Weldy tidak mau tahu. Sampai akhirnya akupun termakan ajakannya, dan bersedia pulag bareng satu mobil.

"Nanti malam sekitar pukul 09.00 aku jemput kamu di kosan, kita langsung pergi ke Bandung," ujarnya. Aku dan Pak Weldy memang sama-sama orang Bandung, bahkan kami pernah menimba ilmu di tempat yang sama, ketika SMP dan kuliah. Hanya kami beda angkatan, dia dua tahun lebih dulu daripada aku.
**

TERNYATA anggapanku dan rekan-rekan lain tentang Pak Weldy sangat berbeda. Dia sangat perhatian, tidak jutek sebagaimana yang dinilai selama ini. Buktinya, sepanjang jalan dia ngajak aku ngobrol dan becanda. Dia pun tidak malu-malu menceritakan keluarganya.

"Aku harus menghadiri pernikahan mantanku," tiba-tiba Pak Weldy berkata seperti itu. sontak, aku pun kaget dibuatnya. Aku hanya terdiam, bermaksud tidak mau mencampuri urusan orang. "Ya, dia yang sangat aku cintai terpaksa harus jatuh ke tangan orang lain," ceritanya.

"Bapak bersabar saja," kataku sok menasehati. "Tapi, apa Bapak yakin mau menghadiri pesta tersebut?" tanyaku setengah hati, karena dicampuri rasa takut menyinggung perasaannya.
"Insya Allah, aku yakin aku harus hadir. Kenapa? karena ini permintaannya," ucapnya.

Aku benar-benar kaget, orang setegas dan sewibawa Pak Weldy masih saja mau menyempatkan diri menghadiri pesta pernikahan mantan pacarnya. Bukan itu saja, dia terpaksa membatalkan meeting yang harus dia lakukan Sabtu besok.

"Syukur kalau Bapak lebih siap, saya yakin itu bukan hal mudah bagi setiap orang, apalagi,,,," aku belum selesai bicara tapi Pak Weldy memotongnya.

"Sudahlah, itu masa lalu. Kamu lapar gak? Kita makan sulu yu!" ajaknya di tengah perjalanan. Baru setengah perjalanan yang berhasil kami lalui, sisanya sekitar satu jam lagi untuk bisa tiba di tempat tujuan. "Kamu masih tinggal di alamat lama?" tanyanya tiba-tiba.

"Em,,, iya. Aku masih di Gang Saturnus di Buah Batu. Bapak sendiri?" tiba-tiba aku punya keberanian untuk bertanya lebih banyak tentang dia.

"Masih. Kamu mau tahu rumahku? Boleh. Nanti sekalian saja mampir dulu di rumahku," jawabnya.

"Bukan begitu Pak, maksudku kalau Bapak masih di temoat dulu, nanti lebaran boleh dong saya bersilaturahmi," jawabku rada ngasal. Dia hanya menganggukkan kepala. Kami pun bergegas turun dari mobil, langsung masuk ke sebuah resto di pinggir tol. Aku tahu, menu apa yang akan dia pesan untuk makan malam kali ini. Sepengetahuanku, dia doyan sekali sup buntut.

Yupz, benar juga, dia memesan makanan tersebut. Aku sedikit sennag karena ternyata Weldy yang aku kenal tidak banyak berubah. Hanya kadang kebiasaannya yang lebih banyak diam dan tegas, dianggap lain oleh kami para stafnya.

"Kamu pesan apa?" tanyanya sambil melihat kedua bola mataku.

"Sop jando saja, aku sudah lama tidak makan sop yang enak selama di Jakarta," singkatku. Dulu kami memang pernah beberapa kali menyisir sejumlah resto dan rumah makan di Kota Bandung secara bersamaan. Hobi kami yang gemar mencoba makanan baru dan mencari yang punya rasa paling khas, membuat kami jadi sering bertemu.

"Seminggu sekali," ucapanya mengganggu lamunanku yang tengah asik membayangkan masa-masa kuliah dulu.

"Iya, seminggu sekali kita selalu menyisir rumah makan. Mencari makanan khas dan enak tentunya," jawabku sedikit gugup seolah merasa jika lamunanku bisa ditebaknya.

"Oiya,,,, kok kamu masih inget? Padahal aku gak kepikiran sama sekali," ungkapnya. Aku jadi sedikit malu dibuatnya, kukira dia tadi tahu apa yangtengah ada dalam lamunanku. Pesanan kami pun sudah tiba di meja, seolah seperti yang tengah kelaparan selama satu minggu, kami lahap semua makanan yang tersaji, tanpa tersisa sedikitpun.

Sayang, kebersamaan kami hanya berlangsung 2,5 jam saja. Padahal masih banyak hal lain yang ingin aku tanyakan padanya. Dengan sedikit berberat hati, aku harus turun dari mobilnya dan berpisah. Sementara dia masih tetap harus melanjutkan perjalanan sampai tiba di rumahnya. "Semoga besok aku masih bisa bertemu dengan Pak Weldy," harapku dalam hati.
*****

Dibuat di Subang, 17 September 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar